Syukur menutur

83 7 3
                                    

Menarik untaian pelita, dari setiap harap Bunda, ceritanya seakan tak henti berkumandang, dalam benak kami terngiang.
Petuah yang keluar dari bibirnya seakan mengundang segala mungkin dan menangkis segala petaka.

Ku menerka, lintasan kata yang akan diucap Bunda, menatapnya bunda pada kang Diga,
Kami duduk mengelilingi gumpalan ketan hitam didalam bakul, dan berbotol gula aren yang wangi dan hangat, kang Diga duduk bersila, menghadap santapan miliknya, semua menyantap hidangan yang dibuat bunda, bunda masih belum duduk dengan tenang, sebelum semua anggota keluarga mendapat bagiannya.

"Diga.. Bunda teh kecewa sama kamu" tegas bunda menatap kang Diga dengan sayu,
Mata bunda berbinar seperti hendak menangis,
"neng.. Kalau udah selesai makan, gera belajar sing getol nya neng.. Udah SMA kan perlu ilmu sing banyak, agar gak mudah dibobodo sama orang, harus jadi adik yang membuat akang-akangmu ini bangga ya neng.." Bunda berhasil membendung air matanya, dan beralih bicara padaku, seperti itu membuat rasa kecewanya berkurang.

"iya bunda.."

"jangan seperti bunda neng.., kejar cita citamu"
Sanggah bunda, tegas.

Tidak ada yang mengira, gadis sepertiku ini sangat menikmati suasana rumah yang asri, bukan suasana keramaian luar yang bingar dengan segala tuntutan publik, harus cantik, nyentrik, klasik, antik, menawan, modis dan sebagainya.

Di tanah parahyangan ini aku lahir, sawah nan hijau, kicau burung bersiul menelisik hingga ke gendang telingaku, suasana gemuruh tabuh maghrib, penanda hari larut menjadi suasana hangat menyemat disetiap waktu yang tabiatnya sudah terikat.

Setelah menyelesaikan urusan makanku, beranjak Abah dari sampingku, tak meninggalkan sepatah katapun.
Kang Bagja berbisik pada kang Diga "hey kang kali ini kita harus beraksi lagi.." / "ih nanaonan sih kumaneh, udah deh gausah berulah" ketus kang Diga. Kang Diga berlalu dibalik tirai kamarnya, menyisakan keanehan pada kang Bagja, ia kebingungan dengan sikap kang Diga yang tidak asik lagi seperti biasanya.
"heh neng.. Tong ngalamun atuh, nanti kemasukan laler lho " kang Bagja mengusikku tangannya mengibas untaian kepang rambutku.
"sudah 15 tahun kok masih suka diuntun euy, jiga budak leutik wae atuh maneh mah"

/"nya lah.. Suka suka neng atuh akang.. Ini untunan Bunda lho geulis kan neng?"

" heu euh lah.. Iya in aja" kang Bagja sembari berlalu

Setelah membantu Bunda di dapur, kembali bersiap maghrib dengan menutup semua tirai jendela, lebih pantas disebut kain-kain yang teruntai disudut kerapuhan rotan, yang tertata dengan nyaman, disebalik jendela depan, yang berfungi menjaga keamanan. Namun kini ku sadar itu rapuh, tak lagi kukuh, rumah ini hampir seusia dengan kang Diga, hampir 28 tahun. Rumah yang minimalis dengan berbagai pernak pernik sistematis, dari ujung ke ujung sudut ruangan yang statis, ayunan tirai tertiup angin selalu memberi kesan yang dramatis, namun lantunan ayat suci selalu bersemai disela aktivis, dengan melankolis. Di dalam kamar bunda terdengar senandungnya seusai sholat maghrib, dengan irama khas nya, membuatku terpaku padanya setiap waktu, meski hanya menelisik disebalik tirai kamar bunda, bunda selalu bertanya

"nyinaon didinya.. Gera kadieu neng" ucapnya menyuruhku ke dalam, setelah duduk disampingnya,
Bunda mengisahkam beberapa cerita lama, tentang dirinya dan keluarga saat kecil. Setelah selesai aku akan kembali ke bilik, dan membaca beberapa buku, sembari menunggu isya berkumandang.

Ya, Bunda dan abah pindah kemari setelah beberapa hari anak pertama mereka lahir.

Mereka memutuskan pindah dari rumah kakek, karena agar mereka tak lagi gundah, dengan tanggapan orang yang membuat resah dan gelisah.
Bukankah sudah dianggap dewasa jika mengelola persoalan keluarga sendiri?
Mungkin itu yang ingin diberitahukan abah pada kakek. Sehingga berpindah dari rumah kakek, meski jaraknya hanya beberapa meter saja,
"sing penting urang aya di rompok nu sanes, Teu ngarepotkeun kolot.."
Kami selalu bertanya mengapa bunda pindah? Dan ini jawaban untuk itu, yang berhasil membuat kami terdiam hening.

Keluarga itu perlu mandiri, tak baik bila selalu bersandar pada orangtua.

Bukan hal mudah hidup bersama keluarga yang kadang tak miliki sesuap beras untuk pagi hari, dan sedikit remah roti untuk malam hari. Kami memang dari kalangan yang tak mampu. Tapi lentera lampu, dari pelupuk mata bunda tak pernah kelabu.

Terima kasih bunda, untuk hari ini.
Sayu mata mu selalu terbayang dalam kenang, sahut hangatmu menyapa dalam mimpi yang manis seperti susu vanila, ku hanya bisa berdoa agar engkau sehat sentausa, menyeleraskan setiap do'a mu jua, yang tersandar dalam dekap semesta yang luar biasa penuh energi kuasa. Untuk kami tiga permata.

Allah akan beri petunjuk bagi kami, selama percaya bahwa semua pasti akan bahagia dengan usaha dan doa.
Di penghujung petang, harapan telah ku bentang. Agar selalu disayang, dalam setiap sembahyang.

Neng memang tak punya keberanian bunda, mengungkapkan semua kata, yang telah disusun sedemikian rupa, untuk mengekspresikan kasih dan cinta, pada kalian, Abah dan Bunda, tak mampu mengutarakan bahkan hanya untuk sekedar guyonan, ada rasa berat hati yang mengalahkan keberanian. Entah kapan akan ku ungkapkan.

Ku tahu, selalu kuperhatikan, engkau selalu terduduk, meringkuk dalam pangkuan Rahmat, meminta agar semua keluarga sehat, dan berbagai doa lain yang selalu tertambat, mengharap setiap syafaat.

Para pembaca yang terhormat
Tafadholy
Vote dan komen kalian sangat berharga..
Jazakumullah khair, wa barokallahu fiikunna

Berkilah Namun Terus BerkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang