BAGIAN 6

702 30 0
                                    

Rangga duduk bersila dalam posisi bersemadi. Kelopak matanya setengah terpejam, namun tidak menghilangkan kewaspadaannya. Mata dan telinganya tetap dipasang tajam. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau disekelilingnya terdapat puluhan orang yang bersembunyi dibalik kerimbunan semak dan pepohonan. Sudah dua hari Pendekar Rajawali Sakti duduk bersila dibawah kerindangan pohon ini, namun yang ditunggunya belum juga muncul. Dan memang, dia sudah tahu kalau esok hari mereka baru tiba dipuncak bukit ini. Dan ini berarti harus menunggu satu hari lagi. Itupun jika tidak terjadi sesuatu dijalan.
"Hehehe...."
Rangga membuka matanya saat mendengar tawa terkekeh yang sudah dikenalnya sejak berada dipuncak bukit ini. Matanya memandang seorang laki-laki setengah baya yang bernama Barada. Laki-laki itu duduk bersila didepan Pendekar Rajawali Sakti. Bibirnya yang tipis dan sedikit berkumis itu selalu menyunggingkan senyuman.
"Seharusnya kau tinggal di pondok, Pendekar Rajawali Sakti. Udara disini jika malam hari terlalu dingin. Aku khawatir, pada saatnya tiba kau tidak mampu melakukan sesuatu," kata Barada dengan bibir terus menyunggingkan senyuman tipis.
"Apa maksudmu dengan kata-kata melakukan sesuatu, Barada?" tanya Rangga. Nada suaranya dingin, sedingin udara di Puncak Bukit Sangu ini.
"Hehehe... Seharusnya kau sudah bisa mengerti, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Barada diiringi suara tawanya yang terkekeh.
"Aku tidak suka bermain teka-teki, Barada. Jika kau merencanakan kelicikan, aku tidak akan banyak bicara denganmu. Dan kau tentu sudah bisa mengerti maksudku," tegas Rangga setengah mengancam.
"Sebenarnya ini bukan kelicikan, Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku tidak pernah punya rencana seperti ini, sebelum kemunculanmu disekitar Bukit Sangu ini. Yaaa.... Tadinya aku sudah ingin melupakan keterlibatanmu pada persoalan keluargaku. Tapi karena kau tersasar sampai kesini, dan sekarang juga melibatkan diri, maka aku tidak punya pilihan lain," kata Barada dengan suara tenang.
Rangga terdiam seraya memandangi bola mata laki-laki setengah baya yang duduk bersila didepannya. Dicobanya untuk mencerna kata-kata yang diucapkan Barada barusan. Memang penuh teka-teki yang terasa sukar dipecahkan. Namun berkat kecerdasan otaknya, pelahan-lahan Rangga dapat mengetahuinya, meskipun masih dalam tahap menebak.
"Ada hubungan apa antara kau dengan Paria?" tanya Rangga langsung.
"Kenapa kau tidak tanyakan pada anak durhaka itu?!" bentak Barada ketus.
Seketika itu juga wajah Barada berubah memerah dan menegang. Nama Paria yang disebut Pendekar Rajawali Sakti barusan membuat wajahnya langsung memerah. Perubahan yang cepat dan tiba-tiba itu sempat mendapat perhatian Rangga. Hal ini membuat pemuda berbaju rompi itu harus berpikir keras dengan berbagai macam dugaan.
"Anak Muda! Sudah kuperingatkan, agar kau tidak terlalu jauh melibatkan diri. Kau sudah cukup merepotkan aku. Tapi jika tetap keras kepala, maka aku tidak segan-segan membandingkan kekerasan kepalamu dengan batu ini!" Sambil berkata demikian, Barada menghantamkan pukulan pada sebongkah batu yang berada disampingnya. Batu itu langsung hancur berkeping-keping. Tapi Rangga tidak terkejut. Pendekar Rajawali Sakti sudah biasa menyaksikan kebolehan seorang tokoh rimba persilatan dalam memecahkan batu hanya dengan sekali pukul saja.
"lngat kata-kata itu, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Barada.
Setelah berkata demikian, Barada langsung bangkit berdiri dan berbalik. Laki-laki setengah baya itu segera berjalan cepat meninggalkan Rangga yang hanya tersenyum saja memperhatikan. Pemuda berbaju rompi putih itu masih duduk tenang. Sedangkan Barada sudah lenyap dibalik pintu sebuah pondok kecil yang terletak cukup jauh dari tempat itu. Namun pondok itu terlihat jelas.
"Hm.... Apakah dia ayahnya Paria? Dan orang yang disebut Satria Baja Hitam itu adalah Teruna. Ya.... Kenapa aku jadi bodoh begini? Sudah jelas kalau Teruna memiliki julukan Satria Baja Hitam!" gumam Rangga pelahan seorang diri.
Namun Pendekar Rajawali Sakti itu belum merasa yakin benar akan semua dugaannya barusan. Hampir saja pancingannya tadi mengenai sasaran. Tapi laki-laki setengah baya itu seperti sudah mengetahui, dan cepat mengelak dengan kemarahan meluap-luap.
Pada saat Rangga tengah berpikir keras, tiba-tiba terdengar langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Tak lama berselang, muncul seekor kuda coklat yang ditunggangi seorang laki-laki tua berjubah merah menyala. Dia langsung menuju kearah pondok. Tapi begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti duduk bersila dibawah pohon, arah kudanya dibelokkan untuk menghampiri pemuda berbaju rompi putih itu.
Laki-laki tua berjubah merah yang dikenali Rangga berjuluk Iblis Racun Merah itu, langsung melompat turun dari punggung kudanya. Dia berdiri tegak sekitar dua batang tombak jaraknya sambil berkacak pinggang. Sedangkan Rangga tetap duduk tenang bersila. Bahkan matanya setengah terpejam.
"Hehehe..., ternyata kau sudah lebih dulu berada disini, Bocah!" kata Iblis Racun Merah seraya terkekeh.
Rangga hanya diam saja tidak menanggapi.
"Kemarin kau boleh merasa menang, tapi sekarang.... Hiyaaa!"
Tiba-tiba saja laki-laki tua itu mengibaskan tongkatnya dari atas kebawah, mengarah kekepala Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh cepat luar biasa serangan mendadak itu, sehingga membuat Rangga sedikit terperanjat. Namun sebelum ujung tongkat laki-laki tua berjubah merah itu menghantam kepala, dengan cepat sekali Rangga menggeser duduknya kesamping, tanpa bangkit lebih dahulu. Tongkat Iblis Racun Merah menghantam tanah dengan keras sekali, sehingga membuat permukaan tanah jadi bergetar bagai terjadi gempa. Pada saat itu, Rangga cepat melompat bangkit berdiri.
"Phuih...!" Iblis Racun Merah menyemburkan ludahnya.
Rangga berdiri tegak sambil melipatkan tangan didepan dada. Sedangkan Iblis Racun Merah sudah cepat memutar tongkatnya didepan dada, bagaikan sebuah baling-baling tertiup angin yang kencang sekali. Suara putaran tongkat itu menderu-deru seperti badai. Saat itu juga Rangga merasakan adanya hawa panas menyengat kulit tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Iblis Racun Merah melompat cepat menerjang. Tongkatnya dikibaskan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, tepat mengarah kekepala Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan sedikit mengegoskan kepalanya, Rangga berhasil mengelakkan sambaran tongkat itu. Secepat kilat disentakkan tangannya hendak menangkap tongkat itu. Namun Iblis Racun Merah sudah lebih cepat lagi menarik tongkatnya, sambil mengirimkan satu tendangan menggeledek yang sangat dahsyat luar biasa.
"Yeaaah...!"
"Uts!
Cepat Rangga menarik mundur perutnya, menghindari tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu menggeser kakinya kebelakang beberapa langkah, sehingga terdapat jarak antara dirinya dengan Iblis Racun Merah. Namun laki-laki tua berjubah merah itu tidak ingin membiarkan lawan melakukan serangan. Langsung saja dia melompat seraya mengibaskan tongkatnya mengarah kebeberapa bagian tubuh yang mematikan.
Rupanya pertarungan itu membuat Barada dan beberapa orang yang berada didalam pondok terkejut Mereka bergegas keluar dari pondok, dan terkejut begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti tengah menahan gempuran-gempuran seorang laki-laki tua berjubah merah. Barada dan lima orang pembantunya segera berlarian menuju ketempat pertarungan itu.
"Berhenti...!" teriak Barada keras menggelegar. Suara bentakan Barada yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu, membuat Iblis Racun Merah menghentikan pertarungannya seketika. Kakek itu melompat mundur dan berpaling kearah datangnya bentakan menggelegar tadi.
"Barada...! Kenapa kau hentikan pertarunganku?" dengus Iblis Racun Merah sengit.
"Belum saatnya melakukan pertarungan, Iblis Racun Merah," sahut Barada seraya menghampiri laki-laki tua berjubah merah itu.
"Kenapa?" tanya Iblis Racun Merah memberengut.
"Nanti saja kalau mereka sudah datang semua. Lagi pula, sasaran kita yang utama bukan dia. Kau harus ingat. Sasaran kita yang utama adalah Satria Baja Hitam," jelas Barada.
"Tapi bocah edan ini sudah banyak menyusahkan, Barada."
"Aku tahu. Giliran untuknya ada saatnya nanti."
"Hm, baiklah. Tapi kau harus ingat, dia bagianku yang pertama!"
"Aku janji, Iblis Racun Merah."
Iblis Racun Merah kelihatan puas mendengar janji yang diucapkan Barada. Laki-laki tua itu berpaling menatap tajam kearah Rangga. Sinar matanya merah membara bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Rangga sendiri hanya tenang saja sambil melipat tangan didepan dada. Bahkan, kini dia kembali duduk tenang dibawah pohon dengan sikap bersemadi.
"Huh...!" dengus Iblis Racun Merah sengit.
"Ayo, Iblis Racun Merah. Kita menunggu didalam pondok," ajak Barada ramah.
"Ayolah."
Mereka segera melangkah kembali kedalam pondok. Barada dan Iblis Racun Merah berjalan didepan, diikuti lima orang pembantu utama laki-laki setengah baya itu. Tampak Suro yang bertubuh paling besar dan tegap, sempat melirik sengit Pendekar Rajawali Sakti. Memang, laki-laki bertubuh tinggi besar itu juga menyimpan dendam pada pemuda berbaju rompi putih itu.
"Tenang saja. Bagianmu nanti, Suro," bisik Sarapat yang berjalan disamping Suro.
"Akan kuhirup darahnya sampai habis!" dengus Suro menggeram pelan.
"Tapi ingat. Jantungnya bagianku," bisik Sarapat lagi.
Suro hanya meringis saja. Mereka tidak lagi bicara, lalu menghilang didalam pondok. Sementara itu, Rangga hanya tersenyum saja. Dengan mengerahkan Ilmu Pembeda Gerak dan Suara. Semua percakapan Itu bisa terdengar. Sempat diperhatikannya orang-orang yang kini sudah menghilang didalam pondok kecil yang beratapkan daun rumbia.
"Pssst...Pssst..!"
Rangga tersentak ketika telinganya mendengar suara halus dari arah belakang. Pelahan dipalingkan kepalanya menoleh kebelakang. Hampir Pendekar Rajawali Sakti terlonjak begitu melihat sebuah kepala sedikit menyembul dari dalam semak belukar. Seraut wajah yang sangat dikenalinya dengan baik.
"Mendekat kesini, Rangga...," pelan sekali suara itu.
Rangga menatap kearah pondok sebentar, kemudian tanpa mengubah posisi duduknya sedikitpun, digeser tubuhnya mendekati semak belukar itu. Dan kepala yang menyembul, langsung melesat masuk kedalam semak. Rangga tetap duduk bersila membelakangi semak belukar itu. Pandangannya lurus kearah pondok yang berada cukup jauh di depannya.
"Sejak kapan kau sudah sampai kesini, Teruna?" tanya Rangga berbisik.
"Baru tadi," sahut Teruna yang bersembunyi didalam semak belukar dibelakang Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kenapa kau tidak langsung muncul?" tanya Rangga lagi.
"Untuk apa? Biarkan saja mereka berharap sampai kiamat," sahut Teruna lagi.
"Heh...?! Apa maksudmu...?" sentak Rangga tidak mengerti.
"Kau tahu, apa yang mereka tunggu?" Teruna malah bertanya.
"Ayahmu, Lasini, dan Badil."
"Mereka sudah aman di suatu tempat."
Rangga tak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya. Maka tubuhnya langsung melesat, dan menghilang dibalik semak belukar. Tapi bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata didalam semak ini tidak ada seorangpun, kecuali dua sosok mayat yang lehernya koyak hampir putus. Darah masih mengalir deras dari leher yang terkoyak itu.
"Teruna...," panggil Rangga setengah berbisik.
Tapi tak ada sahutan sedikitpun. Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya dengan tajam. Pada saat itu terlihat sebuah bayangan putih berkelebat menyelinap diantara pepohonan yang rapat. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat mengejar bayangan putih yang diduga bayangan Teruna.
Rangga berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya dengan kecepatan yang luar biasa sekali. Matanya tetap tajam memperhatikan bayangan putih yang berkelebat cepat menuruni lereng bukit ini. Dan bayangan putih itu berhenti tepat ditepi sebuah bukit kecil berair jernih yang mengalir berkelokan bagai ular raksasa melingkari bukit. Pendekar Rajawali Sakti kini telah tiba dibelakang seorang laki-laki berbaju putih yang berdiri tegak menghadap ke sungai. Ketika tubuhnya diputar, maka tampak wajah tampan itu tersenyum manis menawan.
"Kau harus menjelaskan semua ini, Teruna," pinta Rangga langsung dengan suara yang begitu dalam.
"Aku berhasil menyusul mereka di lereng bukit. Tidak sulit untuk mengalahkan mereka yang hanya kroco-kroco saja," jelas Teruna ringan sekali.
Teruna berjalan menghampiri sebongkah batu yang tidak seberapa besar, lalu dengan sikap enak sekali duduk diatasnya. Sedangkan Rangga masih berdiri memperhatikan.
"Teruna, siapa kau ini sebenarnya?" tanya Rangga, dingin dan tajam sekali nada suaranya.
"Aku Teruna, putra tunggal Ki Rabul," sahut Teruna kalem.
"Kau menyembunyikan sesuatu, Teruna. Aku tahu, persoalan yang kau hadapi tidak kecil. Apalagi juga harus menghadapi orang-orang berkepandaian tinggi. Mereka tidak menginginkan aku, dan tidak ingin aku ikut terlibat. Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Teruna?" desak Rangga meminta penjelasan.
"Anak bengal itu membawa lari putri Barada...!"
Rangga langsung berpaling ketika mendengar suara dari arah samping kanannya. Tampak Ki Rabul tengah melangkah ringan keluar dari dalam sebuah gua. Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti itu tadi tidak memperhatikan ada sebuah gua didekat tepi sungai ini. Tak lama berselang, dari dalam gua itu juga muncul. Lasini yang menuntun adiknya. Gadis itu menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, dan berdiri disampingnya. Sedangkan Ki Rabul berdiri diantara Pendekar Rajawali Sakti dan Teruna yang masih tetap duduk tenang diatas batu.

***

45. Pendekar Rajawali Sakti : Satria Baja HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang