Pelajaran kelas XI MIPA 1 hari ini adalah olahraga. Pelajaran yang sangat dinantikan oleh semua siswa.
Karena disamping bisa berolahraga, mereka yang malas bisa bersantai di pinggir lapangan.
Hal itu sendiri sangat berguna bagi Tiya. Sesudah bermain basket satu putaran tadi sekarang ia mendudukkan diri di bawah pohon tak jauh dari lapangan basket.
Seperti biasa, dia hanya duduk diam sambil menengadahkan kepalanya memandangi lagit yang begitu cerah.
Gissel yang baru menyelesaikan permainannya ikut mendudukkan diri di samping Tiya. Tiya sendiri tak merasa terganggu akan kehadiran orang disampingnya.
Helaan nafas keluar dari mulut Gissel yang membuat Tiya agak tersentak. Kemudian gadis berambut lurus panjang itu tersenyum tak berdosa."Gimana?"
"Hmm?" gumam Tiya tak mengerti pertanyaan Gissel.
"Itu lho. Lo udah cek lagi?" tanya Gissel sekali lagi dengan serius. Bahkan tubuhnya sudah menghadap Tiya sepenuhnya.
Kali ini Tiya yang menghela nafas. "Belum," jawabnya sekenanya membuat Gissel mengernyit.
"Belum waktunya,"
Gissel mengangguk mendengar jawaban Tiya. Ada perasaan lega yang menyelip di hatinya ketika Tiya menjawab lebih detail. Tidak seperti biasa yang ia lakukan.
Derap langkah kaki terdengar mendekat. Dan mereka berdua bisa melihat Mimi mendekat.
Dengan bibir yang mengerucut Mimi mendekat, tak lupa sambil misuh-misuh. Gissel memandanginya dengan kening berkerut.
"Tiya, Gissel, hmm... " ucap Mimi menggantung.
Berbeda dengan Gissel yang masih mengerutkan kening, Tiya melengos pelan melihat tingkah sahabatnya itu.
"Paan, Mi?"
Bukannya langsung menjawab, Mimi malah mengeluarkan suara yang hampir seperti rengekan.
"Mereka nggak mau bagi-bagi bola ke Mimi," rengek Mimi sambil mengerucutkan bibirnya."Waduh, kok bisa sih?" sahut Gissel seakan menjadi ibu gadis sma yang masih bertingkah seperti anak kecil itu.
"Lihat bola gelinding aja lo teriak," dengan tajam Tiya menyahut. Sontak saja bibir Mimi semakin maju. "Tiya mah begitu sama Mimi," rajuknya diikuti helaan jengah dari mulut Gissel.
Seorang Gissel Jeravanya sendiri bingung jika sudah ditengah-tengah Mimi dan Tiya. Apalagi saat ini Nia sedang sibuk di OSIS.
Yang membuat gadis keturunan Malaysia itu bingung karena sifat dan sikap dari seorang Kinantiya Berlian Mashenu dan Jememi Alexandra Gyna itu sangatlah bertolak belakang.
Bagaimana tidak. Seorang Mimi sifatnya sangat manja-manja imut ditambah sikap yang meledak-ledak. Sedangkan Tiya lebih banyak diam tak berkutik apapun. Namun, sekali mau ngomong, omongannga cukup tajam hingga membuat lawan bicaranya terintropeksi diri.
"Udah deh, kita balik kelas dulu aja, udah dibubarin juga sama Pak Antok," dengan sekali hentakan Gissel berdiri begitu saja lalu beranjak meninggalkan Tiya dan Mimi yang terdiam memikirkan hal yang berbeda.
***
"Buku catatannya taruh di meja saya ya,"
Seorang siswa yang berdiri di meja guru itu mengangguk mematuhi perintah sang guru. Namun baru saja kakinya melangkah, Pak Juned- guru sejarah, menghentikan langkahnya.
"Oh iya, Junan. Nanti pas istirahat kamu sekalian ngumumin di center kalau nanti kumpul pramuka ya. Sana sekalian bawa notulen acara terakhir ini sekalian aja. Kamu nanti nyusulin saya di kantor, sekalian saya minta ijin guru mapel selanjutnya,"
Junan hanya mengangguk sopan mengiyakan sambil merapikan buku-buku catatan milik teman kelasnya.Sebenarnya ketua kelas 11 IPA 4 bukanlah Junan. Namun Junan yang dimintai tolong karena Junan termasuk anak kesayangan guru sejarah itu.
"kalau begitu saya duluan," pamit Pak Juned setelah mengucapkan salam.Selesai merapikan buku-buku Junan segera beranjak mengambil notulen yang dimaksud guru seharah sekaligus pembina pramuka itu.
Mulut Junan terkatup mencegah keluarnya umpatan ketika sahabat yang menjadi teman sebangkunya menggodanya.
"Duh sibuknya kakak pramukaa," goda Berto.
Tak mau ketinggalan, Rio dan Fernan ikut-ikutan menggodanya dengan sebutan kakak pramuka.
"Diamlah para monyet afrika," dengan gaya yang dilebih-lebihkan ketiganya berusaha untuk diam. Bukan, tapi pura-pura diam.Malas untuk menghadapi ketiga sahabat nistanya, Junan segera beranjak ke ruang guru yang berada di lantai dasar sekolahnya.
Untuk ke ruang guru sendiri harus berlangganan dengan membayar selama satu semester. Nggak, maap itu beda lagi.Maksudnya untuk ke ruang guru Junan harus melewati lapangan basket dan lapangan atletik serta terdapat kantin di dekat kantin. Kenapa kantin dekat ruang guru? Katanya sih biar ketahuan anak yang bolos.
Sewaktu melewati lapangan basket, Junan bisa melihat segerombolan siswa kelas 11 yang sedang membubarkan diri dan menuju ke kantin.
"Hmm, anak IPA 1," gumamnya setelah melihat Bayu, si ketua pramuka yang merupakan anak IPA 1.Tiba-tiba saja Junan tersentak menyadari. Bentar, kalau mereka anak-anak IPA 1 berarti ada dia dong. Siswa berambut cepak itu terus menggumamkan hal tak jelas hingga tak menyadari hampir berpapasan dengan dia.
Terdengar suara riuh akan kerusuhan kelas itu. Secara spontan saja Junan menengok sumber suara.
Junan kembali tersentak. Ia merasakan sesuatu yang aneh. Tak biasanya ia melihat Tiya yang menguncir rambut sebahunya. Apalagi sekarang, ia melihat Tiya tersenyum kepada Pak Antok. Memang Tiya tersenyum, walaupun tersenyum sedikit. Namun hal itu merupakan suatu hal yang jarang dilihat Junan.
"Eh ada Babang Junan," keterkejutan Junan semakin menjadi-jadi.
Mulutnya melengos melihat orang itu. Namun tetap menjaga sikap karena ada Tiya di dekatnya. "Mau apaa?" ucap Junan dengan menaik-turunkan alisnya.
Gissel menyeringai menanggapi. "Emang uang yang dikasih Tante Linda masih kurang?" sahut Junan lagi telak.
"Kenapa seh? Sekali-kali baik hati sama sepupu sendiri," mata Junan membulat begitu saja. Kenapa sih anak ini blak-blakan banget. Junan kan malu kalau ada yang tahu dia punya sepupu sebobrok Gissel.
Dengan rasa tak ikhlas Junan mengeluarkan dua lembaran hijau dari kantongnya lalu menyerahkannya pada Gissel.
Bukannya berterimakasih, gadis berambut panjang tergerai itu mendengus sebal.
"Beneran cuma segini?" sungutnya.Pemuda berumur 17 tahun di depan Gissel memutar bola matanya bosan. Tangannya kembali terjulur berniat mengambil uangnya lagi.
"Eh, kalem brader. Aing cuma becanda aja," ujar Gissel diakhiri cengirannya.Junan kembali melengos melihat tingkah sepupunya itu. "Kalau gitu gue ke ruang guru dulu,"
"Okeh,"
Sebelum melangkah Junan sedikit melirik Tiya yang tak bergeming di samping Gissel. Seakan punya mata tak terlihat Tiya menangkap lirikan Junan.
Merasa tak enak karena tidak merespon Junan sedari tadi. Tiya sedikit mengangguk mempersilahkan Junan pergi.
Responnya sih hanya seperti itu. Tapi diam-diam Junan menahan sikap untuk terlonjak kaget.Siapa yang nggak kaget coba. Cewek yang terkenal dengan sebutan ice queen itu merespon ucapan Junan. Yang notabene tidak dekat dengan gadis itu.
Sepanjang perjalanan ke ruang guru Junan menahan senyumannya. Senyuman kemenangan.
Dirinya merasa bahwa kapan lagi sih direspon oleh seorang Kinantiya.
Tapi di lain sisi terdapat suatu hal yang tidak diketahui Junan.
Tiya sebenarnya terpaksa merespon Junan karena tahu bahwa laki-laki itu sepupu dari sahabatnya. Yang baru saja ia ketahui ketika percakapan barusan.
Dan respon anggukan tadi hanya sebatas basa-basi.Yaah bagi seorang Tiya. Karena ia merasa harus sopan kepada yang ia kenal. Karena itu, yang ia kenal pula bisa bersikap sopan kepadanya.
***
Enjoy the story??Jangan lupa pencet bintang!!!
Coment juga nggak papa :)
KAMU SEDANG MEMBACA
HERE I COME
Teen Fictionbiasanya di luar sana seorang gadis bertemu dengan laki-laki yang dingin dan tidak peka. namun, disini sebaliknya, terjadi pertemuan antara seorang laki-laki dengan seorang gadis yang dingin dan dijuluki sebagai ratu es. kepekaan yang ia miliki pun...