31 (1)

699 41 14
                                    

Hei~, ketemu lagi dengan author :3
Author kerasukan apa lagi ya sampe nge-publish cerita yang satu ini, yang udah ngedekam di laptop selama hampir dua bulan...
Well, nekat sesekali nggak ada salahnya kan? Ya kan?
Yak, mari kita mulai saja!

~~~

Lapangan itu dipenuhi oleh teriakan, dan juga senjata yang saling bertabrakan. Sesekali kilatan cahaya dan beberapa warna terlihat, membuat sekelompok pasukan terlempar jauh ke arah berlawanan dari cahaya tersebut. Seorang penyihir terus mengayunkan tongkat kepercayaannya saat dia melantunkan mantra-mantra. Jubah hitamnya berkibar ditiup angin dari mantranya sendiri. Rambut putih saljunya bergerak liar dan ternodai oleh lumpur dan darah. Kedua maniknya yang berwarna merah darah itu sendiri berkilat dalam setiap kalimat yang dia teriakan.

"Musuh-musuh ini terus berdatangan!"
"Kita tak bisa menahan mereka selamanya!"
"Yang mau nyerah pulang saja sana! Kita harus memertahankan tanah kita!"
"Buat apa pula melakukannya jika pada akhirnya kita mati?!"

Penyihir itu menggelengkan kepalanya mendengar kalimat terakhir yang diteriakan oleh siapapun itu di sekitarnya. Lagipula dia tak tau persis yang berteriak tadi itu seseorang dari pihaknya atau pihak musuh. Dia lanjut melontarkan mantra-mantra berbahaya yang mematikan bagi musuh. Saking fokusnya pada musuh yang ada di hadapannya, dia tidak menyadari seorang musuh yang bangkit di dekatnya dengan susah payah habis terkena mantranya.

Musuh itu mengambil pedangnya dengan tangan bergetar oleh rasa sakit, walaupun sekarang tubuhnya bergetar oleh kemarahan karena melihat teman satu perjuangannya terlempar bagaikan boneka porselen. Dia mengangkat pedangnya dan mengarahkannya pada surai putih kotor tersebut. Kedua matanya membelak melihat sekebelat surai biru gelap alih-alih putih.

Suara seseorang yang ambruk di belakang sang penyihir mengalihkan perhatiannya. Suara itu terlalu dekat dan terdengar suara pedang terbanting ke tanah tepat saat seseorang itu terjatuh. Sang penyihir menoleh ke balik bahunya, dan dia yakin jantungnya berhenti berdetak sesaat.

Di belakangnya seorang pria tersungkur. Kedua manik birunya yang sebiru langit tampak sayu. Surai biru gelap acak-acakannya terkotori oleh darah dan lumpur, sama seperti sang penyihir. Tangannya yang mencengkram dadanya terlihat begitu pucat, sangat bertolak belakang dengan cairan merah yang muncul dari balik sela-sela jarinya.

Tidak. Tidak mungkin... Jangan dia...

"SORARU-SAN!!!!"

Teriakan lantang tersebut melepaskan sebuah energi sihir yang besar, otomatis melempar siapapun yang berada dalam sekitar radius 5 meter darinya, baik orang-orang dari pihaknya maupun pihak musuh. Sang penyihir terjatuh ke lututnya saat dia ikut meletakan tangannya di atas tangan pucat pria bersurai biru gelap tersebut, berusaha menghentikan darah yang mengalir.

"Mafumafu..." pria itu dengan lemah membalas. Sebuah senyum pilu terukir di wajahnya saat dia berbicara dengan sang penyihir, "Jangan menangis, konyol. Pria dewasa kok... Menangis..." tubuhnya bergetar saat dia mengambil nafas dalam, membuatnya terbatuk oleh darahnya sendiri.

"Tidak! Tidak, Soraru-san... Jangan bicara dulu..." sang penyihir menghiraukan air matanya yang mengalir, sebelum menutup matanya dan mulai melantunkan berbagai mantra penyembuhan, berharap bahwa salah satunya akan menutup luka pria di hadapannya. Pria yang paling dia cintai di dunia.

A Desperate WishWhere stories live. Discover now