Takut~

20 4 0
                                    


Hari ini Bergio akan pergi ke kantor papanya. Ia sebenarnya tak ingin pergi, namun papanya mengancam akan mencelakai orang yang Bergio sayang. Perkiraannya ada dua,yang pertama ibunya dan yang ke dua Aurin. Tidak,bukan berarti Bergio cinta pada Aurin,tapi ia punya sedikit atau mungkin banyak keinginan untuk melindungi Aurin.
Aurin adalah gadis polos terceroboh dan tercerewet yang pernah ia temui setelah ibunya.

Ia menekan tombol bersimbol 48 di lift, dimana ruangan papanya berada. Ia mendengus kesal karena terus diperhatikan oleh para pegawai terutama kaum wanita. Rupanya mereka mahasiswi magang. Bergio hanya memasang tampang datar dan aura jahat lewat tatapannya yang dingin.

Setelah sampai di depan ruangan papanya,seorang yang diperkirakan sebagai sekertaris papanya menghampirinya dengan penampilan yang sopan,memegang beberapa map dan kacamata baca yang menampilkan kesan serius dan teliti. Bergio pikir papanya akan memilih sekertaris yang berpakaian minim dan tak becus bekerja. Papanya sangat bijak rupanya,dan jangan lupa papanya juga sangat licik,juga keras kepala.

"Pimpinan sudah menunggu di dalam. Segera lah masuk, ada hal penting yang harus dibicarakan. Pilih lah pilihan yang paling tepat dan berhati-hati lah dengan jebakannya." Ucap sekertaris papanya yang bernametag Lusia Rainolza.

"Terima kasih." Balas Bergio menyeringai. Papanya sepertinya punya rencana gila,dan ia akan menjadi budaknya.

Ia berjalan pelan dan membuka pintu perlahan. Papanya sedang duduk di kursi kebesarannya sambil menatap Bergio dan tersenyum tipis.

"Sepertinya hari ini kamu akan menjadi anak yang penurut." Ucap pria berusia 42 tahun itu.

~ ~ ~

"Huh.. akhirnya selesai juga. Kayaknya surat sama pisaunya bakal Aurin simpen, buat bukti kalau ada yang neror Aurin." Monolognya sambil menyimpan pisau yang sudah bersih dari darah,dan surat itu ke dalam laci lemarinya.

Sepertinya darah yang tadi bukan darah manusia atau hewa melainkan pewarna buatan,pantas saja  Aurin tidak mencium bau-bau anyir atau semacamnya, tapi tetap saja bentuknya mengerikan baginya.

Setelah membereskan semua kekacauan dengan kewalahan karena ketakutannya akan darah, akhirnya semuanya telah bersih tak terlewatkan. Aurin beranjak ke kasurnya lalu duduk di tepi kasur,gurat wajahnya menandakan ia sedang berpikir.

"Sebenernya siapa sih,yang neror Aurin? Emang Aurin salah apa coba? Semoga Gio baik-baik aja." Monolognya. Karena sekarang sudah jam enam sore, Aurin bergegas menuju dapur untuk memasak. Ruang kamar kostnya memang lumayan besar, kamar juga toilet disekat tersendiri dan begitu keluar langsung ada dapur dan meja makan mini yang terkesan minimalis namun,semua alat didalamnya disediakan oleh pihak kost jadi tidak perlu membawa barang sendiri kecuali keperluan pribadi.

Aurin meguncir rambutnya agar ia bisa leluarsa memasak. Kali ini ia ingin membuat sup daging karena cuaca yang lumayan sejuk. Setelah semua bahan sudah ia persiapkan,Aurin mulai memasak sambil bersenandung kecil.

Sekarang Aurin sedang menunggu supnya matang dengan baik, merasa bosan,Aurin mencoba menelpon Bergio. Mungkin besok Bergio mau dibawakan sarapan dari Aurin.

"Halo." Sapa Aurin

"Hm..kenapa?."

"Gio lagi di mana?"

"Baru pulang dari kantor papa. Sepuluh menit lagi gue jemput. Ada yang pengen gue omongin." Balas Bergio yang langsung memutuskan sambungan telepon sepihak.

Tut..tutt..tut..

Aurin menghela nafas berat,sepertinya akan ada berita buruk sebentar lagi. Ia menuju dapur untuk mengecek sup yang sudah matang. Ia memindahkan sup itu ke mangkuk lalu bergegas untuk mandi secepatnya.

Selesai bersiap-siap,Aurin langsung menuju meja makannya dan melahap sup daging buatannya yang sudah hangat. Baru tiga sendok makanan masuk ke mulutnya,Bergio sudah menelpon untuk cepat keluar. Akhirnya Aurin meneguk air dengan cepat dan hampir tersedak, ia menyimpan sup buatannya di lemari makan lalu langsung keluar menemui Bergio yang sedang megutak atik ponselnya.

"Gio."

"Cepetan naik." Ucap Bergio dengan nada kasar. Aurin cepat-cepat naik ke motor Bergio.

Dari raut wajah Bergio yang mungkin sedang emosi Aurin tahu pasti ia akan dihukum sebentar lagi.

Rahang Bergio mengeras, matanya memerah,menahan amarah dadanya sesak berkecamuk. Papanya benar-benar sangat nekat, ia terpaksa harus mengikuti kemauan papanya. Ini gila,tapi Bergio harus melakukannya demi Ibunya. Ia tak perduli Aurin akan tersiksa,yang terpenting Ibunya baik-baik saja. Sebenarnya dia bingung harus melakukannya atau tidak, tapi keadaannya memaksa untuk melakukannya,ia khawatir dengan Aurin tapi semua sudah diintai. Ia hanya budak.

~  ~  ~

Hai lagiiii😅
Plisss jangan bosen baca ceritaku yak! Aku bakal bikin cerita ini semenarik mungkin kok!

Dan jangan lupa kasih sedikit semangat kalian dengan vote dong hehe..

Dan kalau kalian mau kasih saran atau mungkin kritik supaya cerita ini jadi lebih baik,kalian boleh komen sebanyak-banyaknya yaa!!😁

Luv💙

THANK'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang