Selesai menyantap hidangan sarapan pagi yang dibuatkan oleh Inayah, aku diantarnya menuju kamar. Sesaat setelah merebahkan diri, sepertinya ia hendak beranjak meninggalkanku sendiri di kamar. Segera kuraih tangan dan menariknya hingga terduduk lagi di sampingku.
"Kamu mau ke mana lagi sih, Nay? Apa ga bisa sebentar aja temani aku di sini?"
"Maaf ga bisa! Aku mau mencuci baju kotor, Bang."
"Kamu kenapa selalu menghindariku terus?"
"A ... aku, aku ga menghindar kok"
"Jangan berbohong! Jawablah, aku benar-benar ingin tahu."
"Baiklah Bang, aku memang menghindarimu. Semata karena aku takut makin mencintaimu, aku harus sadar diri bahwa kamu milik adikku"
"Nay, kamu tak perlu menghindariku, karena aku juga mencintaimu. Entah sejak kapan rasa itu hadir di sini, yang pasti sejak selalu dilayani olehmu. Rasa nyaman bahkan rasa sayang di hati ini lebih dominan ke kamu, Nay."
"Menurutku Abang mungkin hanya sedang teringat Aini, karena setiap melihatku seakan melihat wajah Aini kan?"
"Ya wajah kalian memang sama, tapi sifat dan kepribadian kalian sungguh sangat berbeda. Aku menyukaimu dengan apa adanya kamu."
"Tidak Bang! Bagaimana dengan Aini nanti?"
"Kalau ia mencintaiku, tak semestinya dia pergi menjauh. Sebelum ini ... kau tahu betapa besarnya penolakanku terhadapmu, Nay."
"Tidak! Ini salah Bang. Pasti karena Abang tak enak hati saja, karena aku merawatmu selama ini?"
"Sama sekali tidak, justru itu cinta ini hadir setelah hatiku luluh karena kesabaranmu dalam merawatku."
Kulihat ia terdiam, kudekatkan wajahku lalu membisikan ke telinganya.
"Nay, bisakah kita menjalani pernikahan kita ini dengan semestinya?"
"Maksud Abang?"
"Kita mulai semua dari nol, lupakanlah akan perjanjian kita! Aku ingin kita bahagiakan kedua orangtua kita, tak inginkah kamu menjadi istriku yang sesungguhnya?"
Wajahnya merona dan tertunduk malu, ku angkat dagu indahnya. Kecupan lembut kuhadiahkan pada bibir tipisnya.
"Apakah kamu mau?"
Ia tak menjawab dengan suara, tapi anggukan kepalanya mewakili isi hatinya. Pelukan mesra pun terjadi untuk pertama kalinya, pelukan karena cinta, bukan karena terpaksa.
Kami pun menjalani pernikahan yang sesungguhnya, Inayah telah menjadi milikku seutuhnya. Ia begitu sabar dan lembut dalam melayaniku, berhari-hari lamanya, bahkan dua bulan kemudian kemesraan yang kami bangun, menghasilkan buah cinta kami. Inayah dinyatakan positif hamil.
Sungguh itu berita yang amat menggembirakan untuk kedua orangtuaku maupun mertuaku. Akan tetapi ... kandungan Inayah agak lemah, jadi ia tak boleh banyak melakukan aktifitas yang berat sehingga membuatnya lelah.
Aku pun telah menyelesaikan wisudaku, beruntunglah selesai tamat kuliah tak sulit bagiku untuk mendapatkan pekerjaan. Aku di terima bekerja di sebuah instansi perjalanan Umroh dan Ibadah haji. Tentu Inayah menyambutnya dengan penuh suka cita, gaji pertama kuberikan ia sepenuhnya. Kupercayakan Inayah untuk memanage semuanya.
Meski kondisinya tengah hamil, ia tak mengalami mual muntah layaknya ibu hamil lainnya. Ia sering membuat kue aneka macam, karena kepandaiannya dalam membuat kue. Setiap ada acara kantor, aku merekomendasikan kue buatan istri tercintaku.
Luar biasa ternyata kue buatan Inayah banyak disukai rekan kerjaku, malahan istri dari atasanku yang pernah mencicipi menjadi sering memesan kue. Bahkan menjadi pelanggan tetap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Married (Complete)
AdventureKesalahfahaman antara kami di masa lalu, membuatku menanam dendam di hati. Berniat membalas dendam karena pengkhianatannya, kunikahi kakak kandung kekasihku hanya untuk membalas sakit hatiku padanya. Tapi ternyata niat hanyalah niat, semua yang terj...