32 || Sesungguhnya....

666 66 20
                                    

Cahaya mengurai pelukannya pada Reza dengan air mata yang masih membasahi pipi. Ia baru akan mengusap kasar air matanya kalau Reza tidak mengusap air matanya dengan ibu jarinya.

Cahaya hanya berdua dengan Reza di kamar ruang inapnya. Sementara Anjani izin keluar bersama Liam sejak dua puluh delapan menit yang lalu untuk makan sore di kafetaria rumah sakit. Karena sejak Cahaya belum sadar, Anjani menolak untuk makan. Saat Cahaya hilang pun begitu, Anjani terus menolak makan hingga harus dipaksa lebih dulu oleh Liam dengan alasan agar bisa bertahan dan tidak sakit demi Cahaya.

Cahaya memejamkan matanya sejenak untuk lalu kembali membukanya perlahan. “Gue capek, Za,” Cahaya membuka suara. Membuat Reza terus menatapnya lekat. “Rasanya ... hidup di dunia ini terlalu berat dan menyiksa gue. Gue kesulitan bernapas di dunia gue dengan udara yang selalu kotor. Gue dipaksa jatuh ketika mulai mencoba bangkit. Selalu begitu. Kaki gue akhirnya terluka parah karena duri yang selalu ada di setiap jalan gue melangkah.”

Rasanya sesak sekali. Dada Cahaya sakit seolah tengah diremas kuat oleh tangan tak kasat mata. “Dan saat ini, rasanya gue udah nggak kuat lagi. Kaki dan tubuh gue udah nggak mampu digunain lagi. Dan gue udah nggak mampu berdiri atau bahkan berlari lagi.”

Reza menggeleng. Kedua tangannya memegang pipi Cahaya. “Nggak, Cahaya. Gue yakin lo mampu melewati semua ini.”

Cahaya tersenyum tipis, senyum yang di mata Reza terlihat begitu perih. “Waktu gue nggak sadar, gue ketemu bunda,” jeda Cahaya, “di sana, tempatnya indah. Rumah bunda bahkan kayak istana. Gue bahagia banget bisa ada di sana sama bunda.”

“Gue bahkan nggak ingat dengan sakit gue di sini. Waktu berlalu cepat dan gue berharap bisa selamanya ada di sana sama bunda.” Cahaya menerawang jauh pada mimpi yang mempertemukannya dengan Mia tadi. “Tapi mendengar dan melihat bunda memohon, gue nggak bisa nolak meski ingin saat bunda minta gue balik ke sini.”

“Percakapan terakhir gue dengan bunda, bunda bahkan minta hal yang gue nggak yakin bisa lakuin atau nggak.” Cahaya menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “bunda minta gue untuk bertahan di dunia ini. Bunda minta gue untuk nggak berusaha pergi lagi dari dunia ini.”

Deg!

Jantung Reza berdebar kian cepat karena ucapan Cahaya, karena membuatnya dilingkupi rasa takut dan cemas berlebih. Sesak yang Cahaya rasa seolah ikut dirasakannya. Ucapan terakhir Cahaya bukan seperti apa yang Reza pikirkan 'kan?

“Gue bahkan sempat ingin mengakhiri hidup gue dengan minum obat tidur. Sampai akhirnya mata gue lihat kertas teror di laci nakas kamar gue, gue pikir gue nggak bisa mati sebelum tahu siapa pelakunya,” jeda Cahaya, “Alex dan David permainkan gue karena gue sempat kira Leo yang jadi pelakunya.”

Terdiam cukup lama, Cahaya berkata, “sampai saat ini pun, keinginan gue untuk mati masih ada. Gue rasa ... mungkin aja suatu saat gue bakalan melanggar janji gue sama bunda.”

“Cahaya ....” Reza menggeleng dengan tatapan nanar. Tapi ia justru tersenyum hangat pada Cahaya dengan kedua tangan memegang bahu Cahaya. “Gue mohon ... jangan ngelakuin atau bahkan punya pikiran begitu lagi. Saat lo lelah dan ngerasa sakit, jangan biarin monster yang ada di kepala lo berhasil ngambil alih.”

“Gue yakin lo kuat untuk ngelawan dan hancurkan monster itu, Cahaya. Lo bisa andalkan gue kapanpun lo butuh, kayak yang gue bilang sebelumnya. Lo nggak sendiri, ada gue, Tante Jani, Ariesta, bahkan orang-orang yang sayang lo tulus di luar sana.” Reza mengulas senyumnya. “Kalaupun kaki dan tubuh lo sakit dan lo ngerasa udah nggak bisa bangkit lagi, lo bisa merangkak, Cahaya. Jangan nyerah.”

Detik itu juga tangis Cahaya kembali pecah. Lebih keras dibanding sebelumnya. Reza lalu membawa Cahaya kembali ke dalam dekapannya dengan menepuk-nepuk punggungnya. Dan Cahaya balas memeluk Reza lebih erat.

Imperfection : Fight to be fineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang