Azka dan Bian

44 14 3
                                    


Yang aku takutkan, kamu menyukainya dibanding aku yang sudah lama bersamamu.
-Muhammad Bian Adrianata

Lu boleh jadi sahabatnya, tapi gue imam masa depannya.
-Muhammad Azka Ar-Rasyid

...

Lembayung jingga yang telah melambai mengucap perpisahan pada langit, ronanya mulai menghilang digantikan gelapnya mega, pertanda bahwa malam mulai menyapa. Lantunan suara adzan lewat speaker masjid mulai mengalun merdu, menyeru kepada seluruh umat muslim agar segera berhenti dari segala macam urusan duniawi dan segera mengurus urusan akhirat.

Begitupun dengan Bian, dia mematut kembali penampilannya di depan cermin sembari memakai kopiah andalannya yang berwarna putih. Melaksanakan shalat berjamaah di masjid terdekat sudah menjadi agenda rutinnya setiap hari. Terkecuali memang jika dia sedang dalam keadaan yang kurang sehat atau hal lain. Lagi-lagi ia teringat Maira yang menasehatinya dengan lembut dan perlahan tapi langsung membuahkan hasil. Maira mendoktrinnya agar selalu melaksanakan sholat berjamaah di masjid, karena memang itulah kewajiban laki-laki untuk memakmurkan masjid.
Setelah dirasa rapi, Bian pun beranjak melangkah menuju arah masjid. Seketika ia teringat janjinya pada Maira, ia tersenyum mengingatnya. Setelah kejadian curhatnya Bian, Maira menyarankan jika Bian memang sedang tak mau di rumah kenapa tidak mengaji di pesantren bersama Maira saja? Maira memang terdabest lah menurut Bian sih seperti itu.

Akhirnya dengan responnya yang antusias, Bian berjanji pada Maira selepas sholat maghrib ia akan pergi ke pesantren. Semoga Allah melancarkan jalan kebaikan yang ditempuh Bian melalui Maira.
Setelah sampai masjid, ia bergegas masuk karena iqomah sudah berkumandang, ia pun sholat dengan khusyu mengikuti imam masjid yang selalu menjadi pemimpin sholat disana.

...

Di lain tempat, Maira sedang mengisi pengajaran tarikh islam di pesantren dengan azka yang menemaninya. Maira sempat merasa canggung, dari awal pertemuan Azka selalu membahas ke arah yang serius dan Maira tak suka itu. Ia takut tak bisa mengendalikan hati dan pikirannya.

Kebetulan yang menghadiri pengajian hari ini tak hanya anak kecil, banyak santri pula yang ikut mengaji karena ingin tahu seperti apa Maira yang selalu dibicarakan oleh anak-anak kecil itu. Maka dari itu, Maira menceritakan sebuah kisahnya Rasulullah mengenai kesederhanaannya.

“Jadi gini temen-temen, Tau kan siapa Nabi muhammad itu?

Siapa sih yang gak kenal sama Rasulullah?dia itu seorang idola yang sempurna yang tak dapat dikalahkan. Kedudukannya hanya ada satu di dunia ini dan tak akan tergantikan.

Namun ternyata... Dibalik keagungan dan posisi yang ia miliki, terdapat satu kisah yang mungkin membuat orang diluar sana takjub karenanya.

Di suatu hari beliau sedang berbaring di atas tikar yang kasar. Bahkan tikar itu pun begitu kecil hingga tak dapat menampung seluruh badannya, hingga sebagian anggotanya pun berada di atas tanah.  Ia pun hanya berbantalkan pelepah kurma yang keras.

Suatu saat Sayyidina Umar bin Khattab menemui beliau di rumahnya. Ketika Sayyidina Umar masuk beliau melihat keadaan rumah Rasulullah yang begitu sederhana. Hanya sebuah tikar yang dilapisi kain, dan bekas tikarnya pun membekas di tangan dan pipi Rasulullah. Dan Sayyidina Umar hanya menjumpai selembar kulit dan segantang gandum.
Sayyidina Umar tak mampu menahan tangisnya, tetes demi tetes air mata mengalir dari pelupuk matanya karena merasa iba dengan kondidi Rasulullah SAW.

TersesatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang