Bagaimana pun, pekerjaan adalah tanggung jawab. Dan, yang namanya tanggung jawab harus di kerjakan dengan senang hati. Baik dalam mengerjakannya penuh resiko ataupun tidak kita tetap harus melakukannya dengan ikhlas.
Sama halnya dengan Anindira, meskipun Anindira sedikit tak suka jika harus mengobati Bunga--pasien yang notabennya adalah tunangan dari Herman--laki-laki yang sudah melukainya. Tapi, tetap saja Anindira harus mau karena itu adalah tanggung jawabnya sebagai seorang Psikiater.
Meski begitu, Anindira sempat berfikir mengapa Bunga menjadikannya sebagai Dokter pribadi, mengapa tak memilih Dokter yang lebih memiliki jam kerja lebih berpengalaman daripada Anindira? Atau tidak, memilih Dokter dari luar negeri yang lebih pro atau lebih mahir dari Anindira.
Tapi ya sudahlah, mungkin Bunga memang lebih cocok dengannya atau ingin coba-coba saja. Setidaknya Anindira harus tetap berfikir positif. Tidak seperti Evano, laki-laki itu selalu saja berfikir negatif tentang Bunga, mentang-mentang perempuan itu punya hubungan khusus dengan Herman. Lagipula, andai Bunga tau masalahnya, mungkin Bunga juga akan berpihak pada Anindira. Atau Bunga memang sudah tau?
Sudah menggunakan jas putih khas Dokter, Anindira berjalan cepat memasuki halaman rumah megah. Rumah Bunga.
Anindira langsung disambut oleh beberapa laki-laki bertubuh kekar dengan seragam yang sama dan berwarna hitam.
Dua orang yang berjaga di depan pintu utama langsung merubah gesturnya menjadi tegap saat Anindira sudah dekat dari keduanya, "sudah buat janji sebelumnya?" tanya satu orang yang lebih tinggi dari yang satunya. Jangan lupakan ekspresi tegang dari keduanya, membuat Anindira merinding sendiri.
Mengangguk sambil tersenyum lantas Anindira menjawab, "sudah."
Memang sudahkan, Anindira sudah membuat janji dengan Bunga. Hanya saja, dirinya belum mengkonfirmasi lagi jika sudah sampai di rumahnya. Tapi, ya sudahlah nanti juga pasti bertemu dengan Bunga.
"Baik, silahkan masuk." ujar yang lebih pendek kemudian langsung membukakan pintu di belakangnya. Anindira lantas berjalan masuk.
Sementara itu, sesampainya di dalam Anindira di suguhi dengan ornamen-ornamen rumah yang super mewah. Terlihat cantik dan antik.
Di setiap pintu kamar juga terdapat pengawal, bedanya setiap kamar hanya ada satu pengawal.
Anindira baru sadar, jika Bunga memang bukan orang sembarangan. Pantas saja, Herman mau dengan Bunga. Dan, benar Herman tipe laki-laki yang materialistik.
Mendekat pada pengawal yang sepertinya terlihat lebih ramah, Anindira mencoba bertanya kamar Bunga di mana. "Kamar Bunga di mana, ya? Soalnya kemarin saya langsung disuruh ke kamarnya aja." ujar Anindira sedikit takut, karena badan kekar dan ekspresi tak bersahabat dari orang di depannya.
"Di atas," jawab orang itu judes sambil menunjuk ruangan dengan pintu yang lain sendiri.
Anindira kira orang yang ditanyai barusan akan lebih ramah dari yang lainnya, ternyata perkiraannya salah. Ternyata mereka sama saja, tidak ada ramahnya sama sekali.
Setelah mendengar jawaban dari salah satu pengawal, Anindira lantas naik ke atas dengan menaikki tangga. Sesampainya di pintu yang pengawal itu maksudkan Anindira tak lantas masuk atau mengetuk daun pintu di depannya.
Obrolan seseorang dengan orang lain yang sepertinya mengobrol via telepon itu membuat Anindira diam berdiri di tempatnya sambil mendengarkan pembicaraan orang di dalam. Untung saja di dekatnya tak ada pengawal yang mungkin saja langsung menyuruhnya masuk.
"Pokoknya, gue gak akan biarin Anindira bernafas lega. Dia pikir dia siapa bisa ngejeblosin Herman ke penjara."
Ungkapan orang di dalam membuat mulut Anindira mengaga tak percaya. Anindira tau persis suara siapa yang baru saja berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Tetangga Is My HusbandII (SELESAI)
RomanceTersedia di Shopee Naisastra Media dan Ebook di Google Play Store. Stok terbatas! SEBELUM MEMBACA INI, DISARANKAN UNTUK MEMBACA 'MY TETANGGA IS MY HUSBAND' LEBIH DULU. Setelah menikah, Anindira kira semuanya akan berjalan lancar--mengingat mereka be...