BAGIAN 2

798 29 0
                                    

Dalam kepulan asap hitam yang membuat pandangan mata terganggu, Ki Rabul tidak bisa menghindari satu jilatan cambuk disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu. Ujung cambuk tepat menyengat dadanya, hingga membuat kulitnya sobek hingga menembus daging. Darah langsung mengalir keluar dari dada yang sobek, begitu panjang dan dalam.
Ki Rabul terhuyung-huyung ke belakang, sambil meringis merasakan perih pada dadanya yang terluka. Dan sebelum laki-laki tua itu bisa menguasai keseimbangan tubuh, mendadak saja Suro sudah melompat cepat sambil berteriak keras menggelegar. Cambuknya diangkat tinggi-tinggi keatas kepala. Lalu dengan pengerahan tenaga dalam penuh, dikebutkan cambuk itu kuat-kuat kearah kepala Ki Rabul.
"Hiyaaa...!"
Ctar! Glarrr!
Sungguh dahsyat serangan yang dilakukan Suro. Dari ujung cambuknya memercik bunga api disertai kepulan asap hitam. Ujung cambuk itu persis mengarah kekepala Ki Rabul. Namun pada saat yang sangat kritis itu, tiba-tiba saja sebuah bayangan putih berkelebat menyambar tubuh laki- laki tua itu. Akibatnya, hantaman cambuk Suro hanya menyengat tanah kosong. Seketika tanah itu terbongkar membentuk lobang yang lebar dan cukup dalam.
"Setan...!" geram Suro begitu menyadari sasarannya lolos dari serangan.
Entah darimana datangnya, tahu-tahu di depan laki-laki tinggi berotot itu sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju rompi putih. Pemuda itu menyangga tubuh Ki Rabul yang kelihatan lemas akibat terlalu banyak mengeluarkan darah. Diberikannya totokan di sekitar luka didada laki-laki tua itu, maka darah seketika berhenti mengalir.
Dari balik batu besar, keluar Lasini yang diikuti adiknya. Gadis itu langsung mengambil Ki Rabul dan membawanya keberanda. Dibaringkannya laki-laki tua itu keatas dipan bambu. Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi putih itu masih berdiri tegak menghadapi Suro. Empat orang lainnya bergegas menghampiri Suro, dan berdiri disampingnya.
"Heh! Siapa kau...?!" bentak Suro berang.
"Kalian tidak perlu tahu siapa aku!" dingin sekali jawaban pemuda itu.
"Setan..! Berani kau menantang aku, heh...?!" geram Suro semakin marah.
"Untuk manusia pengecut macam kalian, tidak ada gunanya bersilat lidah!" tetap dingin nada suara pemuda berbaju rompi putih itu.
Sambil menggeram dahsyat, Suro mengegoskan kepalanya. Maka seketika itu juga empat orang temannya berlompatan mengepung pemuda berbaju rompi putih itu. Sedangkan Suro langsung melompat menyerang sambil mengebutkan cambuknya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Ctar!
"Hup!"
Sukar dipercaya, pemuda itu tidak berkelit sedikitpun. Bahkan tangkas sekali mengatupkan kedua tangannya, langsung menjepit ujung cambuk hitam berduri halus itu. Suro jadi terkejut bukan main. Dihentakkan cambuknya kuat-kuat. Tapi jepitan tangan pemuda itu kuat bukan main, bagaikan sepasang penjepit besi baja!
"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja dari arah samping kanan, melompat seorang berbaju merah yang langsung mengayunkan tombaknya kearah pemuda berbaju rompi putih itu.
Suara mendesing dari kebutan tombak itu membuat pemuda berbaju rompi putih jadi tersentak sedikit. Tapi dengan cepat diliukkan tubuhnya seraya kakinya bergeser kesamping. Maka hentakan tombak itu hanya mengenai angin kosong. Pada saat yang sama, pemuda berbaju rompi putih itu mengibaskan kakinya kearah orang yang membawa tombak. Ternyata, dia adalah Katir.
"Yeaaah...!"
Bet!
Tendangan kaki pemuda itu sungguh cepat, sehingga Katir tidak mampu lagi berkelit. Apalagi pada saat itu, tubuhnya memang sedang dalam keadaan doyong kedepan. Namun begitu, tubuhnya masih berusaha ditarik kebelakang. Tapi, tendangan pemuda itu masih juga mengenai bagian pinggangnya.
"Akh...!" Katir memekik keras.
Tepat saat tubuh Katir terpental, pemuda berbaju rompi putih itu melentingkan tubuhnya keatas. Seketika dihentakkan tangannya untuk melepaskan jepitan pada ujung cambuk hitam berduri halus.
"Whaaa...!"
Suro tersentak kaget, dan tubuhnya yang besar itu tidak mampu lagi di kuasai. Dia langsung terpental, jatuh bergulingan ditanah. Bersamaan dengan itu, kaki pemuda berbaju rompi putih sudah melayang kearah kepala Suro. Tapi belum juga kaki pemuda itu menghantam kepala Suro, mendadak saja dua orang berbaju biru melontarkan rantai besi baja yang berbandul bola berduri dari arah berlawanan. Suara lontaran senjata rantai berbandul bola berduri itu mendesing keras, menderu-deru bagai angin topan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Pemuda berbaju rompi putih itu cepat melentingkan tubuhnya, lalu berputaran dua kali kebelakang. Dengan manis sekali kakinya mendarat di tanah. Kemudian, langsung diliukkan tubuhnya ketika sebilah pedang berwarna keperakan menyambar dengan kecepatan bagai kilat kearahnya. Pedang itu lewat sedikit disamping pinggang pemuda itu.
"Yeaaah...!"
Pada saat yang sama, pemuda itu mengibaskan tangannya, tepat menghantam pergelangan tangan kanan Sarapat.
"Akh...!"Sarapat memekik keras agak tertahan. Untung saja Sarapat cepat menarik tangannya, dan memindahkan pedang ketangan kiri. Dengan demikian, senjatanya berhasil diselamatkan.
Tapi sebelum dia melompat mundur, pemuda itu sudah melayangkan satu tendangan yang keras bertenaga dalam tinggi. Tendangan itu tepat menghantam dada Sarapat, sehingga membuatnya terpental sambil memekik keras melengking. Sarapat jatuh bergulingan ditanah, dan punggungnya membentur sebatang pohon hingga tumbang. Sarapat merintih lirih, sambil bergerak mencoba bangkit berdiri. Bibirnya menyeringai, menahan sakit.
Pemuda berbaju rompi putih itu berdiri tegak sambil melipat tangan didepan dada. Dirayapinya lima orang yang kini tampaknya harus berpikir seribu kali untuk melanjutkan pertarungan ini. Mereka saling berpandangan sesaat, kemudian serentak berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka langsung cepat menggebah kudanya meninggalkan tempat itu.
Sementara pemuda berbaju rompi putih masih berdiri tegak memandangi lima orang yang memacu kuda bagai dikejar setan. Pemuda itu baru berbalik setelah kelima orang itu tidak terlihat lagi bayangannya. Yang terlihat kini hanyalah kepulan debu yang membumbung tinggi keangkasa semakin menjauh. Pemuda berbaju rompi putih itu melangkah menghampiri beranda depan.
Tampak Ki Rabul sudah bisa duduk, dan dadanya yang terluka sudah terbalut kain putih. Disampingnya, duduk seorang gadis cantik sambil memang kubocah laki- laki berusia sekitar tujuh tahun. Pemuda itu berdiri didepan mereka.
"Bagaimana lukanya, Ki?" tanya pemuda itu lembut
"Ah, tidak apa-apa. Oh, ya.... Terimakasih atas pertolonganmu," sahut Ki Rabul
"Ah, lupakanlah. Aku hanya kebetulan lewat, dan melihatmu tidak sanggup lagi meneruskan pertarungan," kata pemuda itu merendah.
"Kau hebat sekali, bisa menandingi keroyokan mereka," puji Ki Rabul tulus.
Pemuda itu hanya tersenyum saja. Dia memandang Lasini yang duduk disamping Ki Rabul sambil memangku adiknya. Gadis itu kebetulan sedang memandang pemuda tampan ini. Maka, tanpa dapat dicegah lagi pandangan merekapun bertemu. Entah kenapa, tiba-tiba saja wajah gadis itu menyemburat merah dadu. Buru-buru dipalingkan wajahnya kearah lain.
"Kalau boleh aku tahu, siapa nama mu, Anak Muda?" tanya Ki Rabul.
"Rangga," sahut pemuda itu menyebutkan namanya.
Pemuda berbaju rompi putih itu memang bernama Rangga yang lebih dikenal dalam rimba persilatan berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Tapi saat pemuda itu menyebutkan namanya, mendadak saja Ki Rabul terlonjak. Bahkan langsung turun dari pembaringan di beranda depan pondok kecil ini.
Dirayapi pemuda berbaju rompi didepannya dalam-dalam, dari ujung kepala sampai keujung kaki, seakan-akan ingin meyakinkan kalau penglihatannya tidak salah.
"Ada apa, Ki? Apa ada yang salah pada diriku?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Oh, tidak... Apakah kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" nada suara Ki Rabul terdengar tergagap dan ragu-ragu.
Rangga hanya tersenyum saja, dan hanya menganggukkan kepalanya. Memang orang lebih mengenal julukannya daripada nama aslinya. Tidak banyak orang yang mengetahui nama aslinya, kecuali hanya orang-orang tertentu saja. Mengingat itu, Rangga jadi tertegun. Kini malah dia yang memandangi Ki Rabul dalam-dalam.
"Oh! Tidak kusangka, ternyata aku bisa bertemu seorang pendekar besar dan digdaya. Sungguh beruntung sisa kehidupanku ini...," desah Ki Rabul dengan mata berbinar.
Laki-laki tua itu menggamit tangan Rangga, dan mengajaknya duduk di dipan bambu. Sedangkan Lasini hanya memperhatikan saja disertai kening agak berkerut. Gadis itu tahu kalau pemuda inilah yang dulu pernah menolongnya membawa Ki Rabul kepondok ini. Namun, Pemuda ini menghilang begitu saja saat Lasini sibuk membersihkan luka- luka ditubuh laki-laki tua itu. Kini pemuda itu muncul lagi, dan Ki Rabul kelihatannya begitu gembira.
"Lasini, kau harus berbangga karena pondokmu kedatangan seorang pendekar digdaya yang tidak tertandingi saat ini,"kata Ki Rabul.
"Ki, siapa dia sebenarnya?" tanya Lasini setengah berbisik dekat telinga Ki Rabul.
Ki Rabul malah tertawa terkekeh-kekeh mendengar pertanyaan gadis itu.Tentu saja hal ini membuat Lasini memberengut. Ki Rabul menepuk-nepuk punggung tangan gadis itu. Bibirnya selalu tersenyum dan bola matanya terus berbinar.
"Dia bernama Rangga, dan terkenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Memangnya, Kau belum pernah mendengar tentang Pendekar Rajawali Sakti?" kini Ki Rabul malah bertanya, Lasini hanya diam saja.
Dicobanya untuk mengingat-ingat, tapi nama Pendekar Rajawali Sakti memang belum pernah didengarnya. Namun gadis itu akhirnya percaya saja, karena tadi telah melihat bagaimana pemuda tampan ini mengusir lima orang berkepandaian tinggi dan kelihatan sangat kejam. Gadis itu kembali memandangi wajah tampan yang duduk disamping kiri Ki Rabul.
Sedangkan dia sendiri berada disamaping kanan Ki Rabul. Jadi, Ki Rabul seperti pembatas saja. Lasini kembali mengalihkan pandangannya kearah lain, begitu Rangga juga menatap kearahnya. Entah kenapa, hatinya merasa tidak sanggup bila harus bertemu mata. Malah jantungnya jadi berdebar kencang setiap kali bertemu pandang dengan pemuda itu. Belum pernah dirasakan hal seperti ini sebelumnya.
"Nak Rangga, kau berada disini bukan hanya sekedar lewat saja, bukan?Aku yakin ada sesuatu sehingga kau berada di tempat sepi dan terpencil ini," tebak Ki Rabul bernada sungguh-sungguh.
"Sayang sekali, Ki. Aku sebenarnya hanya sekedar lewat saja. Aku tidak punya kepentingan di tempat ini, sahut Rangga kalem.
"Oh! Kalau begitu, boleh kuminta bantuanmu...?"
"Bantuan apa, Ki?" tanya Rangga. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak pernah menolak memberikan bantuan pada siapapun bagi yang memerlukan. Terutama jika menolong seseorang atau sekelompok orang yang tertindas akibat kesewenang-wenangan. Terlebih lagi, daerah ini tidak berapa jauh dari wilayah Kerajaan Karang Setra.
Tapi karena jiwa kependekarannya, dia harus mengembara memberantas keangkaramurkaan. Rangga tahu meskipun daerah ini jauh dari pusat Kerajaan Karang Setra, tapi masih termasuk wilayah kerajaan itu. Dan itu berarti, orang-orang ini adalah rakyatnya yang tentu tidak mengetahui tentang rajanya.
"Tentang mereka itu, Nak," kata Ki Rabul.
"Orang-orang yang hampir membunuhmu tadi?" tanya Rangga ingin penegasan.
"Benar, Nak Rangga. Mereka orang-orang kejam yang selalu menindas rakyat kecil. Aku pernah hampir mati oleh mereka, kalau saja tidak ditolong Lasini dan adiknya ini," jelas Ki Rabul.
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja. Dia sudah tahu, karena telah membantu Lasini dan adiknya membawa Ki Rabul kepondok ini. Memang kejadian itu sudah berselang sekitar dua pekan lamanya, dan Lasini sendiri hampir melupakan pemuda itu. Tapi gadis itu langsung ingat, hanya saja tidak ingin banyak bicara.
"Kalau saja aku mampu, sudah dari dulu aku menumpas mereka. Tapi aku tidak mampu. Mereka terlalu kuat bagi orangtua sepertiku ini, Nak Rangga," lanjut Ki Rabul bernada mengeluh.
Rangga hanya terdiam saja, tapi menyimak penuh perhatian setiap kata yang diucapkan Ki Rabul. Dari sikap orang-orang tadi, Rangga memang sudah bisa mengetahui kalau mereka adalah orang-orang kasar yang selalu bertindak dengan kekerasan dan kekejaman. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu permasalahannya, mengapa mereka hendak membunuh orang tua ini.

***

Malam sudah cukup larut. Sekitar pondok kecil di tepi hutan itu terasa sunyi terselimut kegelapan. Malam ini, bulan seperti enggan menampakkan diri. Akibatnya sekeliling daerah itu begitu gelap, tanpa penerangan sedikitpun juga. Mirip sebuah gua tanpa obor. Didepan pondok, dibawah pohon kebembem, Pendekar Rajawali Sakti duduk mencangkung memandangi kegelapan yang menyelimuti sekitarnya.
Malam ini tidak ada angin berhembus, membuat udara terasa panas. Bahkan kesunyian begitu mencekam, sedikitpun tak terdengar suara binatang malam menggerit. Sehingga, pemuda berbaju rompi putih itu langsung bisa menangkap ketika terdengar suara langkah kaki halus dari arah belakang. Kepalanya berpaling dan mulutnya langsung tersenyum begitu melihat Lasini menghampirinya.
"Belum tidur, Dik Lasini?" tanya Rangga setelah gadis itu dekat disampingnya.
"Belum ngantuk," sahut Lasini seraya duduk di samping Rangga.
"Malam sudah begini larut...," desah Rangga.
"Ya, dan panas sekali," sambung Lasini pelahan.
"Rasanya tidak akan terjadi sesuatu malam ini,"duga Rangga lagi.
"Kau sengaja menunggu mereka, Kakang?" tanya Lasini ingin tahu.
"Aku hanya menduga saja. Biasanya, orang seperti mereka selalu mencari kesempatan dalam kesempitan. Terutama saat kita lengah. Maka sudah sepatutnya kita tidak boleh lengah sedikit pun dalam menghadapi orang seperti itu," jelas Rangga.
"Sepertinya kau sudah pengalaman sekali menghadapi orang-orang seperti mereka, Kakang," kata Lasini seperti ingin mengetahui tentang diri Pendekar Rajawali Sakti lebih dalam lagi.
Tapi Rangga hanya tersenyum saja. Ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Memang Pendekar Rajawali Sakti sudah banyak mengenyam pahit getirnya dunia persilatan. Rasanya tidak akan ada habisnya jika harus bergelut dalam rimba yang penuh kekerasan, kedengkian dan keserakahan ini.
Sepertinya, Hyang Jagat Nata memang sengaja menciptakan manusia untuk saling bertentangan tanpa ada penyelesaian yang berakhir menyenangkan. Tidak jarang Rangga harus menghadapi mereka yang merasa sakit hati, dan ingin mencelakakannya.
Dendam memang selalu menyelimuti setiap hati manusia, dan tidak akan pernah bisa menyelasikan suatu persoalan. Dendam yang berakhir akan melahirkan dendam baru yang lebih dahsyat lagi. Itulah sebabnya Rangga tidak akan pernah merasa dendam pada siapapun. Bahkan selalu memberi pintu kesempatan bagi lawan-lawannya yang ingin memperbaiki jalan hidupnya. Tapi kemurahan hati Pendekar Rajawali Sakti ini seringkali dimanfaatkan mereka yang ingin membalas dendam.
"Kakang...," tegur Lasini lembut.
"Oh...!" Rangga tersentak dari lamunannya.
"Kok melamun...? Ingat kekasihnya, ya?" kata Lasini
Padahal dalam mengucapkan itu, Lasini sempat menggigit bibirnya sendiri. Entah kenapa, gadis itu merasakan adanya ketidaksenangan bila pemuda tampan ini memiliki kekasih, dan sekarang sedang melamunkannya. Sedangkan Rangga hanya diam saja, lalu tersenyum seraya memalingkan muka memandang gadis disebelahnya.
Pandangan Rangga yang tiba-tiba itu, membuat Lasini gugup sendiri. Buru-buru dialihkan pandangannya kearah lain. Mendadak saja hatinya jadi tidak menentu, dan jantungnya berdetak kencang tak beraturan lagi. Lasini merasakan seluruh aliran darahnya terbalik, ketika Pendekar Rajawali Sakti mengambil tangannya dan menggenggam erat-erat.
"Tanganmu dingin sekali, kau sakit...?" tanya Rangga merasakan tangan gadis itu begitu dingin dan berkeringat.
"Ah! Tidak... aku tidak apa-apa..." sahut Lasini jadi tergagap. Buru-buru ditarik kembali tangannya, dan duduknya bergeser agak menjauh.
Sementara Rangga memandangi gadis itu lekat-lekat, sehingga membuat Lasini semakin serba salah. Dia tidak tahu lagi, seperti apa saat ini wajahnya. Yang jelas seluruh wajahnya terasa jadi panas seperti terbakar. Pemuda tampan ini benar-benar telah membuatnya seperti orang bodoh. Perasaannya bagai tikus kepergok mencuri ikan, dikelilingi puluhan kucing liar.
"Ma... maaf... Aku akan tidur dulu," kata Lasini masih tergagap.
Gadis itu buru-buru bangkit berdiri. Tapi saat itu, sebuah benda bercahaya keperakan melesat bagaikan kilat kearahnya. Rangga yang mengetahui lebih dahulu, langsung tersentak kaget.
"Awas...!" seru Rangga keras. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat menerkam Lasini yang juga terkejut mendengar teriakan tadi. Namun belum lagi hilang rasa keterkejutannya, tiba-tiba sepasang tangan sudah memeluk pinggangnya, sehingga membuat keseimbangan tubuhnya jadi tidak terkendali.
"Akh...!" Lasini memekik kecil. Gadis itu jatuh bergulingan bersama Rangga yang masih memeluk pinggangnya kuat-kuat. Maka, benda bercahaya keperakan itu melesat lewat diatas tubuh mereka. Benda keperakan itu langsung menghantam pohon tempat tadi mereka duduk, hingga langsung hancur berkeping-keping menimbulkan ledakan dahsyat. Rangga langsung melompat bangkit berdiri sambil menarik tangan gadis itu. Lasini tersentak lalu berdiri disamping Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada apa...?" tanya Lasini tidak mengerti.
Belum juga Rangga bisa menjawab, mendadak terdengar tawa keras menggelegar. Baik suara tawa maupun suara ledakan akibat pohon yang hancur tadi, membuat Ki Rabul dan Badil terbangun dari tidurnya. Laki-laki tua itu cepat menyambar tubuh bocah itu dan menggendongnya. Sambil menyambar golok yang berada diatas meja, Ki Rabul melompat keluar menjebol pintu. Laki-laki tua itu langsung mendarat disamping Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, suara tawa masih terdengar menggema seperti datang dari segala penjuru mata angin.
"Hahaha...!"
"Hm...," gumam Rangga pelahan.

***

45. Pendekar Rajawali Sakti : Satria Baja HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang