Part 24

14.9K 1.1K 166
                                    

Pagi ini, aku mengantar Lala ke sekolah, lalu bergegas ke rumah sakit, karena dapat telepon dari pihak administrasi.

Terpaksa izin ke Adrian tak masuk kerja dengan alasan ada urusan sekolah Lala. Tak berani berterus terang untuk saat ini, karena ingin menjaga perasaannya. Sebenarnya bukan tanggung jawabku lagi, tapi tak ada orang selain aku yang bisa menjaganya.

Lala sengaja tak kuberi tahu kalau ayahnya sedang dirawat. Karena jika dia tahu, pasti tak mau sekolah dan akan merengek untuk tidur di rumah sakit menemani Mas Adi. Pakde dan Bude Noto pun sudah aku wanti-wanti untuk tak bilang ke Lala.

"Sus, saya Sintya. Keluarga pasien Bapak Prambudi Setiadi. Semalam dapat telepon disuruh datang. Ada apa, ya?"

"Kok baru datang, Bu?"

"Iya, Sus. Anak saya nggak ada yang nemenin kalo saya tinggal."

Suster yang terlihat judes, karena selama berbincang denganku tak menunjukkan senyum itu, akhirnya menjelaskan kenapa semalam aku harus datang.

Mas Adi semalam memaksa untuk pulang dan menolak pengobatan yang diberikan pihak rumah sakit, tapi mereka tak bisa menuruti permintaan pasien tanpa persetujuan keluarga.

Setelah mendengar omelan suster tentang keras kepalanya Mas Adi, aku pergi ke kamar perawatannya.

Saat masuk ke kamarnya, Mas Adi sedang duduk di ranjang. Aku menanyainya sudah sarapan atau belum, tapi dia diam saja. Semalam memang dia berada di rumah sakit sendirian, aku menitipkannya ke suster jaga.

Mas Adi memang tak mau keberadaannya di rumah sakit diketahui oleh orang lain, jadi tak ada yang bisa dimintai tolong untuk menjaganya. Sedangkan aku harus menjaga Lala.

"Mas mau pulang aja," ucapnya.

"Nggak ingin sembuh?"

"Percuma."

"Ngga ingin berusaha?"

"Rawat di rumah saja."

"Siapa yang mau rawat? Istri Mas ke mana? Coba hubungi, suruh pulang, rawat suaminya. Istri macam apa itu suaminya sakit nggak diurusi!" Mas Adi diam dan memandangiku. Mungkin dia tak menyangka kata-kata ketus itu bisa keluar dari mulutku.

Mas Adi memang tak suka dengan rumah sakit, tempat yang sangat tak ingin disinggahi. Dulu, untuk menjenguk saudara atau tetangga, selalu aku yang pergi sendirian mewakili. Hanya saat almarhumah Mamah, dia mau menunggu, mungkin karena terpaksa tak ada orang lain.

Dulu, almarhum papanya meninggal di rumah sakit karena sakit jantung yang diderita. Lama dirawat, tapi tak kunjung sembuh hingga akhirnya meninggal. Saat itu, Mas Adi yang sedang menungguinya hingga saat terakhirnya. Setiap melihat rumah sakit, dia pasti teringat kejadian itu.

"Kalo Sintya nggak mau bilang ke dokter, biar mas sendiri yang bilang!" ancam Mas Adi. Terpaksa aku menuruti permintaannya.

Sambil menunggu kunjungan dokter, aku menyodorkan sarapan yang sudah ada di meja. Mas Adi menolak, tapi setelah melihatku yang diam dan hanya menatapnya, dia pun mau memakannya.

Tak lama, dokter datang dan mulai memeriksa. Aku memilih untuk keluar dari kamar. Setelah beberapa saat, dokter keluar dari kamar dan memintaku untuk mengikutinya.

"Bu, tadi Pak Adi meminta pulang," ucap dokter, setelah kami sampai di ruangannya. Ternyata dokter sudah tau keinginan Mas Adi.

"Iya, Dok. Dia maksa. Bagaimana baiknya, Dok?"

Kemudian dokter menjelaskan tentang sakit Mas Adi yang sudah menyebar hingga ke kelenjar getah bening dan bagian organ lainnya, harus segera dioperasi dan kemoterapi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 26, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Istri Mantan SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang