2

74 8 0
                                    

Alish tak percaya apa yang terjadi.

Tiba tiba saja ia melihat selubung biru keluar dari tangannya, menyelimuti lemari yang terangkat tepat di depan matanya sendiri.

Alish merasakan sesuatu yang aneh bergejolak dalam tubuhnya. Perasaan takut, bingung, bimbang, shock, semua campur aduk menyerbu batinnya.

"Ini nyata kan??" Batin Alish.

Alish sesegera mungkin memindahkan lemari ke sisi lain kamar. Agar ia bisa memastikan kedua orang tuanya masih hidup. Butuh tenaga ekstra untuk melakukannya, mengingat lemari itu berukuran 3 kali lipat dari badannya.

Alish benar benar memastikan lemari itu tak akan jatuh kembali. Ia segera meraih tubuh Papa dan Mama. Membelai lembut hidung mereka, memastikan mereka masih hidup.

Hangat...

Hembusan nafas kecil masih terasa, meraba halus pori pori kulit Alish. Ia tersenyum bahagia, namun tetap panik memikirkan hal apa yang harus ia lakukan. Alish teringat akan ponsel milik Papanya, segera meraih dan mengucapkan sesuatu.

"Anda benar, maaf jika Al agak kasar sebelumnya. Tapi terima kasih banyak atas bantuannya." Lirih Alish dengan senyuman yang terukir jelas di wajahnya.

"Heh... Dasar gadis keras kepala." Bisik Si Pria yang masih bisa di dengar Alish, sambil mengukir senyum sinis, khas seorang pemenang.

"Kali ini, saya terima maaf mu."

"Selanjutnya apa?."

"Ayolah Alish. Saya sedang menikmati kemenangan saat ini. Jangan mengganggu saya dengan pertanyaanmu itu."

Jujur saja, Alish sangat ingin mencakar cakar Pria Misterius itu. Namun niatnya urung, mengingat Si Pria itu telah banyak membantunya. Ia memilih tetap bungkam, sampai Si Pria itu membuka kembali pembicaraan.

•••

10 menit...

Kosong, tanpa ada yang berani membuka pembicaraan. Alish mulai gelisah, ia takut jika dibiarkan lebih lama lagi, orang tuanya takkan tertolong.

Seolah bisa membaca pikiran, Si Pria Misterius mulai ber-hmm ria membuka pembicaraan.

"Baiklah. Last step ini sangat simple."

"Simple simple apaan. Tadi juga lu bilang simple, tapi gue dibikin ngap ngapan. Huh..." Batin Alish kesal terhadap Pria itu.

Namun ia kembali mengontrol emosi, agar pikirannya tetap stabil.

"Kamu hanya perlu menjentikkan jari."

Tut.. Tut.. Tut..

Tak sempat untuk bertanya, Pria itu menutup teleponnya, meninggalkan kalimat terakhir yang menggantung di langit langit.

Hening sejenak...
Alish mencoba mencerna perkataan Pria itu.

"Cuman jentikkin jari nih?? Gak pake fokus fokus segala?? Aneh banget tu orang yak. Tadi gue di siksa, sekarang ditinggalin gitu aja. Dia pikir gue ngga capek apa." Alish mulai bicara sendiri layaknya orang gila.

Tak ingin berlama lama. Alish segera menjentikkan jarinya.

Click

Seketika ia kehilangan sebagian nyawanya. Semua bergerak mundur, pecahan genteng kembali rapi seperti semula, genangan air seolah olah disedot langit kembali ke atas.

Tubuh Alish terbawa keluar, persis saat ia memanggil kedua orang tuanya. Listrik kembali menyala. Perlahan Alish berlari mundur menuju kamar, membuka pintu dan berbaring diatas kasur.

END WORLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang