Part 40

12.3K 603 45
                                    

Matahari mulai mengusir dinginnya malam, mengikis sedikit demi sedikit petang. Dan akibatnya langit yang kemarin gelap menjadi lebih terang sekarang.

Lelaki itu menyandarkan punggungnya pada dinding dengan nafas tak beraturan, salah satu tangannya menekan kepalanya kuat. Berusaha menghilangkan pening yang seolah tiada habisnya.

Fidhel meremat perutnya saat mual itu semakin kentara, berusaha terlihat normal sekalipun tubuhnya sudah tersiram peluh. Bibirnya pun tergigit kuat menahan erangan.

Punggung Fidhel merosot jatuh, kedua kakinya tertekuk didepan dada, kepalanya yang pusing ia sembunyikan diantara dua lututnya.

Ah, sakit apalagi ini?

Fidhel memejam, wajahnya tampak semakin pucat. Sinarnya seolah menghilang, senyumnya tak lagi terbit dari bibir tipisnya. Padahal, dari sekian banyak keindahan pada Fidhel, senyumnya lah yang paling disukai banyak orang.

"Arghh." Erangan pelan berhasil keluar dari bibir tipis Fidhel. Peluh sudah bercucuran tanpa henti, tak peduli berapa kali dia menggigit bibir bawahnya untuk mengusir rasa sakit itu, namun faktanya rasa sakit itu terlalu kuat untuk dilawan. Rasa sakitnya menjalar bagai benalu, terus ada dan semakin melemahkan.

"Ya Tuhan, jangan ambil nyawaku dulu sebelum mata ini menjadi milik bang Reno." Batin Fidhel miris.

Tanpa Fidhel sadari sudut bibirnya terangkat naik, membentuk sebuah lengkungan senyuman. Bukan! Itu bukan senyum bahagia, setetes air bening mulai keluar dari netranya. Fidhel sama sekali tak ada niat untuk menghentikannya, toh buat apa dihentikan jika hanya akan mengendap didada dan semakin hari akan semakin menyakitkan.

Fidhel terus saja memejam sambil memeluk kedua lututnya. Berharap setelah ini, ia akan tertidur kemudian bangun dan semuanya kembali normal.

Namun harapan Fidhel pupus, rasa sakit itu semakin menggila, membuat tangan Fidhel terangkat lalu memukuli kepala miliknya.

"Sakit, sakit, sakit!" Ucap Fidhel sambil terus memukuli kepalanya.

Sayangnya, tak ada satupun yang tahu bagaimana Fidhel mati-matian berjuang untuk tetap hidup disetiap tarikan nafasnya yang begitu mencekik.

Beberapa menit Fidhel masih bertahan diposisinya, hingga tiba-tiba suara dokter Rian mengisi pendengarannya.

"Fidhel? Kamu kenapa disini?"

Suara itu familiar ditelinga Fidhel, dengan susah payah dia berusaha mendongakan kepalanya untuk memastikan siapa yang mengajaknya bicara.

"Kepala saya agak sedikit pusing dok." Kata Fidhel dengan mata yang menatap wajah Dokter Rian yang sedang memperhatikannya dengan raut khawatir.

Dokter Rian tidak menghiraukan jawaban Fidhel, justru tangannya terjulur memegang pundak Fidhel lalu membantunya berdiri.

"Makasih dok." Balas Fidhel pelan, lalu tangannya bergerak mengusap air matanya yang tadi sempat keluar.

"Ayo saya antar keruangan kamu, lebih baik kamu istirahat dulu daripada berkeliaran sampai sini."

"Mmm.. dok. Saya mau bicara sama dokter bentar." Kata Fidhel mengalihkan pembicaraan.

Dokter Rian mengerutkan dahinya, bingung dengan apa yang akan Fidhel bicarakan kepadanya.

"Tapi jangan disini dok, kalo boleh.. Di ruangan dokter aja."

Dokter Rian mengangguk, lalu melangkahkan kakinya disusul Fidhel dibelakang. Dengan tenaga yang masih sedikit tersisa, Perlahan Fidhel menyeret kakinya yang lemas menuju ruangan Dokter Rian.

FIDHEL√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang