07 || Sampah sesungguhnya

840 46 11
                                    

“Ada yang tak bisa diperbaiki di dunia ini. Kaca yang telah pecah, itulah yang tak akan pernah bisa manusia perbaiki. Sama seperti hati, bila remuk dan hancur, apa bisa kembali utuh lagi?”

Cahaya Permata Pamungkas

°Imperfection

***

Cahaya menaruh tasnya di mejanya yang sekarang ada di barisan paling ujung, juga di paling belakang. Ia mengabaikan tatapan tak mengenakan sebagian besar teman-teman di kelasnya. Barisan Adelia, Ariesta dan juga Elisa terpaut jauh darinya. Barisan lain di paling ujung dekat pintu.

“Cahaya, lo nggak pa-pa 'kan?” Ariesta bertanya. Perempuan itu sudah duduk di bangku sampingnya yang kosong.

“Biasa aja. Lagi bagus duduk di belakang, lebih bebas.”

Ariesta tertawa. Matanya melirik pada Adelia dan Elisa yang tengah menghusir dua siswi yang duduk di depan Cahaya. Ingin numpang sebentar.

“Woi, lo! Mata lo mau gue congkel hah?! Ngeliatin Cahaya udah kayak ngeliatin alien aja.”

Cahaya seketika fokus pada Adelia memarahi siswa dan siswi yang tengah menatap Cahaya dengan pandangan remeh, bahkan jijik.

Tiba-tiba Lingga berdiri dari tempatnya. Lelaki itu menatap Adelia seakan menantang. Sesekali sudut matanya melirik pada Cahaya dengan sinis. “Kenapa? Kenyataannya emang benar 'kan? Cahaya itu anak Pebinor. Alias perebut bini orang. Penghancur rumah tangga orang lain. Nggak tau malu.”

Baru Ariesta akan membalas ucapan Lingga, tapi Cahaya sudah lebih dahulu menggebrak mejanya dengan keras sampai membuat Adelia dan Elisa berjengit kaget, juga beberapa murid lainnya. Cahaya mengepalkan tangannya kuat dengan posisi berdirinya. Ia menghampiri Lingga dengan raut dingin dan sorot tajam.

“Kenapa? Lo marah? Merasa tersinggung?” Lingga terkekeh sekilas sebelum melanjutkan, “Dari awal lo masuk gue fine aja ada lo—”

Lingga memajukan tubuhnya pada Cahaya. Berkata tepat di samping telinga cewek itu seolah berbisik. Padahal suaranya cukup keras sampai mampu didengar oleh hampir seluruh yang ada di kelas. “—Karena lo cantik. Ya walaupun masih banyak yang lebih dari lo di sekolah ini.” Cahaya makin mengepalkan tangannya dengan kuat. Rahangnya mengeras menahan amarah.

Dunia kadang memang begitu 'kan? Menyukai orang lain dari tampilan luarnya saja. Dari apa yang mereka punya. Didekati saat ada maunya, saat masih bermanfaat. Lalu, ketika orang lain sudah tidak punya apa-apa lagi yang bisa menguntungkannya, maka orang itu akan ditinggal begitu saja layaknya sampah.

Padahal kenyataannya yang menjadi sampah sesungguhnya adalah orang yang datang hanya untuk memanfaatkan. Sampah seperti itu harusnya berada di tempat sesungguhnya, yaitu tong sampah.

Orang seperti itu, telah membuka topengnya sendiri. Bahwa kehadirannya tak perlu dipikirkan lagi, bahkan ditangisi. Karena sampah memang sudah sepatutnya dibuang, bukan terus digenggam. Maka Cahaya harus senang sekarang. Sampah seperti mereka, untungnya sudah menampakkan wajah aslinya sebelum benar-benar masuk ke dalam hidupnya.

“Tapi sekarang, kenyataannya kami nggak sudi nerima lo di kelas ini karena lo itu anaknya lonte. Ya anggap aja begi—” Ucapan Lingga terputus begitu saja ketika Cahaya memberi pukulan telaknya pada wajah Lingga dengan amat sangat keras. Membuat hampir semua orang yang ada di kelas tersentak—kecuali Ariesta yang kini justru tersenyum puas.

Cahaya kehilangan kontrol dirinya. Padahal Cahaya tidak mau mencari masalah di sekolah yang baru di tempatinya selama sebulan ini. Bahkan Cahaya tak memberi kesempatan untuk Lingga membalasnya. Tangan lelaki itu sudah Cahaya pelintir ke belakang dengan posisi Lingga yang kini tengkurap di lantai, tak berkutik.

Imperfection : Fight to be fineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang