Setelah dua hari tinggal di pondok Paman Sentanu, Rangga baru kembali melanjutkan perjalanannya. Pendekar Rajawali Sakti merasakan kali ini tidak ada beban yang harus ditanggung, sehingga berjalan enak tanpa harus diburu-buru. Sengaja jalan yang diambil dengan memutari Bukit Langgang. Tapi sungguh tidak disadari kalau jalan yang ditempuhnya ini, justru menuju Gunung Parakan. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu baru menyadari setelah melihat dua buah batu kembar yang berdiri berdampingan bagai menyerupai gerbang. Batu itu merupakan sebuah tanda memasuki daerah Gunung Parakan.
“Berhenti...!”
Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba mendengar bentakan keras. Dan belum juga hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja muncul seorang laki-laki setengah baya berwajah kasar penuh brewok. Bajunya warna hijau tua yang ketat, membentuk tubuhnya yang kekar berotot. Sebuah gagang golok berwarna hitam, menyembul dari balik pinggang.
“Kau yang bernama Rangga...?” tanya laki-laki setengah baya itu. Suaranya besar dan terdengar berat sekali.
“Benar, dan kau siapa?” Rangga balik bertanya.
“Aku Puliga.”
Rangga mengerutkan alisnya begitu mendengar laki-laki berbaju hijau tua itu menyebutkan namanya. Dia teringat cerita Ki Anta. Ternyata orang ini yang bernama Puliga dan berjuluk si Iblis Gunung Parakan. Saat itu juga Rangga sudah bisa menebak maksud laki-laki itu mencegatnya di tempat ini.
“Kau memang cukup gagah, Rangga. Tapi itu bukan berarti bisa seenaknya saja merebut kekasih orang. Kau tahu, apa akibatnya bila berani berurusan dengan Iblis Gunung Parakan?” jelas sekali kalau nada suara Puliga mengandung ancaman.
“Aku tidak mengerti maksudmu...?” Rangga berpura-pura.
“Phuih!” Puliga menyemburkan ludahnya. “Jangan berpura-pura di depanku, Bocah! Kau bisa saja berbangga hati telah mengalahkan anakku, tapi jangan harap bisa lepas dari tanganku!”
“Hm...,” Rangga mengerutkan keningnya, sehingga matanya hampir menyipit.
Sementara Puliga sudah menggeser kakinya ke samping agak ke depan. Sorot mata laki-laki berbaju hijau tua itu demikian tajam menusuk langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Digesernya gagang golok dengan ujung sikutnya. Dua kali ludahnya disemburkan, mencoba menggertak pemuda yang kelihatan tenang di depannya.
“Dengar, Anak Muda. Aku akan memberi kesempatan hidup jika kau bersedia berjanji untuk menjauhi Mega. Dia calon istri anakku!” dengus Puliga, dingin nada suaranya.
“Maaf, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Mega. Sedangkan pertarunganku melawan anakmu, karena aku diserang lebih dahulu. Aku hanya mempertahankan diri,” sahut Rangga mencoba menjelaskan.
“Setan...! Kau merendahkan anakku!” geram Puliga, langsung memerah wajahnya.
“Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya...!” “Cukup!” bentak Puliga memutus ucapan Rangga.
'“Ternyata kau memang tidak bisa dikasih hati, Bocah! Sekarang bersiaplah untuk mati...!”
Setelah berkata demikian, Puliga mengecutkan kedua tangannya di depan dada. Lalu sambil berteriak nyaring melengking tinggi, laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu melompat cepat. Dua kali dilontarkan pukulan dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Hup...!”
Cepat Rangga menggeser kakinya ke belakang sedikit, kemudian mengegoskan tubuhnya, mencoba menghindari terjangan si Iblis Gunung Parakan itu. Namun setelah serangan pertamanya itu lolos, Puliga langsung menyambung dengan serangan berikut. Dan ini membuat Rangga sedikit kerepotan juga. Cepat- cepat dikerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', sehingga serangan-serangan yang dilancarkan Puliga tidak ada yang mengenai sasaran. Pertarungan itu terus berlangsung semakin sengit. Jurus demi jurus berganti cepat, namun belum ada tanda-tanda kalau pertarungan itu bakal berakhir. Mereka sama-sama memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dan sama-sama mempunyai jurus-jurus ampuh dan dahsyat.
Sekitar tempat pertarungan sudah porak-poranda tidak berbentuk lagi. Batu-batu berhamburan dan pecah berkeping-keping. Pepohonan juga bertumbangan tak tentu arah, terkena sambaran pukulan bertenaga dalam tinggi yang nyasar. Meskipun mereka sudah sama-sama mengerahkan jurus andalan, namun tampaknya pertarungan masih akan berlangsung lama.
“Hhh! Tangguh juga dia...,” ujar Rangga mengakui dalam hati ketangguhan lawannya.
“Sepuluh orang seperti dia, bisa mengancam kehidupanku,” desah Puliga dalam hati.
Di dalam hati masing-masing, satu sama lain saling mengakui dan memuji ketangguhan lawan. Tapi mereka tidak akan menunjukkan pujian itu di saat bertarung seperti ini. Entah sudah berapa jurus berlangsung, tapi belum juga ada tanda-tanda bakal mengakhiri pertarungan.
“Hup! Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja Puliga melompat ke belakang sejauh lima langkah. Sekali tubuhnya berputaran di udara, kemudian mendarat manis sekali di tanah. Saat itu juga langsung dicabut golok hitamnya yang mengepulkan asap tipis berwarna kehitaman. Puliga melintangkan goloknya di depan dada. Kakinya pelahan bergeser ke samping. Matanya menyorot tajam memerah, bagai hendak membakar hangus seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga masih belum mau mencabut senjatanya, karena diyakini dirinya masih bisa menandingi laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu dengan tangan kosong. Namun demikian kewaspadaannya semakin bertambah, melihat golok di tangan Puliga semakin tebal mengeluarkan asap kehitaman.
“Hiyaaat..!”
Tiba-tiba saja Puliga melompat cepat sambil mengibaskan goloknya tiga kali ke arah bagian tubuh Rangga yang mematikan.
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat Rangga menggeser kakinya ke kanan, lalu menarik tubuhnya ke belakang seraya meliuk menghindarkan diri dari tebasan golok berwarna hitam pekat itu. Namun mendadak saja hatinya terkejut, karena cuping hidungnya langsung kembang kempis begitu menghirup asap hitam yang keluar dari golok itu.
''Hap...!”
Buru-buru Rangga melompat berjumpalitan ke belakang, tepat pada saat Puliga mengibaskan senjatanya ke arah kaki. Dua kali Rangga berjumpalitan di udara, kemudian mendarat ringan di tanah. Saat itu, Puliga sudah kembali melompat menerjangnya. Gerakan laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu, sungguh cepat luar biasa, sehingga membuat Rangga secfikit terperangah. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu cepat-cepat mengegoskan tubuhnya berkelit, saat golok hitam mengepulkan asap itu mengibas ke arah dada.
“Hap! Yeaaah...!”
Rangga cepat-cepat menghentakkan tangannya ke depan begitu golok hitam itu lewat di depan dada. Dan sentakan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat menghantam dada si Iblis Gunung Parakan yang lowong tak terjaga keselamatannya.
Dughk!
KAMU SEDANG MEMBACA
41. Pendekar Rajawali Sakti : Asmara Maut
AcciónSerial ke 41. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.