Pinta Nada

20 0 0
                                    

Ku harus berjalan
walau banyak terpaan
Dari yang tak kuhiraukan
Hingga yang amat kuperhatikan
Riang melintang rumput ilalang
menyerang kulit dikala siang
Debur angin menyisiri sepetak sawah
Terlihat nampak terbelah-belah
Bunda, ku sudah terujah
Dan tergugah
Dengan suasana desa yang indah
Bolehkah ku tetap singgah?

"cing cangkeuling manuk cingcleung jineuteun, blos ka kolong papa satar..? Papa satar apa tea? Lanjutannya?"
Kang Bagja bernyanyi dan bercandai aku
ditengah kepayahannya membawa berbilah kayu bakar dari kebun.
"apa neng jawab atuh jangan ngehuleng aja"

"papa satar jendol.. " kang Diga menyahut dari belakang,

"papa satar buleuneung, kang bukan jendol hahaha.." kataku menyeringai.

Kali ini Abah tak memikul kayu, usia Abah tak lagi muda, tak punya banyak tenaga. Alhasil semua dibawa Kang Diga, Abah hanya membawa sebilah pisau andalannya saja, sembari menyisiri rumput yang diinjaknya.

Abah telah banyak bekerja untuk kami,
Kali ini kami bantu Abah.

"Diga.. Cing bantuan urang yeuh" kang bagja merayu kang Diga, yang merunduk-runduk sempoyongan dengan setumpuk kayu bakar di punggungnya

"tos ulah sok ngaheuereuyan kang Diga, gus.. Karunya"
(sudah jangan bercandai Diga, kasihan)
Ucap ibu ijah, tetangga kami yang juga sedang mengangkut kayu bakar.

"hehhehe bu ijah kuat bu..?" kata kang Bagja

"lah Bagja maneh nanyaan wae. Atuh kuat lah bu ijah mah ahli urusan beginian mah" kang Diga meledeknya.

"wush ribut aja ya.. " tegur Abah
Riak tawa kami pecah melihat kedua lelaki itu bertingkah ditengah perjalanan kami menuju rumah.

"ibu mah gus.. Sudah tua tidak punya anak, tapi syukur punya tetangga seperti barudak ini nih.. Alhamdulillah nya bu Mirah, semoga jadi ladang amal buat Bu Mirah dan keluarga"
Bu Ijah, ia menyampaikan kata hati nya di tengah keluarga kami yang berbeda keadaan dengan keluarganya.

Bunda hanya mengangguk dan tersenyum, semua tertegun.

Sesampainya di rumah, seperti biasa siang itu semua lelaki bersiap ke mesjid.
Aku dan bunda menyiapkan makan siang
Aku selalu mendapat bagian yang dikerjakan di ruang makan, bukan di dapur. Seperti mengupas bawang dan memotong sayuran dan sebagainya.
Oh ya hari ini banyak bahan makanan sebab Abah telah panen. Alhamdulillah, kami bersyukur meski ini tidak setiap hari.

"Astagfirullah.. Neng!!" jerit bunda dari dapur.
Aku beranjak dari duduk, menghampiri bunda sambil bertanya
"bunda?! Kenapa? Ada apa?"
Ku dapati bunda terjungkal diantara batas dapur dan tanah di luar, batas itu hanya diselangi tembokan,
"bunda kepeleset neng, ya Allah.. Licin pisan ini teh. " bunda meringis dan menjelaskan kejadian itu.

"bunda?!.. ya Allah kakinya biru.. Biar neng beresin masak. Bunda ke kamar aja rebahan ya"

"neng bunda gak apa apa. " singkat bunda menolak.

"bunda.. " pintaku memelas

"neng, bunda ingin kamu kupas bawang itu" tukas bunda tegas.

Bundaku yang keras kepala, ia tetap berjuang meski baru saja aku kaget kepalang,
~
Malamnya, setelah bunda dan aku selesai mengaji.
Aku menghampiri bunda di kamarnya.
Aku memegang kaki bunda yang tadi memar, dan biru.
Ku pijit perlahan
Bunda hanya berbaring ke samping dan menoleh,

"neng wios ah tong dipegang-pegang nanti tangannya kotor" kata bunda

Deg! Hati ku terenyuh
Bunda saat itu sedang lesuh
Dan aku sangat luluh
Matanya memandang tak jenuh
Tangannya mengelus ku tak henti
Tapi kalimatnya tak menggubrisku
Tetap ku pijat kakinya dengan kalis
Meski ku sangat ingin menangis

Kalimatnya itu, seakan aku ini siapa?
Anak bunda? Memegang kaki bunda membuat tanganku kotor?
Yang benar saja?!

"neng habis ini cuci tangan mu ya" bunda melanjutkan.

"iya bunda.." kataku.

"bunda..?"

"ya?"

"boleh tidak ku meminta?"
...
Bunda menoleh dan terdiam, senyumnya tipis, alisnya terangkat.

"boleh ngga kalau neng kasih saran istri buat kang Diga?"

"oh. Diga, akang mu itu masih menutup diri neng"

"tapi neng nyaah ka kang Diga, akang gak akan bisa terus begini. Nggak baik menjadi bujang terlalu lama, neng ada kenalan ibu guru di sekolah, orangnya baik hati dan murah senyum, bunda, tapi setelah itu keluarga kita gak akan lengkap ya bunda"

"neng.. Semua anak gak akan bisa terus tinggal sama orang tua dalam waktu panjang, ada masa ia harus pergi dan mandiri"

Tersadar aku sejenak.
Termenung aku tak terima, sepenggal kalimat itu telah meraba rasa, mengganggu dan membuatku kalut, apa yang tak kupikirkan sebelumnya, ternyata ada di depan mata.
Sebuah keluarga, tak akan utuh bersama selamanya.

"bunda, neng paham sekarang " lanjutku.

Semoga Allah lancarkan, agar kang Diga dapat menempuh hidupnya lebih baik dari kami.
~
"Assalaamu'alaykum.." Kataku sembari menengok ke arah jendela rumah Bu Ratna
"Wa'alaykumussalam.."
Bu Ratna membuka pintu dan senyum merekah dari bibirnya.

Banyak yang ku jelaskan pada Bu Ratna, aku cukup canggung mengingat rencanaku ini seakan terbesit ragu, tapi aku tak boleh tersendat melulu, ini yang terbaik dan aku akan berjuang, agar mereka dapat hidup bersama dengan tenang.
InsyaAllah.

Setelah beberapa hari.
Akhirnya keluarga kami, dan Kang Diga mendatangi rumah Bu Ratna, beberapa minggu kemudian digelar lamaran. Hingga dua bulan selanjutnya pernikahan.

Kang Diga banyak mendapat rezeki. Ia diangkat menjadi pegawai negeri.
Alhamdulillah. Curahan hati bunda menyemat dihati kami ketika pesan setelah resepsi.
Kang Diga terharu, dan memelukku.

"nuhun neng, geulis"

"alhamdulillah ya kang"

"kok perasaan kamu teh makin tinggi aja neng? Cepet amat?"

"masa sih kang, ah da biasa wae kan dari dulu juga gini" kataku berkilah.

"ih si neng mah dikasih taunya"

"hehe neng masuk dulu ya kang" aku segera berlalu.

Ku pandang pohon disekitarku
Dari atas gundukan tanah dipipir mushola
Menjauhi segala kebisingan yang ada
Ya Allah, Engkau maha tahu
Apa yang sebenarnya diinginkan hatiku

Bahagia aku, Kang Diga telah melabuhkan cintanya
Mereka akan hidup berumah tangga
Keluargaku bertambah
Tak ada yang terbaik selain mengucap
Alhamdulillah

Tbc

Terima kasih untukmu yang telah setia
Membaca ceritaku dengan seksama
Ku harap kamu bahagia
Dan aku juga, dengan dukunganmu diantara simbol bintang dan mata
Sampai jumpa

Berkilah Namun Terus BerkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang