2 | Dua Kata Pertama

173 32 39
                                    

*****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*****

Sejenak Cyrin memerhatikan wajah tenang siswa itu. Hanya terlihat setengah, namun rasanya tak asing, seperti pernah bertemu sebelumnya. Ia salah, perpustakaan bukan hanya markas untuk sang 'pecandu buku', namun juga jadi ruang ternyaman untuk sang 'pecandu mimpi'.

Cyrin menggelengkan kepalanya. Kenapa malah dilihatin sih, Rin?

Gadis itu membuka novel yang ia bawa untuk melanjutkan kisah demi kisah yang tertulis rapi di setiap lembarnya. Kini ia hanyut dalam imajinasinya sendiri. Membayangkan setiap adegan yang dideskripsikan melalui deretan aksara. Kata demi kata terangkai menjadi kalimat-kalimat yang indah. Sungguh berbakat sang penulis novel itu.

Cyrin tak menyadari di tengah kesibukannya tenggelam dalam dunia fiksi, ada dua pasang mata yang kini mulai terbuka setelah selesai menjelajahi dunia mimpi.

Laki-laki itu mengangkat kepala, lantas meregangkan ototnya yang terasa kaku. Ia mengerjapkan mata beberapa kali hingga nyawanya terkumpul sempurna.

Dia menyingkirkan headphone dari kedua telinga, menyangkutkannya ke leher. "Lo siapa?" tanya laki-laki itu dingin. Ia menyadari ada seorang siswi yang duduk di hadapannya tengah membaca buku. Entah buku apa, ia tak tahu, dan tak mau tahu.

Suara berat itu membuyarkan imajinasi Cyrin. Adegan semu yang bergelayut di benaknya mendadak berhamburan ke mana-mana. Matanya yang tadi fokus membaca kini beralih ke sumber suara.

"Kamu ... Rendra, kan? Yang tadi pagi telat?" tanya Cyrin ragu. Kini ia bisa melihat dengan jelas wajah yang masih tampak mengantuk itu.

Rendra menautkan kedua alis tebalnya. "Dari mana?"

Cyrin mengernyit bingung, tapi tetap menjawab. "Dari ... kelas."

Rendra memutar bola matanya malas. "Lo tahu nama gue dari mana?" Kini baru jelas apa yang dimaksud.

"Oh. Aku dengar Pak Budi nyebutin mana kamu tadi pagi." Cyrin tersenyum ramah, namun tak mendapat balasan sedikit pun dari Rendra.

"Terus ngapain lo?" tanya Rendra tak acuh.

"Aku?" Cyrin menunjuk dirinya sendiri.

Rendra diam, menunggu jawaban tanpa berniat mengangguk, mengiyakan, apalagi memberi kejelasan.

"Aku ... baca novel," sahut Cyrin polos. Manik matanya melirik buku dengan jumlah halaman tiga ratus tujuh puluh lembar yang masih terbuka di pertengahan halaman. Kedua tangannya menahan bagian kanan dan kiri buku agar tak tertutup dan kehilangan batas bacaan.

"Maksud gue, lo ngapain duduk di depan gue?" Tak ada nada ramah sedikit pun dari setiap kata yang dilontarkan Rendra.

Cyrin diam sejenak, memikirkan jawaban yang pas. "Kita bebas duduk di mana aja, kan? Selagi ... kursinya kosong?"

Expectancy [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang