Betapa beruntungnya aku ra, memilikimu meski hanya sebatas sahabat yang tak pernah kau sadari perasaannya.
-Muhammad Bian Adrianata
Sorak sorai terdengar seantero SMP tempat Bian menimba ilmu. Pagi ini, keberuntungan tengah melingkupi para siswa karena guru dan seluruh staf sekolah akan melaksanakan rapat dadakan. Yang otomatis, pembelajaran hari ini diliburkan.Kebahagiaan seorang siswa memang sesederhana Itu, cukup guru ada rapat atau urusan yang tidak bisa ditinggalkan, dan pelajaran diliburkan. Sudah cukup menjadi angin surgawi yang mereka hirup. Benar-benar kebahagiaan para siswa yang cukup sederhana.
Tapi, bagaimana dengan siswa yang sedang duduk di bangku pojok itu? Apa kebahagiaan juga menghampirinya, saat yang lain bersorak sorai bahagia?
Jawabannya adalah...tidak. Bian masih menelungkupkan tangannya di atas meja sembari menenggelamkan kepalanya di atasnya. Ditengah euforia di sekelilingnya yang membuncah, lelaki yang beranjak remaja itu masih bergeming. Tidak sempat sedetik pun untuk sekedar menarik ujung bibirnya, ikut merayakan kabar gembira ini.
Karena bagi Bian, ada atau tidak ada guru sama saja. Dia tidak akan pernah fokus belajar. Meski dia sendiri tidak tahu hal apa yang kerap mengganggu pikirannya.
Yang kerap Bian lakukan, hanya duduk manis di bangku pojok dengan sesekali menahan kantuk. Mengerjakan soal jika diberi tugas dan itu pun dengan mencontek. Istirahat pertama dihabiskan di kantin, dan masuk kembali untuk mengikuti pelajaran jika sedang ingin. Jika sedang malas ya bolos, meski sudah kerap dipanggil ke ruang BK dan diberi peringatan berkali-kali tapi tetap saja hal itu akan berulang. Bagai minum obat, mungkin obat yang diberikan kurang ampuh menyembuhkan penyakitnya. Atau mungkin, dosisnya yang harus ditingkatkan lagi demi masa depan yang cerah. Karena bagaimanapun bukankah Bian adalah calon imam masa depan? Bukankah ia ingin menjadi calon imam sahabatnya? Bukankah untuk menjadi imamnya ia harus memperbaiki dirinya agar pantas bersama sahabatnya itu?“Woi ke kantin yuk!” ajak Zidan dengan menepuk keras pundak Bian.
Bian menegakkan tubuhnya, memonitor sekitar yang sudah terasa sepi. Pantas, kelas sudah tak lagi gaduh. Dengan langkah gontai, Bian berdiri dan menyambar tas sekolahnya yang hanya berisi satu buah buku dan satu buah pulpen pemberian Maira.“Lo sama yang lain aja, gue lagi males dan.”
“Eee buset, tumben amat tuh bocah diajak ke kantin gamau, padahal tadinya mau gue traktir.” Zidan hanya geleng-geleng kepala sambil berkacak pinggang.
Indra penglihatan Bian memonitor setiap penjuru sekolah yang dia lewati, berharap bertemu dengan Maira. Suasana memang lebih sepi, karena kebanyakan sudah pada pulang setelah pengumuman pembelajaran diliburkan. Meski masih ada beberapa siswa yang menetap, ia hanya butuh Maira itu saja. Matanya menelusuri setiap tempat, masih ada beberapa siswa yang diam di bawah pohon hanya sekedar mengobrol dengan sahabat, ada juga yang membaca buku, bahkan ada juga yang tengah berdua-duaan bertaut tangan mesra.Dalam hati, Bian merapalkan istighfar. Meski i termasuk ke dalam deretan anak nakal, tapi tidak sekalipun ia menyentuh berlebihan pada lawan jenisnya. Ia mengingat nasihat Maira yang kala itu tak ingin digandeng menuju UKS ketika ia hampir pingsan di tengah-tengah upacara hari senin. Toh dia juga masih SMP, kecil-kecil sudah pacaran mau jadi apa dia kedepannya. Kalo jadi imamnya Maira sih mau banget, apalagi kalo udah halal kek gitu pasti nikmat banget hahaha Bian pun tertawa dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tersesat
Teen FictionTidak semua kehidupan berjalan seperti ekspekstasi. Jadi ayo coba baca cerita ini.