BAGIAN 8

868 32 1
                                    

Belum juga Rangga berjalan jauh, tiba-tiba ayunan kakinya terhenti. Telinganya yang tajam, seketika mendengar suara langkah kaki terseret. Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melesat ke atas, lalu hinggap di atas dahan pohon. Pandangannya lurus tak berkedip menatap ke arah datangnya suara itu.
Tak berapa lama kemudian, muncul seorang laki-laki tua bertubuh kurus mengenakan baju kumal dan sudah pudar warnanya. Dia membawa keranjang bambu cukup besar. Dua orang laki-laki bersenjata golok di pinggang, mengikuti dari belakang. Mereka berjalan agak cepat menaiki Lereng Gunung Parakan ini.
“Ayo lebih cepat lagi Ki Jamat. Kau tidak boleh terlambat memberi makan buat Mega!” bentak seorang yang berjalan di belakang laki-laki tua kurus itu.
“Uh! Apa kalian tidak tahu kalau yang kubawa ini berat...!” rungut Ki Jamat.
“Huh! Mentang-mentang sudah dipercaya Ki Puliga, kau sekarang berani bertingkah!” dengus seorang lagi.
Laki-laki tua yang dipanggil Ki Jamat itu tampak bersungut-sungut. Sementara Rangga yang berada di atas pohon, bisa mendengar semua percakapan itu. Darahnya langsung mendidih begitu mendengar nama Mega disebut-sebut. Setelah berpikir sejenak, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat turun, dan langsung memberi dua pukulan beruntun ke arah dua orang yang berjalan di belakang Ki Jamat.
“Hiyaaat..!” Dughk! Beghk!
Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, dua orang itu langsung ambruk ke tanah dan tak berkutik lagi. Ki Jamat terkejut bukan main. Laki-laki tua itu langsung terpaku dengan lutut gemetar begitu melihat di depannya kini sudah berdiri seorang pemuda tampan mengenakan baju rompi putih. Terlebih lagi saat melihat dua orang yang menyertainya sudah tergeletak tak bergerak-gerak lagi.
“Aku tidak akan melukaimu, jika kau tunjukkan di mana Mega,” kata Rangga, tajam suaranya.
“Oh...,” Ki Jamat tergagap.
Seketika itu juga, wajah laki-laki tua kurus itu jadi pucat pasi. Seluruh tubuhnya gemetaran, sehingga tidak kuat lagi menahan beban keranjang bambu yang dibawanya. Keranjang bambu itu jatuh ke tanah. Semua isinya yang ternyata bahan makanan mentah, berserakan.
“Tidak perlu takut padaku, Ki. Kau hanya kuminta menunjukkan, di mana Mega disembunyikan. Dan kau bisa bebas meneruskan perjalananmu kembali,” kata Rangga mencoba lembut.
“Sss..., siapa kau...?” tanya Ki Jamat masih tergagap.
“Aku Rangga,” sahut Rangga.
“Rangga...?!”
Tiba-tiba saja Ki Jamat jatuh terkulai di tanah begitu Rangga menyebutkan namanya. Seluruh wajahnya semakin pucat pasi. Keringat sebesar butiran jagung menitik membasahi wajah dan lehernya. Tubuhnya semakin keras bergemetaran.
“Kau tidak perlu takut padaku, Ki. Aku tidak akan menyakitimu,” kata Rangga meyakinkan.
“Tap..., tapi...,” suara Ki Jamat terputus.
Rangga mendekati laki-laki tua itu, lalu membawanya berdiri. Meskipun sikap Pendekar Rajawali Sakti menunjukkan sikap persahabatan, namun Ki Jamat masih juga ketakutan. Masalahnya, nama Rangga yang kini menjadi musuh besar majikannya pernah didengarnya. Malah juga sudah mendengar kalau ilmu kesaktian yang dimiliki pemuda ini tinggi sekali, sehingga Ki Puliga hampir dikalahkan. Tapi karena kesalahan yang kecil saja, si Iblis Gunung Parakan itu berhasil membuat Rangga terluka parah. Dan sekarang pemuda berbaju rompi putih itu ada di depannya.
“Kau takut pada majikanmu, Ki?” tebak Rangga langsung.
Ki Jamat tidak langsung menjawab. Sebenarnya laki-laki tua kurus itu memang takut pada Ki Puliga. Kalau   sampai menunjukkan tempat Mega kini berada, sudah dapat dibayangkan kalau kematian akan cepat merenggutnya. Iblis Gunung Parakan tidak akan segan-segan memenggal kepala siapa saja yang mengkhianatinya. Bahkan lawan-lawannya tidak ada yang dibiarkan hidup.
“Dengar, Ki. Aku berjanji akan melindungi keselamatanmu jika kau bersedia menunjukkan, di mana Mega sekarang berada,” bujuk Rangga.
“Aku..., aku tidak tahu,” sahut Ki Jamat tergagap.
“Kau tidak bisa membohongiku, Ki. Kau pasti tahu, di mana Mega berada. Aku mendengar percakapanmu dengan dua orang itu tadi,” desak Rangga.
Ki Jamat jadi serba salah. Diliriknya dua orang yang menyertainya. Dia tidak tahu, apakah dua orang itu sudah mati atau hanya pingsan saja.
“Aku hanya membuatnya pingsan, dan mereka akan sadar kembali,” kata Rangga seolah-olah bisa menebak jalan pikiran laki-laki tua kurus itu.
Ki Jamat merayapi wajah Rangga di depannya, seakan-akan ingin meyakinkan dirinya sendiri kalau pemuda tampan berbaju rompi putih ini bukanlah manusia kejam seperti majikannya. Karena semua yang didengarnya mengenai Rangga, mengatakan kalau pemuda ini lebih kejam daripada Ki Puliga. Tapi Ki Jamat jadi ragu-ragu juga.
“Baiklah. Tapi kau harus berjanji melindungiku dari kekejaman Ki Puliga dan orang-orangnya,” Ki Jamat menyerah setelah berpikir cukup lama juga.
“Aku janji,” sahut Rangga tersenyum.

41. Pendekar Rajawali Sakti : Asmara MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang