repost
/Misteri Warisan Rindu [12]/
#mwr_12
By : Eva Liana I
Para uwakku dan suaminya kemudian maju. Suami Wak Mirah menarik tanganku, kemudian menggerakkan dagu sebagai isyarat agar menyingkir. Aku paham. Giliran mereka untuk mengurus jenazah nenek. Peranku sudah berakhir.
Hatiku waswas melihat tatacara mereka memperlakukan mayit.
"Wak ...," tegurku sambil mencoba mengambil alih.
"Keluar!" perintah suami Wak Mirah, tegas. "Tak usah ikut campur lagi!"
Beberapa kerabat mencengkeram lenganku. Dalam sekejap, aku sudah diseret keluar rumah. Mereka mendorongku kasar. Hawa dingin malam sontak menyergap kulitku.
Tubuhku terjerembab cukup keras di halaman pasir berbatu. Dahiku sukses mencium tanah. Mulut terantuk batu. Bibir langsung terasa asin. Dadaku sesak menghantam permukaan tanah. Duhai, nyerinya tak terlukiskan.
Namun, jauh lebih nyeri lubuk hatiku. Rupanya mereka tak tanggung-tanggung mengerahkan tenaga untuk mendorongku. Beginikah rasanya ditolak keluarga sendiri? Pahit betul.
Pelan-pelan, kegusaran naik mencapai ubun-ubun. Menambah ruwet isi kepalaku, hingga tak sanggup berpikir, apa yang harus kulakukan atau apa yang mesti kukatakan.
Hei, aku bukan perampok, pencuri atau pengemis! Tapi aku juga bagian dari keluarga kalian. Asal muasal darah kita sama! Mengapa memperlakukanku sesadis ini?! Akhirnya hanya batinku yang mampu menjerit. Tak rela.
Aku hendak bangkit dengan susah payah tatkala sepasang tangan dengan mantap meraih bahu dan membantuku berdiri.
Saat kutengadah, di bawah sorot lampu penerangan halaman, nampak bayangan seorang pria seumuran kakek dengan sorot mata lembut. Berbaju hitam dengan peci putih.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali. Kuatir salah lihat lagi. Sebab hari sudah malam, peralihan Maghrib ke Isya. Siapa tau yang menolongku bukan orang. Hiii ....
"Kamu benar-benar putranya Sunandar?" Pak tua bertanya sambil mengamat-amati wajahku.
Aku hanya mengangguk dengan lidah kelu. Insiden barusan, saat badanku didorong keluar rumah, cukup mengejutkan jantung ini. Membuatku sejenak agak linglung.
"Coba perlihatkan ke saya, apa buktinya," pinta pak tua, seolah tak yakin. Namun sorot matanya tidak menyiratkan keraguan.
Aku terlalu malas untuk membahas. Segera mengambil dompet di saku belakang celana panjang. Dalam hati mulai melafazkan muawidzatain. Seandainya kakek ini hanya halusinasi, maka bayangannya akan hangus jadi abu. Batinku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Warisan Rindu
مغامرة*Blurb novel Misteri Warisan Rindu* Aroma dupa di hari ke dua puluh lima kematian nenekku, masih menjajah pernapasanku. Meski hati menjerit tersiksa, namun amanat beliau sebelum meninggal, memaksaku bertahan di sini. Di sini. Di rumah tua bergaya Be...