Insiden

2.9K 155 19
                                    

Hari berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah enam bulan lamanya Dara tinggal di rumah Arkan dan Diba. Hubungannya dengan Ganesha pun semakin dekat. Banyak yang menganggap mereka berpacaran, namun sebenarnya tidak.

Baik Ganesha mau pun Dara belum ada yang mengungkapkan perasaan. Mereka hanya terfokus dengan janji delapan tahun yang lalu. Mereka sudah saling terbuka satu yang lainnya. Termasuk perihal lelaki yang kemarin menelepon Dara saat ponselnya sedang di tangan Ganesha.

Dara menjelaskan kalau lelaki tersebut pernah dekat dengannya. Hanya dekat dan Dara hanya menganggapnya teman, tak lebih dari itu. Namun suatu ketika lelaki tersebut marah karena cintanya ditolak oleh Dara. Sampai-sampai dia berbuat yang tidak-tidak. Untung saja Dara bisa kabur waktu itu.

Baginya itu adalah masa lalu yang sangat menjadi pelajaran buatnya. Masa lalu yang mungkin sulit untuk dilupakannya, namun harus dia lupakan. Memaksa otaknya untuk menghapus tentang lelaki itu dan semua kenangan mereka baik itu yang manis maupun yang pahit.

Pagi harinya seperti biasa. Dara senantiasa membantu Diba menyiapkan sarapan mereka. Diba sangat senang, sekarang dirinya ada teman untuk memasak. Apalagi keahlian Dara dalam hal tersebut tidak perlu di ragukan lagi. Dia bisa memasak berbagai jenis makanan, termasuk kue dan roti. Karena itu tak jarang mereka membuat bebagai cemilan untuk dimakan bersama.

Hari ini Arkan ada jadwal flight siang nanti. Istri dan anak-anaknya sudah sangat terbiasa harus ditinggal Arkan selama dua sampai satu minggu lamanya. Walaupun Arkan sibuk bekerja mereka tidak pernah kekurangan kasih sayang sedikit pun dari Arkan. Arkan selalu menghubungi mereka kalau ada waktu. Tak pernah sekalipun tidak. Diba juga seperti itu, walaupun dia sibuk bekerja dia selalu bisa menyempatkan waktu buat menjemput si kembar pulang sekolah.

"Bang, hari ini ayah aja yang nganter adek-adek ya. Abang sama Dara langsung ke kampus aja," ucap Arkan.

"Yes! Wuhuuuuw bebas!" pekik Ganesha yang kesenangan karena tidak mengantarkan kedua adiknya.

"Seneng banget kayanya nggak nganterin kita, ya kan, Kak?" tanya Ruby kepada Alby sambil melirik Ganesha.

"Iya, kok seneng banget. Jahat Abang ih, dulu aja sayang banget. Sekarang jangankan adeknya di sayang, baik aja belum tentu," omel Alby.

"Ya senenglah. Abang jadi nggak pusing kan ngadepin kalian yang nakal. Belum lagi mau berangkat ada dramanya. Huh!" keluh Ganesha.

"Makanya Kakak sama Adek jangan nakal dong, Nak. Apalagi sama Abangnya. Kalian ini sudah besar. Sudah tiga belas tahun. Sebentar lagi SMA, 'kan? Masa iya kelakuannya masih kaya anak TK," ucap Diba sambil memberikan satu persatu bekal anak-anaknya.

Walaupun uang jajan mereka cukup untuk membeli makanan atau jajanan di sekolah, tapi Diba selalu membawakan bekal untuk Ganesha, Alby, dan Ruby. Bahkan Dara juga sekarang ikutan membawa bekal juga. Bukan mengapa, dia berpikir dengan membawa bekal mereka bisa belajar menabung atau menggunakan uang jajannya untuk keperluan lain.

"Tuh dengerin!" ucap Ganesha. Alby dan Ruby pun menatap tajam Ganesha. "Berarti abang boleh bawa motor?"

"Pakai mobil aja, Bang. Hari ini bunda janjian sama Mami Keyla. Mau shopping bareng. Jadi, nanti kalian yang jemput adek-adek." Baru aja Ganesha senang karena tidak berurusan dengan si kembar. Tapi dengan cepatnya Diba menghancurkan moodnya.

"Udah nih tas Abang udah Bunda masukin bekal sama minumnya. Satu lagi, ni tissue nya jangan lupa dibawa." Ganesha hanya mengangguk lesu. Lalu dia menyalam tangan bunda dan ayahnya bergantian. Dara yang melihatnya hanya tertawa kecil. Dia juga menyalam tangan Arkan dan Diba bergantian.

"Kasian deh lo nggak dibolehin Bunda," ejek Alby.

"Diem lo!" balas Ganesha.

Walaupun begitu kedua adiknya itu tetap menyalam sang abang. "Bang! Sini deh," ucap Ruby sambil menarik tangan abangnya agar menunduk.

My Senior is My WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang