12. Tak Pernah Ada Waktu Yang Tepat Untuk Berpisah

10.3K 1K 36
                                    

Ghea memarkirkan mobil Ben di parkiran rumah kos-nya dan menoleh ke arah bangku penumpang. Di sana, tampak Ben sedang melipat tangan di depan dada sambil memejamkan matanya. Terlelap dalam tidur.

Tadi, sepulang dari rumah sakit, Ghea menawarkan diri untuk menyetir karena melihat Ben yang benar-benar kelelahan. Menurut cerita singkat Ben, hari ini dia harus melakukan dua operasi berdurasi panjang. Tenaganya benar-benar habis terkuras. Maka sisi manusiawi Ghea meronta untuk memberikan sedikit bantuan untuk orang yang telah banyak berjasa bagi hidupnya itu.

Melihat cara tidur Ben yang tenang, dengan dengkur halus terdengar samar, ada perasaan damai merasuk ke dalam kalbu Ghea. Ghea selalu suka melihat Ben tertidur pulas. Gurat-gurat wajah pria itu tampak begitu tenang tanpa ada aura kekhawatiran seperti yang kerap Ghea hadiahkan untuknya. Mendadak Ghea merasa bersalah karena sering membuat wajah tenang itu kehilangan ketenangannya setiap kali Ghea meminta putus. Tapi Ghea bisa apa? Bukankah putus adalah solusi terbaik untuk hubungan yang tidak sehat ini? Walau mungkin bukan hari ini, Ghea yakin dia dan Ben akan segera mengakhiri semua ini. Harus.

"Ben ... udah sampai." Ghea mengguyur pelan bahu Ben.

Ben menggeliat kecil, lantas membuka mata separuh. Senyumnya mengembang saat mengangkat tangannya untuk menyentuh pipi Ghea. Ben sepertinya sedang memastikan kalau dia tidak sedang bermimpi.

"Udah jam sepuluh malam, Ben. Kamu keliatan kelelahan banget. Apa nggak lebih baik kamu langsung pulang aja? Istirahat di rumah? Lagian, kondisi kamu keliatannya nggak terlalu fit untuk menyetir malam-malam begini. Bahaya," sewot Ghea.

Ben menegakkan punggungnya dan membuka matanya lebih lebar. "Perhatian banget sih, pacar aku."

Ghea meninju pelan lengan Ben. Ghea memang paling tidak bisa merespons gombalan Ben.

"Aku kan harus minum teh jahe buatan kamu dulu, Sayang. Nanti aku bisa pulang naik grab. Mobilku tinggal di sini aja." Ben menawarkan solusi.

Tanpa ingin disanggah lagi, Ben turun lebih dulu dari mobil.

Ghea mengekor setelahnya.

Di dalam kamar, Ben langsung merebahkan dirinya di ranjang Ghea. Seperti biasa Ben selalu merasa berada pada tempatnya di ruangan mungil ini. Menghirup aroma bantal dan sprei Ghea saja rasanya seperti menghirup oksigen, Ben tidak bisa berhenti. Padahal Ghea sering bilang kalau semua benda di atas ranjangnya sudah ditandai dengan iler, tapi Ben malah merasa di situlah letak keistimewaannya. Aneh!

Ghea menghampiri Ben setelah selesai membuat teh jahe yang dijanjikannya. Berhubung teh yang disuguhkan Ghea masih sangat panas, Ben hanya menyeruput sedikit sebelum Ghea meletakkan kembali di meja belajar.

Setelah memastikan cangkir sudah terletak aman di sana, Ben menarik pinggang Ghea hingga membuat gadis mungil itu terjatuh di pelukannya. Ben mengelus rambut Ghea dan mengendus-endusnya, membuat Ghea menggeliat geli.

"Udah sih, Ben," perintah Ghea setelah membiarkan rambutnya berantakan akibat ulah Ben.

Berhenti memainkan rambut Ghea, Ben mengetatkan pelukannya, dan menyandarkan kepalanya di ceruk leher gadis itu. "Aku pengin setiap hari kayak gini. Setiap kali pulang ada kamu, setiap kali membuka mata ada kamu," bisik Ben.

Deg!

Jantung Ghea langsung bermasalah mendengar pengakuan Ben. Bukankah pernyataan itu mirip dengan ajakan untuk menjadi suami-istri? Kenapa Ben lama-kelamaan semakin menakutkan? Ke mana semua pendirian Ben untuk tidak membina rumah tangga? Kalau sudah begini, apa Ben benar-benar seserius itu dengan Ghea?

Ghea menoleh pada wajah Ben yang tengah menengadah menatapnya. Pandangan mereka bertemu di udara. Menguarkan partikel-partikel tak kasat mata yang membuat perut Ghea terasa melilit. Binar penuh cinta itu tak tersangkalkan.

As If I Love You [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang