CHAPTER 5

24 0 0
                                    

Aliya menatap jarum jam yang terus berdetak di dinding kamarnya. Melamun, tapi ia pun tak tahu apa yang tengah dilamunkannya dan untuk apa dia melamunkannya.
Ketika jarum jam itu berdetak melewati angka dua belas dia meraih ponselnya yang berada di samping ranjang tempat tidur. Menggulir layar ponselnya mencari room chatnya dengan Sayla yang kemudian disematkannya di chat teratas.

Ditekannya simbol telepon di kontak Sayla. Terdengar bunyi saluran yang terhubung, meski cukup lama tak ada jawaban dari orang yang ditelepon.

“Dreiittt... Dreiitt...”, Hp milik Sayla bergetar di samping lampu tidurnya. Sudah sejam dia tidur, namun tiba-tiba terpaksa terbangun karena panggilan telepon dari Aliya. Gadis itu melirik jam beker di meja samping ranjangnya, jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima.

“Halo, siapa ya?” tanya Sayla tanpa membaca kontak si penelepon karena matanya masih mengantuk.
“Ini gua Say, Aliya.”

Sontak dia bangkit dari tempat tidur dan membuka matanya lebar-lebar. Benar saja bahwa si penelepon adalah Aliya, sohib kelasnya.

“Aliya, sorry Al gue ngga liat kalau lo yang telefon,” mencoba meminta maaf. “Gue ganggu Lo tidur ya?” tanya Aliya ragu.

“Iya, Lo ganggu banget,” ledek Sayla. “Sorry ya Say. Kalau gitu gua matiin aja,” keluh Aliya merasa tak enak hati. “Eh jangan dong. Lo ngga ganggu kok, tapi sedikit mengacaukan mimpi gua, ngga-ngga gua bercanda kali Al,” tawa renyah Sayla.

Aliya tahu Sayla adalah tipikal gadis yang cukup humoris, dengan pikiran yang terbuka namun kadang pemikirannya terlalu dewasa tidak sesuai usianya. Dia selalu mengatakan sesuai realitas yang ada, bahkan sering kali Aliya mendapat sekakmat karena pendapat Sayla yang bertolak belakang dengan pendapatnya yang kekanak-kanakan.

“Soal tadi sore, gua minta maaf ya Say. Gua ngerasa capek aja tadi. Jadi males untuk ngobrol,” tukas Aliya lembut.

“Iya , I know. Tapi pertemuan tadi baik-baik aja kan?” khawatir Sayla. Aliya tersenyum tipis di seberang sana.
“Iya baik-baik aja. Asyik lagi. Oh ya, Lo tahu ngga orang yang tadi siang Lo tabrak di kantin itu ternyata waketos SMA kita,” cengir Aliya menggulingkan badannya ke samping memeluk guling.

Sayla kaget mendengar cerita Aliya sampai menjerit, “Whatt!!” lalu kembali menutup mulutnya karena takut mengganggu orang rumah. “Lo serius? Tapi tunggu, gua lupa orang yang gua tabrak tadi wajahnya kaya apa, emang bener dia cakep?” bisik Sayla.

Aliya terkejut, “Lo ya, emang bener-bener hidup Lo itu datar banget Say. Lo yang nabrak dia tadi siang sampai ngerasa ngga enak banget udah buat basah bajunya, pakai segala repot-repot bersihin bajunya tapi Lo lupa wajahnya kaya apa.” Aliya hanya menghela napas tak percaya.

“Al, gua kan udah pernah cerita sama Lo kalau gua itu susah buat hafal wajah dan nama orang.”

Sayla meneguk segelas air putih yang ada di meja belajarnya lalu membaringkan tubuhnya di ranjang lagi. “Lo itu emang sama aja ya kaya Aji. Ngga peka, ngga hafal nama sama wajah orang, datar juga hidupnya.”

“Ngomong-ngomong soal kak Aji, ternyata buku agenda gua di dia. Gua ngga sadar buku itu ketinggalan di kafe waktu kita pertama kali ketemu, tadi gua juga mampir ke sana bareng dia. Orangnya asyik banget diajak ngobrol, semua obrolan kita itu nyambung, humoris juga,” cerita Sayla.

Aliya menangkap sinyal-sinyal ketertarikan antara Sayla pada adik sepupunya itu.

“Iya Lo nyambung ngobrol sama dia itu karena kalian punya pribadi yang sama. Sama-sama datar. Btw, besok gua mau tes tertulis nih. Lo mau ngga tungguin gua besok biar bisa pulang bareng. Tenang, gua bawa motor kok. Nanti gua anter pulang. Apa sekalian aja besok berangkat bareng?” Aliya mencoba membujuk Sayla untuk mau berangkat dan pulang sekolah bersamanya.

Sirius ( Sayla )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang