repost
/Misteri Warisan Rindu [7]/
#mwr_7
by : Eva Liana ILangit senja mulai terbakar di ufuk barat kala kami menuruni gunung dan meneruskan perjalanan menuju kediaman Nyi Mirah, kakak sulung ayahku.
Sepanjang jalan, Pak Deden bertutur, bahwa semenjak kematian kakek, tak ada lagi yang mampu meneruskan ajaran kepercayaan dan memimpin acara ritual. Semua sesepuh kampung telah bergantian mencoba, termasuk Pak Deden sendiri, namun semuanya berakhir dengan kesurupan.
Anak-anak perempuan kakek kemudian didaulat untuk menggantikan posisi kepemimpinan ritual tersebut. Sebab, siapa tau restu dari sesembahan mereka hanya diberikan pada keturunan kakek.
Tak dinyana, mereka berakhir sama dengan para sesepuh. Ada yang langsung pingsan, ada yang kejang-kejang sampai mulut berbusa, dan ada yang lari-lari tak karuan juntrungan. Penyebab rangkaian kesurupan itu akhirnya terungkap dari jeritan anak kakek yang nomor empat menjelang sekarat. Uwak Utin, putri keempat kakek itu, fisiknya memang lemah sejak kecil. Punya penyakit kelainan jantung bawaan. Stress sedikit, mukanya langsung pucat membiru. Tak heran, serangan mental paska memimpin ritual di bulan purnama, mengantarkannya menemui Sang Pencipta.
Pak Deden menghentikan kalimatnya usai mengisahkan tragedi yang menimpa Uwak Utin.
Aku melirik wajahnya. Tak terlihat gejolak emosi. Tanpa sengaja kutangkap kilat ganjil di mata kades tua itu. Kalimat tanya yang telah menggantung di ujung lidah, kutelan kembali. Pengalaman beraktivitas dakwah dan berorganisasi di kampus, mengajariku cara menghadapi orang dan menimbang situasi. Untuk satu alasan, aku mengerem rasa ingin tahu.
"Apakah Nak Arka tak ingin tahu penyebabnya?"
Pandangan kulempar ke cakrawala.
"Semua sudah berlalu, bukan?" sahutku, seolah tak acuh. Namun sudut mataku menperhatikan paras kades tiga periode itu.
Ada seringai di ujung mulutnya. Tak jelas apa maknanya.
Keheningan ganjil mencekik di antara kami. Langkah berlanjut ditemani cuitan burung-burung pipit menyambut petang.
Aku menyempatkan diri sholat ashar di rumah tinggal KKN kami. Sedangkan Pak Deden memanfaatkan waktu menungguku sholat dengan mendatangi beberapa sesepuh desa. Apalagi kalau bukan untuk menceritakan kecelakaan tragis yang menimpa patung penjaga di rumah mendiang pemimpin ritual mereka.
Tidak heran waktu aku keluar untuk melanjutkan perjalanan bersama Pak Deden, beberapa warga kampung berjejer di pinggir jalan. Mengamatiku setengah bermusuhan setengah jerih.
Rumah Uwak Mirah terletak di kampung sebelah. Aroma dupa bercampur wewangian bunga, menyeruak sampai ke halaman rumah.
Aku bersin-bersin tak tertahan saat berada di ambang pintu. Maklum, tak terbiasa menghidu aroma itu, yang dipercaya sebagian masyarakat dapat mengusir roh jahat.
Setelah bersinku reda dan penglihatanku mulai fokus, aku tersentak menangkap seraut wajah terpampang di dinding ruang tamu. Paras karismatik seorang lelaki tua beruban dengan kalung bandulan emas putih berbentuk tetes air besar, menjuntai di dada.
"I-itu .... itu ...." Jemariku gemetar menunjuk foto tersebut.
"Itu foto kakekmu." Pak Deden tahu-tahu sudah di sisiku.
Sesosok perempuan dengan rambut beruban tersanggul sembarangan, dalam balutan daster merah, keluar dari ruang tengah. Menyambutku dengan tatapan bertanya-tanya.
"Itu Nyi Mirah, uwakmu ..." Pak Kades menyorongkan tangan ke arah perempuan tersebut.
Kutekan perasaan galau dan sejuta tanya yang beterbangan memutari benak, saat menyaksikan foto tersebut. Pandanganku beralih pada perempuan itu.
Aku bertemu dengan sorot mata hitam yang dalam, dingin dan kering.
"Wak ..." Sekilas haru membersit di dasar hatiku. Mengusir keganjilan yang membekukan jantung. Bagaimanapun, Wak Mirah adalah saudari ayah. Bagian dari keluargaku. Aku bergegas maju dan menyalami perempuan itu.
"Nyi, dia Arka, putranya Sunandar." Pak Deden memperkenalkan.
Di luar dugaan, Nyi Mirah menepis tanganku dengan kasar.
"Pergi!! Gara-gara Sunandar, abah jadi sakit-sakitan! Manusia tak tahu diuntung! Buat apa menyuruh anaknya datang ke sini?" Suaranya melengking tinggi. Merobek kedamaian. Menikam batinku.
Suara itu memiliki daya panggil yang kuat. Membuat semua penghuni dalam rumah keluar. Bahkan para tetangga mulai melongok melalui jendela dan pintu masing-masing.
"Deden, untuk apa kau bawa anak ini kemari?!" Nyi Mirah menatap murka. "Bapaknya telah menjerumuskan keluarga dan kampung ini dalam kehancuran!"
Pak Deden hanya diam seribu basa.
Sedangkan aku, tersengat kebingungan. Ayah menjerumuskan siapa? Kehancuran apa?
"Putranya Sunandar?" seruan tak percaya muncul dari belakang Nyi Mirah.
"Iya Kang ... " Mata Nyi Mirah menjala merah, menyambut kehadiran lelaki, yang nampaknya adalah suaminya.
"Diusir saja!" tegas suami Nyi Mirah dengan sepasang tangan terkepal.
Aku hampir mengerut mundur. Namun di luar, orang-orang yang entah kapan datangnya, telah berdesakan.
Tiba-tiba dari ruang tengah, sesosok mungil menyibak tirai.
"Mak, Nenek sesak napas lagi!"
Nyi Mirah langsung mengabaikanku. Bergegas memburu ke dalam. Sosok mungil diam di tempat. Mengamatiku sejenak dengan mata bundar beningnya yang dinaungi bulu lentik.
"Bolehkah aku ikut menjenguk nenek?" pintaku hati-hati pada bocah perempuan itu.
"Akang siapa?"
"Arka, cucu nenek juga, baru datang dari luar kota ..."
"Hemm ... berarti kita sepupu?"
"Iyah." Aku mengangguk, penuh harap.
Bocah itu melebarkan tirai. Mempersilakan masuk. Aku tak ragu melangkah ke dalam.
Aroma dupa kian menusuk hidung.
****
bersambung ke bagian 8
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Warisan Rindu
Avventura*Blurb novel Misteri Warisan Rindu* Aroma dupa di hari ke dua puluh lima kematian nenekku, masih menjajah pernapasanku. Meski hati menjerit tersiksa, namun amanat beliau sebelum meninggal, memaksaku bertahan di sini. Di sini. Di rumah tua bergaya Be...