“Mega...!”
Suatu teriakan keras tiba-tiba mengejutkan dua anak muda yang tengah duduk berdampingan di lereng sebuah bukit, menghadap ke arah lembah yang subur dengan sawah menguning dan kicauan burung pipit berebut padi. Seketika dua anak manusia itu saling berpandangan. Sementara, wajah pucat nampak tersirat pada gadis cantik yang duduk merapat di sebelah pemuda yang mengenakan baju kulit binatang tanpa lengan. Wajahnya cukup tampan, dengan rambut panjang tergelung ke atas.
“Mega...!”
Terdengar lagi suara panggilan keras dari arah kaki lereng gunung ini. Suaranya terdengar keras. Bahkan seakan-akan begitu dekat, terpantul oleh dinding tebing batu yang hampir memenuhi seluruh permukaan Lereng Gunung Parakan ini. Wajah gadis itu semakin terlihat pucat. Dan pemuda itu meraih tangannya, menggenggam hangat. Bibirnya menyunggingkan senyum manis, seakan-akan hendak mengatakan sesuatu.
“Pulanglah dulu. Ayahmu sudah memanggil, Mega,” lembut sekali suara pemuda itu.
“Maafkan aku, Kakang Partanu,” ucap Mega lirih.
“Aku sudah cukup bahagia jika kau selalu mencintaiku, Mega,” tetap lembut nada suara Partanu.
“Hhh...! Mengapa ayah selalu begitu...? Kenapa dia begitu benci padamu, Kakang...?” nada suara Mega terdengar mengeluh.
“Mega....”
Mereka saling bertatapan mesra, kemudian perlahan-lahan pemuda itu merengkuh tubuh Mega dan membawanya ke dalam pelukan. Mega menyandarkan kepalanya di dada yang bidang dan kekar itu, seakan hendak mendengarkan suara hati kekasihnya ini. Perlahan mereka saling melepaskan pelukan, dan kembali saling bertatapan.
“Pulanglah. Sebentar lagi malam,” ujar Partanu lagi. Tetap lembut suaranya.
“Aku besok akan datang lagi ke sini, Kakang,” jelas Mega.
“Jangan terlalu sering. Aku tidak ingin ayahmu jadi kalap. Nanti kau sendiri yang akan susah, Mega,” Partanu menasehati.
“Kakang... Sebenarnya aku ingin sekali kau membawaku pergi ke mana saja, asal jauh dari desa ini. Jauh dari orang-orang yang selalu membencimu. Kau bersedia membawaku pergi kan, Kakang...?” nada suara Mega penuh harap.
Partanu hanya tersenyum saja, kemudian menarik napas dalam-dalam dan bangkit berdiri. Mega ikut berdiri dibantu pemuda itu.
“Mega...! Di mana kau...?”
Terdengar lagi suara keras bernada panggilan dari arah kaki gunung ini. Mega memandangi wajah kekasihnya dalam-dalam, seakan enggan untuk berpisah lagi. Gadis itu tahu, kalau sudah berpisah sukar untuk bertemu lagi.
“Aku pulang dulu, Kakang,” ucap Mega pelan. “Pulanglah,” desah Partanu.
Mega melangkah mundur beberapa tindak. Sebentar dipandanginya pemuda itu, kemudian tubuhnya berbalik dan langsung berlari menuruni lereng. Sementara Partanu masih berdiri mematung memandangi gadis itu yang semakin jauh menuruni lereng.
“Hhh...!” Partanu menghembuskan napas panjang begitu bayangan tubuh Mega sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
Partanu masih berdiri mematung, dan pandangannya tidak berkedip ke arah kaki gunung ini. Beberapa kali ditarik napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Terngiang-ngiang lagi kata-kata Mega yang meminta untuk membawanya lari. Gadis itu sudah tidak tahan lagi berada dalam kungkungan dan pengawasan ayahnya yang ketat. Sebentar saja menghilang, pasti sudah dicari.
“Kasihan kau, Mega. Sudah terlalu banyak penderitaan yang kau alami. Aku tidak ingin membuatmu semakin menderita...,” desah Partanu pelan.
“Partanu...!”
“Oh!” Partanu tersentak ketika mendengar suara panggilan dari arah belakang.
Pemuda itu cepat memutar rubuhnya, dan tersenyum begitu melihat seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun tahu-tahu sudah berdiri di dekatnya. Sungguh tidak diketahuinya, kapan laki-laki bertubuh tegap yang wajahnya dihiasi brewok ada di situ. Gagang golok menyembul keluar dari balik ikat pinggangnya.
“Ayah.... Aku tidak tahu kalau Ayah ada di sini,” ujar Partanu buru-buru.
“Aku sudah ada di sini sejak tadi, Partanu,” berat dan besar sekali suara laki-laki itu. Namanya Puliga, tapi orang-orang lebih mengenalnya sebagai Iblis Gunung Parakan. Itu julukannya.
“Oh...!” Partanu mendesah kaget.
“Kau mencintai anak si Anta itu, Partanu?” langsung saja Puliga bertanya.
“Benar, Ayah,” sahut Partanu seraya tertunduk. Pemuda itu benar-benar tidak sanggup menatap sinar mata ayahnya yang tajam memerah bagai sepasang bola api.
“Kau sanggup menanggung segala akibatnya?”
“Maksud Ayah...?!” Partanu tidak mengerti.
Langsung diangkat kepalanya, menatap wajah laki- laki berwajah kasar itu.
“Partanu, tidak ada seorang pun yang akan sudi menerimamu. Kau adalah anak Puliga, si Iblis Gunung Parakan yang sudah terkenal tukang begal, perampok, dan pembunuh berdarah dingin. Tak ada seorang pun yang akan menerimamu, Partanu,” jelas Puliga lagi.
”Tapi kami sudah bertekad, Ayah,” mantap suara Partanu.
“Jika itu memang tekadmu, kau harus mendapatkannya dengan cara apa pun juga. Dan yang lebih penting lagi, kau harus menghadapi segala tantangan. Sanggup?”
“Sanggup!” jawab Partanu langsung tanpa berpikir lagi.
“Ha ha ha...!”
KAMU SEDANG MEMBACA
41. Pendekar Rajawali Sakti : Asmara Maut
ActionSerial ke 41. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.