Part 9

475 39 2
                                    


/Misteri Warisan Rindu [9]/
#mwr_9

by: Eva Liana I

Atas permintaan nenek, aku bermalam di rumah Wak Mirah. Merawat beliau dengan telaten. Wak Mirah terpaksa menggeser sikapnya. Meski tampangnya masih datar dan dingin, namun suaranya mulai melunak tiap kali bicara denganku.

Hari itu, seluruh kerabat meluruk ke kamar nenek tanpa diundang. Meskipun sikap mereka kaku dan menatapku aneh , namun karena segan pada nenek, mereka tetap menyalamiku sambil memperkenalkan nama dan posisi dalam keluarga.

Inginnya kulontarkan pertanyaan, mengapa dulu mereka selalu menolak ayah, ibu dan diriku. Mengapa perbedaan keyakinan sampai membuat mereka tega memutuskan hubungan keluarga? Padahal kami tak menuntut harta atau belas kasihan mereka.

Akan tetapi, setelah kupikir ulang, tiada gunanya mengungkit masa lalu. Lagipula situasinya kurang tepat. Lebih baik bersyukur atas kemurahan hati mereka kali ini. Walaupun sudut hati terasa meradang dan nyeri.

"Ibu masih ingat titah abah, 'kan?" Wak Sari, putri kedua kakek, menegur nenek dengan halus.

Nenek melambaikan tangannya tanda tak peduli. Menatapku hangat. Lalu menepuk-nepuk kasur sebagai isyarat agar aku duduk di sebelahnya.

Kuturuti kehendak beliau dengan hati meleleh.

"Bapakmu ... ?"

Aku mengangguk paham arah pertanyaan nenek.

"Sudah meninggal enam bulan yang lalu, Ni." Mulutku gemetar.

Nenek terdiam. Sorot matanya kosong sesaat.

Hening menghentak. Ruangan sunyi seperti terendam air. Ekspresi tiap orang sukar kubaca. Namun yang jelas, tiada tanda-tanda kesedihan di sana. Aku menahan sesak yang hampir naik ke tenggorokan. Antara kasihan dan syukur akan bapakku. Kasihan karena bapak diasingkan oleh keluarga sendiri. Sisi lainnya, bersyukur karena kemalangan ini justru menambah timbangan kebaikan buat beliau di alam kuburnya. Apalagi kesabaran yang bapak perlihatkan selama ini, sungguh akan menuai balasan kebaikan tanpa batas dari Allah SWT.

"Mulai hari ini, Arka temani nini, ya?" Mendadak nenekku meminta dengan suara serak.

Segenap keluarga terperanjat. Terlebih diriku. Dada ini seketika membuncah dan hatiku seperti ditumpahi madu. Ini saatnya aku menggantikan apa yang tak sempat bapak jalankan. Berbakti kepada nenek, pada ibu dari bapakku. Semoga Allah menyampaikan kabar baik ini pada almarhum bapak. Bapak pasti bahagia sekali. Dan Allah akan semakin merahmati Bapak.

Pelupuk mataku memanas tak tertahan. Airmata haru pun tak terbendung menghangati pipi.

Sepasang mata keruh nenek pun berkaca-kaca. Beliau menyentuh tanganku, menepuk-nepuknya pelan.

"Tidak boleh!" Nada tegas Uwa Mirah, meretakkan suasana indah yang sedang terbangun. "Bu, apa belum cukup kegersangan yang melanda desa ini semenjak bapak meninggal? Sekarang ibu mau menerima kesialan baru di rumah ini?!"

Kalimat itu tidak nyaring, tapi tidak lembut. Pengaruhnya laksana batu yang dilempar ke tengah telaga, menghasilkan seribu riak. Seluruh keluarga besar mulai berkomentar senada dan saling berbisik. Menimbulkan gemuruh yang mengeruhkan situasi.

***

bersambung ke bagian 10

Misteri Warisan RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang