"What is it all about, Ghea?"
Ben menekuri cangkir kopinya yang masih penuh, sementara Ghea sebagai terdakwa yang duduk di sampingnya hanya diam seribu bahasa.
Setelah membeberkan fakta tentang perasaan Ghea, Lani memohon izin untuk pergi lebih dulu. Sahabat Ghea itu merasa lebih baik kalau permasalahan ini dibicarakan internal—berdua saja. Maka di sinilah Ghea dan Ben sekarang, setelah dua puluh menit dikuasai bisu.
"Say something, Ghe," desak Ben. Tanpa menoleh pada Ghea sama sekali.
"Sejak awal memang bukan begini skenarionya kan, Ben? Aku seharusnya hanya membalas semua kebaikanmu menjadi pacar pura-puramu di depan Tante Mala, sampai semuanya tiba-tiba jadi sejauh ini."
"Kamu turut punya andil sampai semuanya jadi sejauh ini, kalau kamu lupa, Ghea. You've been there." Ben memutar kepalanya ke arah Ghea. Tak lupa menyorot tajam. Tak habis pikir. "You should've rejected me from the very beginning. Kenapa baru sekarang?"
"I'm truly sorry, Ben," lirih Ghea.
"Jadi mau kamu sebenarnya apa? Bubar?"
Ghea sudah punya jawaban yang disiapkannya sejak dua minggu yang lalu, tapi entah kenapa rasanya sulit sekali mengeluarkan kalimat sekarang. Pun, leher Ghea tidak mau diajak kerja sama. Padahal Ghea bisa memberi isyarat dengan anggukan kepala. Tapi untunglah Ben membuat segalanya menjadi lebih mudah dengan lebih dulu mengambil sikap.
"Oke, your wish is granted. Kita sampai di sini aja."
**
Kalau tahu semuanya akan semudah ini, Ghea tidak akan membuang-buang waktu dengan berpikir keras untuk menghadapi Ben. Nyatanya, Ben yang sudah dewasa secara usia dan pemikiran itu sangat tenang saat menghadapi masalah ini. Seolah-olah saat Lani mengatakan bahwa Ghea mencintai pria lain sama sekali bukan masalah besar bagi Ben.
Ia, Ben memang tampak begitu kecewa. But, that's it.
Ghea jadi bertanya-tanya, apakah Ben yang ditemuinya semalam masih sama dengan Ben yang selama ini mengejarnya mati-matian?
Tidak ingin mengakui, tapi ego Ghea sedikit terusik di sini.
Ghea seharusnya sedang berseri-seri dan berbunga-bunga saat menunggu Dana yang sudah berjanji untuk menemui Ghea sore ini, tapi perasaan Ghea justru hambar. Aneh.
Bukankah ini yang Ghea inginkan? Mengakhiri hubungannya dengan Ben secara baik-baik, dan memulai hubungan baru dengan Dana? Kenapa Ghea justru merasa ada yang salah dengan semua ini?
"Hai," sebuah suara familiar memecahkan lamunan Ghea. Dana. Dia sudah berdiri di depan Ghea yang duduk melamun di teras, masih dengan pakaian formal seperti yang biasa dia kenakan ke kampus. Sepertinya pria itu langsung datang ke kosan Ghea setelah menyelesaikan sidang yang dibicarakannya tempo hari.
Ghea mengulas senyum formal sebagai sambutan. "Baru dari kampus?"
Dana menjawab dengan anggukan kepala, "Yah, as you can see. Belum balik ke rumah sama sekali. Langsung ke sini."
"Pantes kusut banget," ledek Ghea.
"Pakaiannya? Apa tampangnya?"
"Dua-duanya."
Tawa ringan Dana mengudara, tapi tidak sepenuhnya terdengar seperti orang yang sedang berbahagia. Sorot matanya sarat kesedihan. "Yah," Dana mengembus napas berat, "I have issues, makanya kita perlu bicara secepatnya. Dan kurasa, di tempat yang lebih layak."
Tempat yang lebih layak yang dimaksud Dana adalah sebuah ruang tertutup di sebuah restoran Jepang, tidak jauh dari rumah kos Ghea. Dengan mengendarai motor Dana sejauh dua kilometer, Ghea dan Dana akhirnya tiba dan duduk saling berseberangan meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
As If I Love You [TERBIT]
Romance[21+] Age-gap love story Bagi Ben, melindungi, menyayangi dan mencintai Ghea serupa bernapas, dia tak akan pernah bisa berhenti. Namun begitu, Ben tidak pernah bisa menjanjikan pernikahan. Bagi Ghea, hubungannya dengan Ben tak ubahnya sebuah guyona...