Matahari siang hari di daerah pegunungan ini, hangat menimpa kulit, tetapi tak mampu mencairkan kebekuan hatiku. Angin semilir yang tak lelah mempermainkan rambut, justru merindingkan bulu kudukku.
Aku melangkah pulang dari rumah Pak Deden, seolah tak menjejak bumi. Kadang tertahan-tahan, ketika batin berkecamuk. Terus terang, ini adalah pengalaman pertamaku dilanda pergolakan batin yang rumit. Bingung mengambil sikap.
Sisi egoisku menuntut agar aku abai saja terhadap persoalan warisan ini. Toh, selama ini keluarga besar almarhum ayah tak menginginkanku. Untuk apa aku peduli? Bukankah aku adalah cucu yang dibuang? Mereka mau dapat haknya atau tidak, bukan urusanku. Lagipula, persoalan yang lebih besar dari ini juga banyak dan menumpuk.
Akan tetapi, sisi kemanusiaan dan nalarku membantah sikap egois ini. Persoalan keluargaku, juga bagian dari persoalan besar umat. Ketika mereka tak punya ilmu hingga tak paham syariat. Mereka terzalimi. Namun mereka tidak tahu kalau mereka terzalimi. Bahkan mereka mendukung kezaliman ini. Mendukung buta norma adat yang diembuskan oleh kepala desa, tangan kanan ketua sekte.
Otakku mulai memindai segala celah untuk menggoyang keyakinan yang rusak ini. Paling tidak, keluargaku menyadari haknya dan turut memikirkan nasib warga yang hidupnya hanya mengandalkan kebaikan alam.
Akan tetapi, sebanyak apapun celah, semua hanya bisa diawali dari satu jalan. Komunikasi. Biar bagaimanapun, aku harus berbicara dengan para uwakku.
Beranikah aku? Beranikah menghadapi respon pengusiran, atau tuduhan seperti yang sudah-sudah?
Sebutir kerikil yang tak tau apa-apa, pasrah menerima sepakanku. Kerikil malang itu terlempar jauh.
"Aduh!"
Aku tersentak. Apa kerikil itu mengaduh?
Kepalaku yang sedari tadi menekuri bumi, otomatis terangkat. Menangkap sosok gadis mungil berkulit sawo matang dengan rambut sepinggang.
"Kang Arkaa ...," desis manja keluar dari mulut merah yang cemberut. Tangan lentik sibuk mengelus-elus dahi yang rupanya nyeri terkena lemparan kerikil. "Sakiit. Akang tega amat, sih." Gadis manis itu merajuk.
"Wah, maaf, saya nggak lihat ..." ucapku tergesa sambil membuang pandang ke samping. Mengambil ancang-ancang juga untuk segera kabur dari hadapan cucu sulung Pak Deden ini.
"Yaudah ngga apa-apa. Maya suka aja kena lemparan kerikil dari Akang. Makin sakit makin seneng Maya mah. Tandanya Akang perhatian ..."
"...."
"Emangnya Akang lagi mikirin apa sampai nggak liat eneng di sini?"
"Ngg ... nggak mikir yang serius, kok. Akang pamit dulu, ya, Neng Maya ..." Tubuhku berayun siap menjauh.
"E,eh ... tunggu dulu, Kang. Kemarin eneng 'kan nganterin acar ikan. Gimana masakan eneng, akang suka, nggak?" Abegeh itu bertanya agresif.
"Su-suka ..." jawabku terpaksa.
"Itu neng masakin khusus buat Kang Arka."
Aku hanya mesem-mesem. Sekilas menangkap senyum lebar dan mata berbinarnya.
Sebenarnya bukan hanya Maya yang rajin mengirim masakan khusus. Beberapa neng lainnya juga seperti berlomba mengantari aku. Temanku, Rahman dan Apeng jadi rada-rada sirik gitu. Tapi Beni si gembul yang doyan makan justru bahagia karena dapat jatah tambahan selain katering dari bu kades.
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Warisan Rindu
Aventura*Blurb novel Misteri Warisan Rindu* Aroma dupa di hari ke dua puluh lima kematian nenekku, masih menjajah pernapasanku. Meski hati menjerit tersiksa, namun amanat beliau sebelum meninggal, memaksaku bertahan di sini. Di sini. Di rumah tua bergaya Be...