BAGIAN 6

736 24 0
                                    

Apakah Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tewas di tangan si Iblis Gunung Parakan? Kalau tidak, di manakah pendekar yang selalu mengenakan baju rompi putih itu berada? Rangga sebenarnya berada tidak jauh dari Gunung Parakan. Tepatnya di Bukit Langgang. Saat itu Rangga tengah duduk bersemadi di sebuah ruangan yang tidak begitu besar, namun tertutup rapat sehingga tidak ada sedikit pun cahaya matahari yang bisa menerobos masuk. Hanya sebuah pelita kecil yang menerangi ruangan itu, berada tepat di depan Rangga.
Sedangkan tepat di depan pintu ruangan itu, duduk dua orang laki-laki. Yang seorang masih begitu muda, dan berusia sekitar lima belas tahun. Sedangkan seorang lagi sudah setengah baya. Tubuhnya yang kecoklatan dan tidak mengenakan baju, terlihat berkilat oleh keringat. Otot-otot bersembulan keluar, membuat tubuhnya semakin terlihat tegap, meskipun usianya sudah berkepala lima.
“Paman, apakah Kakang Rangga akan sembuh lagi?” tanya pemuda belasan tahun yang tak lain adalah Carika.
“Rangga seorang pendekar tangguh, sehingga pasti bisa memulihkan kekuatannya kembali,” sahut Paman Sentanu.
“'Tapi, sudah tiga hari dia mengurung diri di dalam kamar. Aku khawatir, Paman...,” Carika tidak bisa membendung kecemasannya.
“Tenanglah. Kalau sampai besok belum juga keluar, aku akan melihatnya ke dalam. Luka-lukanya memang cukup parah, tapi tidak mungkin akan merenggut jiwanya. Daya tahan tubuhnya sungguh luar biasa. Belum pernah aku melihat orang yang begitu perkasa.”
“Tapi, Paman. Dia juga manusia biasa. Buktinya, dia sampai terluka parah begitu.”
“Kau benar, Carika. Setinggi apa pun tingkat kepandaian seorang pendekar, dia masih manusia biasa yang tidak luput dari penderitaan dan kematian. Ah, sudahlah.... tidak perlu kau cemaskan. Aku yakin, dia pasti bisa mengatasi keadaannya,” Paman Sentanu mencoba menenangkan hati keponakannya itu.
Namun demikian, Carika masih tetap saja merasa khawatir, karena Rangga belum juga keluar dari kamar   semadinya. Sebuah kamar khusus yang berada paling belakang dari pondok ini. Beberapa kali pemuda tanggung itu menarik napas panjang setiap kali memandang pintu yang masih saja tertutup rapat.
Waktu terus berjalan. Carika merasakan sang waktu berjalan begitu lambat. Hatinya semakin gelisah saja manakala matahari sudah condong ke Barat, tapi Rangga belum juga keluar dari kamar semadinya. Sejak kemarin, pemuda tanggung itu tidak meninggalkan tempatnya. Bahkan makan dan tidur di situ, sambil menunggu Pendekar Rajawali Sakti yang tengah bersemadi memulihkan kekuatan tubuhnya kembali.
Sementara itu Paman Sentanu sudah sejak tadi pergi ke samping pondok. Dia meneruskan pekerjaannya membelah kayu bakar yang sudah menipis persediaannya. Suara ayunan kapak membelah kayu begitu keras terdengar, seakan-akan merupakan pertanda bagi perjalanan sang waktu.
“Paman...!” seru Carika tiba-tiba. Paman Sentanu yang baru saja mengayunkan kapaknya, langsung melompat berlari. Kapaknya dibuang begitu saja. Dan setibanya di bagian belakang, tampak Carika tengah memeluk Rangga yang berdiri di depan pintu kamar semadi. Paman Sentanu buru-buru menghampiri, dan Carika langsung melepaskan pelukannya. Rangga tersenyum seraya menganggukkan kepalanya sedikit pada laki-laki setengah baya itu. Paman Sentanu membalasnya dengan anggukan kepala juga.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Paman Sentanu.
“Sudah membaik,” sahut Rangga. “Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku, Paman.”
“Ah, sudahlah. Aku hanya bisa melakukan apa yang bisa kulakukan,” Paman Sentanu merendah.
Mereka semua kemudian menuju ruangan depan pondok ini, kemudian duduk melingkar di atas tikar daun pandan. Memang tidak ada kursi ataupun meja di ruangan ini.
“Carika, sebaiknya kau siapkan makan untuk Rangga,” kata Paman Sentanu.
“Oh, iya.... Sudah tiga hari Kakang tidak makan. Sebentar, kusiapkan makanan yang terlezat buatanku,” sahut Carika langsung beranjak pergi dari ruangan ini.
Rangga hanya tersenyum saja melihat kejenakaan pemuda tanggung itu.
“Rangga, bagaimana kau bisa bentrok dengan si Iblis Gunung Parakan?” tanya Paman Sentanu setelah Carika menghilang dari ruangan depan ini.
“Aku sendiri tidak tahu, Paman. Tiba-tiba saja dia muncul menghadangku,” sahut Rangga kembali mengingat-ingat semua kejadian selama berada di sekitar Gunung Parakan, terutama di Desa Parakan yang terletak di kaki gunung itu.
“Hm.... Kudengar kau pernah bentrok dengan Partanu. Benar...?” agak bergumam suara Paman Sentanu.
“Ah, pasti Carika melebih-lebihkan,” Rangga langsung sudah bisa menebak.
“Anak itu memang selalu melebih-lebihkan, tapi tidak seluruhnya kupercayai. Itu sebabnya, kenapa aku ingin kau sendiri yang bercerita,” pinta Paman Sentanu.
“Hanya salah paham saja, Paman,” jelas Rangga. Tanpa diminta dua kali, Rangga kemudian menceritakan pertemuannya dengan Mega secara tidak sengaja. Kemudian bentrokannya dengan Partanu, anak si Iblis Gunung Parakan. Semua diceritakan Rangga tanpa ada yang dikurangi sedikit pun. Sedangkan Paman Sentanu mendengarkan penuh perhatian.
Paman Sentanu masih diam membisu meskipun Rangga sudah menyelesaikan ceritanya. Untuk beberapa saat, mereka hanya berdiam diri saja. Pelahan Paman Sentanu mengangkat kepalanya, langsung menatap bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang duduk di depannya.
“Meskipun kau hanya memandangnya sebagai kesalahpahaman belaka, tapi persoalan itu akan berbuntut panjang, Rangga,” jelas Paman Sentanu pelan, seperti bergumam terdengarnya.
“Mungkin...,” desah Rangga kurang yakin.
“Rangga, ada sesuatu yang hendak kusampaikan padamu,” kali ini suara Paman Sentanu terdengar agak berbisik.
“Sesuatu...? Tentang apa, Paman?” tanya Rangga dengan kening berkerut dalam.
“Ki Anta dan putrinya,” sahut Paman Sentanu.
“Maksud, Paman...?” seketika Rangga merasakan darahnya jadi lebih cepat mengalir begitu mendengar nama Ki Anta dan Mega disebut.
“Ki Anta sudah tewas terbunuh, sedangkan Mega menghilang entah ke mana.”
Rangga hampir tidak percaya mendengarnya. Dipandanginya Paman Sentanu dalam-dalam, seakan akan ingin mencari kebenaran di dalam sorot mata laki-laki setengah baya itu. Namun saat mendapatkan kesungguhan dalam raut wajahnya, Rangga mau tidak mau harus mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
“Itulah yang kukatakan. Persoalan ini akan berbuntut panjang, Rangga,” kata Paman Sentanu lagi. Masih terdengar pelan suaranya.
“Dari mana kau dengar berita itu, Paman?” tanya Rangga jadi serius.
“Seorang pemburu yang kebetulan lewat sini. Dia berasal dari Desa Parakan, jadi banyak mengetahui tentang   situasi desa sekarang ini. Terlebih lagi setelah Ki Anta tewas terbunuh. Dia sendiri membawa keluarganya meninggalkan desa itu, dan sekarang menetap di seberang lembah sana,” jelas Paman Sentanu.
Rangga jadi terdiam membisu. Sungguh tidak disangka kalau persoalan itu jadi panjang, bahkan sekarang sudah meminta korban nyawa.

41. Pendekar Rajawali Sakti : Asmara MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang