Siapakah Dia?

5K 240 16
                                    

Setelah tiba di Rumah sakit, teriakanku menggema memanggil perawat, tak butuh waktu lama beberapa perawat berdatangan menghampiri untuk membantu mengangkat Inayah ke atas brankar.

Saat itu suasana terdengar gaduh oleh deru brankar, disertai suara teriakanku meminta agar diberi jalan kepada orang-orang yang berada di sepanjang koridor Rumah sakit. Selama itu pula Habibi tak melepaskan genggaman tangannya pada jemari Inayah.

"Bang, sakit sekali ... aku khawatir dengan kondisi anak kita," rintihan kecil terdengar dari bibir Inayah.

"Iya Sayang, kamu yang sabar ya! Ini ujian untuk kita. Berdoalah semoga anak kita dalam keadaan baik-baik saja!"

Akhirnya Inayah dibawa masuk ke ruang IGD. Aku dan Habibi tidak diperbolehkan masuk. Akhirnya kami memilih duduk di kursi tunggu. Kututup wajahku yang penuh guratan frustasi, tiba-tiba Habibi menepuk bahuku pelan.

"Kita berdoa bersama Bang! Untuk keselamatan Inayah."

Aku menoleh sesaat dengan senyuman getir, mungkin ia akan melihat wajahku yang menggambarkan kepiluan.

"Iya ... terima kasih! Kamu telah menjaga Inayah dengan sangat baik, sepertinya kamu memang orang yang tepat untuk menjadi suami Inayah. Ia tampak begitu menyayangimu, bahkan tak ingin kehilanganmu."

"Tapi ... Inayah juga pernah bercerita padaku saat belum menikahinya. Seandainya di hari pernikahan muncul Abang di hadapannya. Ia pasti membatalkan pernikahan kami, intinya dulu ia masih mengharapkan Abang."

"Tapi peranmu begitu penting dalam hidupnya saat ini, andai ia tak dalam kondisi mengandung. Sudah pasti akan kulakukan berbagai cara untuk merebutnya kembali!"

"Tidak ... Tidak bisa!!!"

Aku dan Habibi menoleh ke arah suara tersebut, tampak seorang wanita sepantaran Inayah tengah menggamit Hafidz dan seorang anak perempuan yang kutaksir usianya sama dengan Hafidz. Sedangkan Hafidza berada dalam gendongan Ibu mertuaku.

Tampak ada raut yang amat terkejut dari wajah Hafidz yang mengenali wajahku, tapi tidak dengan Hafidza. Ia malah tampak tenang, seakan belum menyadari keberadaanku. Saat itu juga Hafidz berlari menghampiriku.

"Abi ... ini Abi kan?" ucap Hafidz histeris.

"Hafidz, anakku ... iya nak, sini peluk Abi yang telah pulang ini!"

Hafidz pun menghambur memelukku begitu erat, kami larut dalam tangis. Tak lama terdengar rengekan kecil dari bibir Hafidza minta diturunkan, lalu Ibunya Inayah menurunkannya. Hafidza menyusul Hafidz untuk memelukku.

"Abi ... Hafidza kangen, Abi kemana saja? Kata orang-orang Abi udah meninggal"

"Engga sayang, Abi masih hidup. Ini buktinya Abi masih ada di depan kamu dan memeluk kalian, Abi pun sangat merindukan kalian, Nak!"

Ikatan bathin antara kami begitu intens. Kulihat Habibi seperti sedang melamun, entah apa yang ia fikirkan. Masa bodohlah ....
Aku masih penasaran, siapa wanita yang tadi datang bersama Anakku? Ia menghampiri Habibi dan mencium tangannya setelah mengucap salam. Setelah itu kulihat ia menghampiri kedua orangtua Inayah serta merta untuk menyalaminya.

"Dek, kok kamu ada di sini! Tau dari mana?" masih bisa kudengar ucapnya pelan, pada wanita itu.

"Tadi Ibu dan Bapaknya Inayah mengabari aku, Bang! Makanya aku ikut ke sini untuk melihat keadaan Inayah. Bagaimana kondisinya? Aku sangat mengkhawatirkannya?"

Wanita itu memanggil Habibi dengan sebutan Abang, adiknya kah?

"Entahlah Dek, kami belum diijinkan masuk."

"Kami? Ngomong-ngomong dia siapa Bang?" Ucap wanita itu seraya menunjuk ke arahku.

"Kamu dengar sendiri 'kan tadi, anak-anak memanggilnya dengan sebutan apa?"

"Abi ... apakah orang itu adalah mantan suami Inayah yang dikabarkan telah wafat?" ucapnya.

Habibi menganggukan kepala, kurang ajar aku masih hidup begini kok.

"Tidak, aku bukan mantan suaminya Inayah. Berita tentang wafatku mungkin memang benar. Karena ada yang menemukan jenazah yang diyakini adalah aku, ada ciri-ciri yang membuatnya dikenali sebab memakai jam tanganku."

"Padahal faktanya di hari yang sama jam tanganku hilang. Tapi pernyataan aku adalah mantan suaminya Inayah, itu tak kubenarkan! Aku masih suaminya, lagipula kamu siapa? Kamu tak tahu apa-apa tentangku. Jangan asal bicara!"

"Maaf kalau saya salah dalam bicara! Saya Rani, Istri pertama Bang Habibi, sekaligus Kakak madunya Inayah."

"Apaaa???"

Bapaknya Inayah mendekat, lalu mengajak aku ke tempat lain. Khawatir teriakanku mengganggu pasien lain.

🌺🌺🌺

Dan di sinilah sekarang aku bersama Bapaknya Inayah, di kantin Rumah Sakit.

"Nak Dani, andai ada cara agar Bapak bisa membuatmu bisa mengikhlaskan Inayah bersama suaminya saat ini, Bapak rela akan melakukannya. Apapun itu!"

"Tak perlu, Pak! Aku sadar akan semua kejadian ini, mungkin sampai di sini Inayah berjodoh denganku. Aku yang akan pergi dari kehidupannya, tapi meski pun secara agama status kami sudah jatuh talaq. Secara pribadi aku belum mentalaqnya, ijinkanlah kelak aku datang untuk menyatakan langsung bahwa aku mentalaqnya."

"Silahkan Nak, lakukanlah kalau itu bisa membuatmu tak membenci kami. Hanya saja Bapak minta jangan sekarang-sekarang ini! Inayah perlu istirahat dan butuh waktu untuk menenangkan hatinya."

"Baik, Pak. Aku akan datang kalau kiranya hati ini juga sudah tenang. Kalau begitu aku pamit ya, Pak."

"Mau kemana kamu, Nak?"

"Entahlah, yang pasti aku butuh tempat dan waktu untuk introfeksi diri."

"Pintu rumah Bapak selalu terbuka untukmu, datanglah bila Nak Dani butuh sesuatu!"

"Insya Allah, sampaikan salamku untuk Ibu, Inayah, anak-anak juga Habibi. Semoga mereka berbahagia selamanya."

"Aamiin"

"Assalamualaikum," ucapku seraya mencium telapak tangan beliau.

"Waalaikummusalam Warrahmatullah," jawabnya.

Ada raut kesedihan di wajah beliau, hatiku bergetar menahan airmata yang sedari tadi akan tumpah. Kutinggalkan beliau sendiri.

Kakiku berjalan tak menentu arah, entah akan kubawa kemana langkahku ini. Sampai ketika aku merasa lelah, perjalanan pun kuhentikan. Di taman inilah akhirnya kuhempaskan segala penat, letih dan keputus asaanku dengan bersandar pada sebuah pohon beringin.

Sejuknya angin membuai hingga melenakanku dalam alam mimpi, di tengah lelapnya tidurku. Ada sebuah tepukan ringan di bahuku, dengan amat perlahan kubuka mata. Sesosok wanita cantik berhijab, wajahnya amat sangat kukenali. Inayah ....

"Inayah, kau kah itu?"

Ia tampak menangis, tapi sekata pun ia enggan menjawab pertanyaanku.

"Dek, kenapa kau berada di sini? Kembali lah nanti Habibi mencarimu!"

"Habibi? Lupakah Abang padaku?"

Aku tercengang mendengar suaranya, sungguh inilah suara yang dulu amat kurindukan. Yang senantiasa kucari keberadaannya.

"Kau ...."

Bersambung

Second Married (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang