[11] - Bulan, Dan Kisahnya

38 2 0
                                    

"Apa yang gue lakuin tadi, sama kayak apa yang gue lakuin ke lo waktu itu bukan sih?" Tanya Raka di bantaran balkon lantai dua ketika ia tidak tau harus kemana dan memutuskan mengajak Abi menghirup udara segar ditempat itu sesekali.

"Maksudnya?"

"Gue gaktau kenapa gue harus peduli sama lo. Atau sama cewek itu. Apa menurut lo ketika gue nolongin lo, gue suka sama lo?"

Mata Abi hampir mau keluar. Posisinya yang semula bersebelahan dengan cowok itu kini bergerak menjauh selangkah. Entah kenapa mendadak bulu kuduknya meremang.

"Raka jangan begini. Aku masih suka perempuan"

"M-maksud gue bukan itu!!" Jerit Raka berusaha membuang pikiran jorok Abi yang semena mena. "Maksud guee-ahhhh. Lo tau gak sih rasanya menderita dengan perasaan lo sendiri?"

"Kamu suka Naysila?"

Raka melotot. Abi sialan. Kenapa dia jadi sangat blak blakan?!

"Kamu menyukainya" lanjut Abi lagi, membuat tubuh kaku Raka melemas. Entah dia mengakui atau takbisa menyangkal lagi, Raka tampak tidak bicara setelah tuduhan Abby barusan.

"Kalau suka, bilang aja. Siapa tau berhasil"

Raka diam. Tanganya kuat memegang teralis besi pembatas balkon. "Gakbis"

"Kenapa?"

"Takut,"

"Ditolak?"

"Bukann!!"

"Terus?"

"Menjadikanya pengganti Bulan,"

Abi tercenung sejenak, memperhatikan Raka yang tidak tampak seperti biasanya. Entah kemana aura dingin, angkuh, dan juga sombong yang selalu tercetak jelas di wajahnya. Hari ini, ia lebih banyak memunculkan rasa sedih, kesal, dan masalah yang mungkin selama ini diam diam dia sembunyikan.

"Bulan? Pacarmu ya? Atau sudah lama putus?"

"Bukan pacar. Dan tidak pernah putus" jawab Raka datar. "Dia hanya-seseorang yang.... indah"

"Kamu menyukainya? Dan menyukai Naysila?"

Raka tidak menjawab.

"Rakus sekali! Mana bole begitu!" Cecap Abi membuat Raka melotot.

Si cupu ini! Berani sekali dia bicara aku Rakus?!

"Gak bakal mungkin ada dua perasaan dalam satu hati Rak! Aku yakin kamu cuma mencintai salah satu dari mereka. Sisanya adalah keegoisan,"

Cih, kenapa kata katanya jadi kayak Merry Riana begini?!

Raka menghela napas, meskipun sebenarnya kesal juga diceramahi Abi sampai sepanjang ini, entah kenapa apa yang dibicarakanya ada benarnya juga.

Jangan-jangan kelukaanya pada Bulan selama ini membuatnya ingin sembuh bersama Naysila?

Tapi... apa itu tidak jahat? Menjadikan orang lain sebagai betadine oleh luka yang tidak ia sebabkan?

Raka memikirkanya sekali lagi dalam kepalanya.

Tidak, itu jahat sekali.

**

Bulan Ambarwati adalah perempuan paling cantik sedunia, kata Raka saat pertama kali menemuinya diantara meteor jatuh pada malam hari yang bersinar. Dia punya alis tipis yang tidak diukir ukir, bibir jingga yang tidak dimerah merahi, serta senyum lebar yang teramat indah.

Tentu Raka masih ingat, bagaimana manisnya malam pergantian tahun baru hari itu, malam yang mempertemukan mereka diatas ledakan kembang api yang meriah. Meski itu bukan pertama kalinya bagi Raka melihat Bulan, tapi ia yakin itu adalah kali pertama baginya bertemu dengan Raka. Anak laki-laki penyendiri, yang lebih banyak menghabiskan waktunya dirumah sambil membaca buku, sambil memakan kentang goreng, sambil mengintip jendela kamar dan menemukan Bulan sedang berlatih dandan di meja rias kamarnya.

Rumah mereka tidak lebih jauh dari setapak kaki raksasa. Cukup dekat, tapi tidak lebih dekat dari perasaanya.

Rasanya, tiap kali melihat perempuan itu pulang sekolah, atau pulang less, atau pulang dari suatu tempat yang Raka tidak ketahui, sebait alunan musik dari Yesterdey Once More seperti menari nari didalam kepalanya. Raka mulai merasakan ketidakberesan itu pada akhir semester dua kelas sepuluh. Ia menduga, gejolak kegilaan akibat keterusan memikirkan cewek itu semakin mendekati tanda bahaya, sehingga ia harus mulai menghentikan semua itu dengan keberanian menemuinya.

Dan malam pergantian tahun baru, adalah moment kebetulan yang menyenangkan. Tuan tuan dari setiap pemilik rumah pasti berdiri didepan pintu mereka yang biasanya tertutup rapat. Memandangi langit langit gelap yang sudah semarak dengan bubuk api buatan. Atau menyate kambing dan jagung. Atau memasak opor dan makan bersama didepan teras. Atau
mengajak Bulannya berbicara. Untuk pertama kalinya, setelah hampir satu setengah tahun hanya melihatnya.

"Bulan Ambarwati," ucapnya ketika Raka mengulurkan tangan ingin berkenalan.

"Nama yang bagus sekali,"

"Terimakasih,"

"Kamu sekolah dimana? Aku jarang melihatmu berangkat dengan seragam pagi-pagi?"

"Aku gak sekolah,"

"Kenapa? Udah pinter ya? Hehe. Becanda,"

Bulan tersenyum. Raka bahkan masih ingat bagaimana pertama kali ia semakin dibuat jatuh cinta padanya. Itu karena senyum yang satu ini.

"Gakbisa, aku gakbisa sekolah Raka,"

Raka diam menunggu jawaban.

"Aku gakbisa mikir yang berat-berat. Sejak didiagnosa mengidap leukimia, aku homeschooling,"

Betapa rasanya perasaan Raka yang semula terbangun dengan indah mendadak ingin runtuh. Melihat bahwa wanita manis dengan senyuman seterang bulan purnama itu harus merasakan segala rasa sakit itu sendirian. Ia tidak tahu bahwa seorang Bulan Ambarwati sebenarnya adalah seseorang yang cukup tegar.

"M-mmaaf. Aku nggak--"

"Aku tau. Santai aja Raka. Dan terimakasih sudah mau menjadi temanku ya,"

Setahun setelah itu, Raka tak melihat lagi Bulan Ambarwati keluar dari rumahnya. Tidak melihat lagi ia diantar jemput supir pribadinya pergi kesuatu tempat yang tidak ia tahu.

Kata Mama, Bulan Ambarwati tak punya harapan untuk hidup lebih lama lagi.

Dan Bulan Ambarwati, akhirnya benar-benar pergi pada bulan Januari.

Badboy vs Goodboy [Gets Her Heart]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang