“Akh...!” Rangga memekik keras. Pendekar Rajawali Sakti itu terpental jauh ke belakang, langsung menghantam lima buah pohon hingga hancur berkeping-keping. Tubuhnya terhenti setelah menghancurkan sebongkah batu cadas yang cukup besar. Rangga menggeliat sambil merintih lirih. Tampak dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah segar dan kental. Sungguh dia tidak tahu kalau ajian yang dilepaskan Ki Puliga bisa menahan aji 'Cakra Buana Sukma'. Rangga langsung menyadari kalau ajian yang dimiliki Ki Puliga satu aliran dengan ajian yang dimilikinya. Dan hal ini memang kelemahan aji 'Cakra Buana Sukma', yang tidak bisa digunakan untuk melawan ajian sealiran.
“Ha ha ha...!” Ki Puliga tertawa terbahak-bahak. Laki-laki tinggi besar itu berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Dengan mantap, diayunkan kakinya mendekati Rangga yang masih menggeletak di atas reruntuhan batu sambil mengerang menahan rasa sakit. Sekujur tubuhnya terasa seperti remuk.
“Tiba saatmu untuk pergi ke neraka, Pendekar Rajawali Sakti!” desis Ki Puliga dingin.
Sret!
Ki Puliga mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Golok hitam itu mengepulkan asap agak kehitaman yang mengandung racun. Sambil menyeringai, langkahnya terus semakin mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
“Hiyaaa...!” Ki Puliga berteriak keras menggelegar.
Cepat sekali si Iblis Gunung Parakan itu melompat sambil mengayunkan goloknya ke tubuh Rangga yang masih tergeletak sambil menggeliat dan merintih merasakan sakit pada sekujur tubuhnya.
Bet!
Bagaikan kilat, golok Iblis Gunung Parakan mengibas ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu, Rangga benar-benar sudah tidak berdaya untuk menghindar. Dia hanya bisa memejamkan mata saja. Pikirannya mengatakan kalau mungkin ini adalah akhir dari segala petualangannya. Namun sebelum golok berwarna hitam mengepulkan asap itu sampai pada sasaran di leher Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat, langsung menyambar tubuh Rangga yang tergeletak tak berdaya.
Cras!
Golok Ki Puliga menghantam tanah berbatu. “Setan...!” geram Ki Puliga marah.
Cepat-cepat dilayangkan pandangannya, namun bayangan yang menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tak berbekas lagi. Ki Puliga memaki-maki dan menggeram marah. Kakinya menendang batu-batuan yang berserakan di sekitarnya. Dia mengamuk, membabatkan goloknya pada pepohonan untuk melampiaskan kemarahan.
“Aku tidak akan puas sebelum kau mampus, Rangga...!” geram Ki Puliga dengan suara keras.
Suara si Iblis Gunung Parakan itu menggema keras, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Suara itu masih terdengar menggema meskipun tubuhnya sudah melesat pergi dengan kecepatan luar biasa.***
Malam itu udara di seluruh permukaan Desa Parakan dingin sekali. Angin bertiup kencang, seakan-akan hendak merobohkan seluruh rumah penduduk. Debu beterbangan bercampur daun-daun yang berguguran. Suara angin yang bertiup keras, menderu-deru, membuat jantung terasa bergetar mendengarnya. Dalam keadaan cuaca seperti ini, tak ada seorang pun yang ingin meninggalkan rumahnya.
Namun tidak demikian halnya dengan seseorang yang bergerak cepat menyelinap dari satu rumah ke rumah lainnya. Gerakannya demikian ringan, tak menimbulkan suara sedikit pun. Terlebih lagi suara angin yang menderu kencang, cukup membantu untuk tidak terdengar. Sosok rubuh yang mengenakan baju hitam itu berhenti bergerak setelah dekat dengan sebuah rumah besar dan berhalaman luas. Matanya yang tajam, mengamati rumah itu tanpa berkedip.
“Hup. .!”
Ringan sekali tubuhnya melesat, langsung hinggap di atas atap rumah itu. Sebentar dia diam sambil agak merapatkan tubuhnya di atap. Matanya semakin tajam memperhatikan sekelilingnya, lalu bayangan itu kembali melesat turun ke bagian samping. Namun sebelum melakukan sesuatu, mendadak saja terdengar suara bentakan keras.
“Hei...! Siapa itu...?”
“Sial...!” dengus bayangan itu kesal.
Dan sebelum sempat menyembunyikan diri, dari pintu ke luar seorang laki-laki setengah baya sambil menghunus sebilah golok berkilat. Sosok bertubuh hitam itu tidak bisa menyembunyikan diri lagi.
“Siapa kau?! Mau apa malam-malam menyelinap ke sini?!” bentak laki-laki setengah baya yang tak lain adalah Ki Anta, Kepala Desa Parakan ini.
Pertanyaan Ki Anta tidak dijawab orang berbaju hitam gelap. Laki-laki setengah baya itu mencoba mempertajam penglihatannya. Namun sukar baginya untuk bisa mengenali wajah dalam keadaan gelap seperti ini. Terlebih lagi, jarak mereka cukup jauh, sekitar tiga batang tombak lebih.
“Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja orang berbaju hitam itu berteriak keras, seraya mengelebatkan tangan kanannya cepat ke depan dengan tubuh sedikit membungkuk ke samping. Seketika dari tangan kanannya melesat deras dua buah benda kecil berwarna keperakan. Begitu cepatnya, sehingga membuat Ki Anta terperangah.
Crab! Crab!
Kedua benda itu langsung menembus dada Ki Anta.
“Aaa...!” Ki Anta berteriak keras melengking tinggi
Hanya sebentar laki-laki setengah baya itu mampu berdiri tegak, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Darah merembes keluar dari dadanya yang bolong tertembus dua benda berwarna keperakan. Pada saat itu, dari dalam rumah keluar seorang gadis yang ternyata Mega, putri Kepala Desa Parakan itu.
“Ayah...!” jerit Mega terkejut melihat ayahnya menggelepar di tanah meregang nyawa.
“Mega, lari...!” seru Ki Anta memperingatkan.
Laki-laki tua itu mencoba bangkit berdiri. Namun sebelum bisa bangkit, sosok tubuh berbaju hitam itu sudah lebih cepat melesat. Seketika, dilontarkan satu pukulan keras, langsung ke kepala Ki Anta.
“Aaa...!” sekali lagi Ki Anta menjerit melengking tinggi.
“Ayah...!” teriak Mega.
Gadis itu langsung berlari memburu ayahnya. Tapi sebelum sampai, orang berbaju hitam itu sudah lebih cepat lagi melesat dan langsung menyambarnya.
“Oh, aaakh...!” Mega memekik terkejut.
Tapi jeritan Mega hanya sampai di situ saja. Ternyata orang itu sudah menggerakkan tangannya untuk menotok jalan darah gadis itu, sehingga membuat Mega jatuh lemas seketika. Orang itu memanggul tubuh ramping di pundaknya. Sebentar dipandangi mayat Ki Anta yang bergelimang darah. Kepalanya hancur tak berbentuk lagi.
“Hup!”
Hanya sekali lesatan saja, orang berbaju hitam itu udah lenyap bagai ditelan bumi. Kejadiannya begitu cepat, tanpa disaksikan seorang pun. Suasana kembali sunyi, hanya deru angin saja yang masih terdengar, disertai bergemeretaknya rumah-rumah yang bergetar tertiup angin kencang. Sementara malam terus merayap semakin larut Angin terus berhembus kencang menyebarkan udara dingin yang menggigilkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
41. Pendekar Rajawali Sakti : Asmara Maut
AcciónSerial ke 41. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.