Part 6

435 39 1
                                    

repost
/Misteri Warisan Rindu [6]
#mwr_6
by : Eva Liana I

Aku terjengak. Heran. Nama ayahku disebut di tempat asing dan angker ini. Kepalaku berputar ke arah suara. Datangnya dari jalan setapak di samping rumah.

Seorang pria tua, dengan rambut keperakan tertutup blankon, berpakaian hitam lusuh, mendekat perlahan. Seuntai kalung dengan bandulan emas putih berbentuk tetes air besar, melingkari leher dan bergoyang memukul dada saat ia berjalan. Mata keruhnya berkaca-kaca. Seksama mengamatiku. Antara takjub, bercampur haru.

Wajar jika kakek ini salah mengira. Memang, dengan rambut yang agak berombak, serta bentuk rahang persegi dan postur tinggi, sekilas aku mirip ayah. Akan tetapi mata, hidung, mulut dan warna kulitku adalah cerminan ibuku yang rupawan. Makanya banyak yang bilang aku ini cakep.

"Maaf, Aki ... Saya Arka, putranya Pak Sunandar." Kuperkenalkan diri dengan sopan untuk meluruskan kesalahpahamannya

Tatapan si kakek menghangat.

"Kau ... anaknya Sunandar ...?" Suara kakek itu bergetar. Mencermati lebih lekat. "Dia persis seusiamu saat meninggalkan tempat ini."

Kuperhatikan, airmata mulai meleleh di sudut mata si kakek.

"Su-sudah meninggal dunia, Ki. Enam bulan yang lalu, ayah mendadak terkena serangan jantung dan tak bisa diselamatkan. " Perlahan-lahan dan hati-hati, kusampaikan kabar tersebut sambil terus memindai wajah tua di depanku.

Si kakek menyeringai seperti kesakitan. Tetes-tetes bening mengalir ke pipi dan berjatuhan dari dagunya. Perubahan airmukanya membuat jantungku ngilu dan rasanya ingin ikut mengucurkan airmata. Enam bulan belum cukup lama untuk menampik rindu pada ayah yang menghujan di lubuk hati ini.

Untuk sesaat, entah mengapa, pikiranku mendadak terbenam dalam kenangan masa lalu yang berkesan bersama ayah.

"Nak Arka!"

Panggilan nyaring dari luar gerbang, menyentakkanku dari permainan perasaan.

Otomatis, kepalaku berpaling. Melihat sosok Pak Deden tergesa-gesa, bahkan sampai setengah lompat saat melewati gerbang. Mukanya pias.

"Siapa yang memenggal leher patung di gerbang ini, Nak Arka? Pamali! Di situ tempat bersemayamnya eyang ksatrya penjaga rumah sejak zaman leluhur kita!" Pak Deden terengah panik. "Bisa kena bala seisi desa ini!"

"Tidak akan terjadi apa-apa, Pak Deden." Aku tersenyum tenang.

"Tadinya saya mau ngasih tau, kalau semenjak nenekmu sakit, dia tidak lagi menempati rumah ini. Nenek Nyai dirawat di rumah uwakmu, Nyi Mirah. Rumah ini sudah enam bulan kosong! Saya kemarin lupa menyampaikan ... Eeh, nggak nyangka Nak Arka langsung ke sini dan mengusik tempat ini!" Pak Deden nampak emosi.

Aku tak mempedulikan Pak Deden yang misuh-misuh. Menoleh kembali pada kakek yang telah membangkitkan kenangan akan ayahku. Tak dinyana, tempat kakek itu berdiri tadi sudah kosong. Entah kemana si kakek. Sirna begitu saja ke udara tipis.

"Dimana ya aki tadi ...?" gumamku keheranan sambil celingukan. "Pak Deden melihat nggak aki tadi, yang berdiri di depan saya?"

"Aki?" Pak Deden kerutkan keningnya. "Tak ada aki-aki atau siapapun di depan Nak Arka!"

Aku terdiam dengan tengkuk tersepuh dingin. Sepertinya aku tadi terserang halusinasi.

***
bersambung ke bagian 7

Misteri Warisan RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang