Bab 10

6.7K 1.2K 70
                                    

Ketakutanku sampai saat ini hanya satu, takut kamu merasa nyaman dengan yang lain. Padahal di sisimu sudah ada aku.

Malam kemarin aku sengaja menahan diri. Bukannya aku tidak marah melihat sekilas isi chat dari Desi, tapi karena aku sadar meminta penjelasan dari Gempa butuh banyak bukti. Sehingga kupikir akan lebih baik aku mencari bukti lain terlebih dahulu. Siapa tahu apa yang aku lihat tidak seperti apa yang kupikirkan.

Memang sih jika dibandingkan isi chatku dengan Gempa tahu lalu, rasanya berbeda sekali. Dulu malah aku malas sekali membalas pesan dari bosku itu. Tapi kenapa Desi bisa senyaman itu membalas pesan Gempa.

"Nanti sore kamu pulang duluan aja. Aku hari ini mau ke Sunter. Ada meeting di sana." Katanya masih santai menikmati sarapan pagi yang kubuatkan.

Aku meliriknya sekilas. Dia masih saja rapi, seperti dulu sebelum kami menikah. Harum tubuhnya masih sama. Bahkan warna kemeja kesukaannya pun belum berubah.

Apalagi jika kuperhatikan tidak sedikitpun ada gelagat kecentilan yang biasa ditunjukkan oleh seorang laki-laki yang sedang merasakan puber ke dua.

"Kenapa?" tanya Gempa yang ternyata memergokiku.

Aku menggeleng. "Enggak papa. Kayaknya aku juga ada janji sama imamas."

"Imamas?"

Tawaku geli melihat ekspresi anehnya. "Ituloh anak buahmu, Anna dan Lea."

"Dasar kalian. Enggak berubah."

"Enggak lah. Ngapain berubah kalau sudah nyaman seperti ini." Jawabku entah kenapa terasa seperti menyindirnya.

Setelah percakapan singkat di meja makan, kami sama-sama diam kembali. Hingga tiba di kantor, dan berpisah lantai di mana aku harus ke lantai di mana aku bekerja. Dan dia ada di lantai dua, di mana dulu aku bekerja bersamanya.

***

"Tumben lo ngajakin makan di luar."

Kata Lea yang menatapku bingung. Siang ini kami bertiga akan makan di salah satu restoran yang kebetulan berada di dalam mall depan kantor kami.

Sudah lama sekali memang kami tidak makan di luar. Apalagi kedua sahabatku ini seakan sok sibuk sendiri dengan pekerjaan mereka.

"Enggak boleh apa sesekali makan di luar." Kataku sebal.

"Boleh lah. Boleh banget. Emang lo mau makan berapa banyak sih?" kata Lea sambil merangkul lenganku.

"Banyak. Karena gue butuh banyak nutrisi." Jelasku kepada keduanya.

"Siap bu bos."

Sambil menunggu makanan datang, Lea dan Anna saling ghibah bersama. Keduanya membicarakan burung Pipit, yang dulu selalu mengikuti kami makan, karena kemarin ini tiba-tiba saja diresignkan.

"Mungkin dia ada masalah kali."

"Iya. Ada masalah tuh sama si Anna." Sindir Lea sambil melirikku.

"Masalah apaan, An?"

"Iya gitu Mel. Ngeselin emang tuh anak. Masa dia jebak gue gitu. Dia WA gue nyamar pakai nama cowok, sok-sok kenalan. Tapi ujung-ujungnya malah tanya-tanya soal PRF."

"Dan lo jelasin ke dia?"

Anna tertawa sambil meringis. "Ya gitu. Bodohnya gue. Kalau udah ghibah susah ngeremnya."

Kepalaku menggeleng cepat. "Ya ampun, An. Lo kan tahu PRF itu rahasia. Sampai akhirnya Personel Admin yang hubungi karyawan yang bersangkutan jika hubungan kerja mereka sudah diberhentikan. Gimana sih lo, gitu aja masih salah juga."

Kamel InvestigationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang