~You may have your own interpretation~
I am sorry I did not write BTS' fanfictions this time. I wrote this story all of sudden. The idea suddenly popped up in my head and I just don't know where to save this story :)
Please enjoy~
×××
Hujan turun dengan deras disertai angin kencang dan gemuruh. Kilat saling menyambar. Indah namun menakutkan. Angin tak berhenti berhembus dengan mengerikan, menerpa ranting pohon dan dedaunan, menimbulkan bunyi gemeretak dari jendela-jendela yang ditutup rapat. Sangat kelabu, sangat suram, sangat berkecamuk. Membawanya pada nuansa yang amat kelam.
Kosong.
Gelap.
Hitam.
Ia duduk disebuah ruangan gelap yang hanya berpenerangan sebuah lilin yang sudah pendek. Tangan kurus dan jeleknya bertumpu pada sebuah meja bundar yang reyot. Jari-jari panjangnya saling bertaut satu sama lain. Matanya mengarah pada benda perak kecil yang tergeletak di samping lilin, berkilauan tertimpa cahaya api.
Sudah sangat lama.
Sudah lama sekali ia terjebak dalam badai tak berkesudahan ini. Yang ia lakukan hanya mengisolasi diri. Ia terjebak dan tidak ada jalan keluar.
Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada seseorang yang duduk di hadapannya.
Ia tidak sendiri!
Pria itu berkumis tipis dan memakai kacamata nyaris bulat. Rambut hitamnya nyaris tidak kelihatan ditelan kegelapan. Pantulan api berderak-derak dikacamatanya. Ia menatapnya penuh rasa iba.
"Jika saja... jika saja..." suaranya tidak bisa keluar, tertahan ditenggorokan. Pria yang duduk dihadapannya tidak membalas. Suatu cara untuk menyuruhnya terus berbicara.
"Jika saja... jika saja aku tahu bahwa hidupku akan seberat ini, aku akan memilih untuk tidak lahir ke dunia," suaranya serak diakhir, disertai air mata yang menetes.
Mengapa seberat ini?
Mengapa terasa seberat ini hanya untuk mengucapkan satu kalimat?
"Kau menyesalinya?" Pria itu bertanya.
"Y-ya..." jawabnya masih dengan suara tertahan. Penyesalan akan eksistensinya terus menghantuinya, membuatnya merasa bersalah dan tidak berharga.
"Aku menderita!" Desisnya marah. Kedua tangannya terkepal erat, ingin sekali meremas sesuatu sampai hancur.
"Aku tahu," balas si pria.
"Dan tak seorang pun peduli!"
"Aku peduli,"
"Bohong!!!" Jeritannya ditelan gemuruh. Kilat menyambar sedetik, memperlihatkan wajahnya yang kini bersimbah air mata.
"K-kau tidak peduli!! Aku menderita dan kau tidak di sana!! Aku menanggung semuanya sendirian dan kau tidak datang membantuku!!" Ia berteriak antara campuran marah dan kecewa. Menatap pria dihadapannya dengan keras.
"Aku selalu di sini. Aku selalu di mana pun kau berada. Kau terkadang melupakanku padahal kau hanya perlu memanggilku. Dan sekarang kau melakukannya. Aku di sini. Jangan khawatirkan apapun! Kita akan melewati ini bersama," pria itu berkata panjang untuk pertama kalinya. Tangannya meraih tangan lawan bicaranya yang terkepal.
Lawan bicaranya menarik napas panjang sambil menutup matanya sejenak. Selama beberapa detik, kemudian ia berkata, "aku akan pergi,"
"Jangan!!!!" Tukas pria itu setengah berteriak, menggenggam tangannya semakin erat. Ada raut kekhawatiran dan kengerian di wajahnya.
"Kalau kau pergi, aku juga akan pergi!! Jangan lakukan itu! Kita bisa melewati ini! Aku janji aku akan membantu!"
Ia menggeleng keras. Merasa muak. Semua itu hanyalah kebohongan. Janji akan berakhirnya badai, janji akan hari penuh sinar mentari, janji akan datangnya hari bahagia.... Semuanya omong kosong! Badai ini akan berlangsung selamanya dan ia tidak bisa berada di sini terus. Ia harus pergi ke suatu tempat yang lebih baik.
"Segalanya menyakitkan*," ia berkata pelan setelah merasa bisa mengendalikan perasaannya.
"Segalanya akan berlalu**," pria itu membalas lembut. Ibu jarinya mengusap-usap punggung tangannya yang masih terkepal.
"Terima kasih! Aku tetap akan pergi menuju tempat yang lebih baik. Tempat di mana aku tidak perlu merasa menderita. Orang-orang tidak akan kehilangan apapun dan aku akan bahagia," ia tersenyum lemah dan tulus, menatap pria dihadapannya penuh rasa syukur.
"Jangan...." pria itu menggeleng. "Aku akan kehilanganmu!! Jangan pergi!! Tolong bertahan sedikit lagi...."
Gemuruh terdengar lebih keras. Angin dingin berhembus lebih kencang, membawa pesan kematian yang menggantung di udara. Jendela ruangan itu menjeblak terbuka dan langsung menghantarkan dingin yang membekukan tulang. Lilin di meja reyot itu padam dan seketika menyelimutinya dalam kegelapan total.
Gelap.
Dingin.
Bahkan dalam dirinya terasa demikian. Semua harapannya hilang ditelan kabut keputus-asaan. Mimpi-mimpinya dihalangi dinding yang tak bisa ia tembus.
Ia tidak punya arah.
Ia putus asa.
Ia menyerah.
Ia harus pergi.
Sekarang.
Lilinnya tiba-tiba menyala lagi. Sangat pendek. Seperti sesuatu yang harus ia akhiri dengan segera.
Dihadapannya hanya ada udara kosong. Pria itu hilang. Ia membuatnya hilang. Ia tidak akan bertemu dengannya lagi untuk selamanya.
Semuanya hilang....
Kecuali....
Benda perak itu.
Benda kecil perak yang selalu meggoreskan tinta merah di atas kedua lengannya. Tinta merah yang kini berbekas dan berubah menjadi kehitaman.
Benda perak itu akan membantunya pergi. Ia tidak akan terus terjebak dalam badai mengerikan ini.
Benda perak itu akan menyelamatkannya.
Ia tersenyum lega.
Akhirnya.
Ia bisa pergi.
Ia tahu jalan keluarnya.
Angin berhembus lagi. Memadamkan lilin yang hampir habis.
Jantungnya berdetak sangat kencang. Ia merasa bahagia sekaligus gugup.
Ia akan pergi.
Benda perak dalam genggamannya akan menyelamatkannya.
Yang harus ia lakukan hanyalah menggores benda perak itu di atas nadinya.
Dan semuanya selesai.
×××
*A fan wrote on Weverse : Everything hurts.
**Namjoon replied : Everything goes.
:)
Pictures : Pinterest

YOU ARE READING
The Storm
القصة القصيرةWritten on December 21st, 2019. A story by Siraichi. No plagiarism!! Do not copy without my permission!!