Part 15

8.5K 550 9
                                    

Dingin

Itulah yang di rasakan Fidhel saat bulir-bulir air hujan turun dari langit menumpahkan tangisnya. Tumpah ruah mengguyur bumi dalam riuhnya malam. Hawa dinginnya seakan memeluk Fidhel sangat erat meskipun saat ini Fidhel sedang bergulung dengan selimut tebal.

Sakit

Hal kedua yang dirasakan Fidhel atas bentuk protes dari tubuhnya yang memang telah rusak, dan seharusnya memang siap untuk di kuburkan.

Fidhel sangat lelah. Lelah oleh rasa sakit yang mengikis pertahanan tubuhnya dari detik ke detik. Pucat pasi menjadi satu satunya warna yang menghiasi wajah Fidhel, seolah tidak ada darah sedikit pun yang mengalir di tubuh Fidhel. Fidhel hanya mampu merintih dan mengerang merasakan sakit yang mendera tubuhnya di hampir setiap harinya.

Reno sudah pulang dari rumah sakit, tubuhnya sudah pulih betul karena dokter merawatnya kemarin. sedangkan Fidhel saat ini berada di kamarnya sendirian, kamar Fidhel tampak gelap, hanya ada cahaya bulan yang masuk melewati jendela Fidhel yang sedikit terbuka.

Fidhel masih ingat betul dengan kata-kata yang di ucapkan dokter Rian. Dadanya terasa sesak jika mengingat kalimat-kalimat yang keluar dari mulut dokter Rian kemarin.

"Lebih baik kamu menjalani Kemoterapi atau Radioterapi, namun mengingat sel kanker yang kamu derita tumbuh di batang otak, hal itu akan mempersulit jalannya pembedahan. Jika terjadi sedikit saja kesalahan, batang otak akan terjadi kecacatan dan parahnya kamu bisa mengalami lumpuh total."

Entah untuk yang keberapa kalinya hembusan nafas kasar keluar dari lelaki itu. Mengapa Tuhan setega itu, membiarkan penyakit mematikan itu bersarang di tubuhnya saat ini. Fidhel memejamkan matanya sebentar, dia sedang merenungkan takdirnya yang tak henti-hentinya melukai relung hatinya.

Harapannya benar-benar pupus ketika dokter Rian menyatakan penyakitnya saat ini sudah sangatlah parah. Mau tak mau Fidhel harus mengakui kalo penyakit mematikan itu sudah menjadi bagian dari hidupnya. Kini Fidhel benar-benar menjadi seorang penyakitan.

Jemari kecilnya saling meremat dengan sangat kuat. Fidhel tidak bermaksut untuk menyerah melawan penyakitnya, hanya saja Fidhel takut jika setelah dia berjuang habis-habisan, membiarkan tubuhnya tersakiti oleh obat-obatan, dan setelah dia mengorbankan banyak hal, pada akhirnya dia tidak bisa sembuh seperti apa yang dokter Rian harapkan. Fidhel takut jika umurnya tidak panjang, lebih dari itu sejujurnya Fidhel hanya terlalu takut menghadapi kematian.

Fidhel tidak pernah menyangka jika hidupnya akan di putar pada titik dimana ia berada sekarang. Awalnya dia baik-baik saja, bahkan saat dokter Rian menyampaikan vonisnya. Tapi setelah Fidhel pikir-pikir, tubuhnya saat ini memang benar-benar sudah sangat lemah. Penyakit mengerikan itu sudah merenggut semua kebahagiaan Fidhel selama ini.

Cahaya mata Fidhel meremang, kamarnya sudah terlihat sangat gelap, yang lain sudah terlelap. Tapi tidak dengan Fidhel, dia sedang terjaga, entah masih memikirkan apa. Padahal dingin sedari tadi menggodanya, kemudian seperti ada bisikkan entah dari mana.

Tidur, istirahatlah! Besok di pikirkan kembali. Kau sudah terlalu lelah hari ini.

***

Mentari pagi menerobos di balik gorden yang sedikit tersingkap. Netra yang baru saja terbuka itu kembali tertutup kala sinar matahari menyilaukan matanya. Setelah cukup beradaptasi, tubuh yang masih lemas itu dipaksanya bangun dari tidurnya.

Fidhel baru saja bangun tidur, dia mengerjap menetralkan penglihatannya. Dia melihat ke jam dinding yang sudah menunjukan pukul 06.00 pagi. Padahal mata dan tubuhnya masih ingin meringkuk diatas kasur. Tapi apa daya, statusnya sebagai seorang siswa tidak mengijinkannya untuk menyamankan tubuhnya lebih lama.

Dengan malas Fidhel melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, mempersiapkan dirinya untuk segera berangkat sekolah.

Setelah dirasa sudah rapi, Fidhel turun ke lantai bawah untuk segera sarapan pagi.
Di ruang makan sudah ada kedua kakaknya dan juga ayahnya.

"Pagi dek." Sapa Bagas kepada Fidhel yang sedang berjalan menuju meja makan bersiap untuk sarapan.

"pagi juga" jawab Fidhel singkat

Sedangkan Lukman hanya fokus dengan makanannya tanpa menoleh sedikit pun kearah Fidhel. Reno sudah selesai sarapan dia segera beranjak dari kursinya untuk segera berangkat sekolah.

"Gue tungguin di teras depan ya del." kata Reno sambil menyampirkan tas ke punggungnya.

Fidhel hanya mengiyakan pernyataan kakaknya dengan anggukan sambil masih asik mengunyah makanannya.

Reno berjalan mendekati ayahnya berniat untuk berpamitan.

"Pah Reno berangkat dulu." Reno menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan ayahnya.

"Iya, belajar yang pinter." Lukman segera menerima uluran tangan Reno setelah itu Reno langsung mencium punggung tangan ayahnya. Lukman sudah tidak marah dengan Reno , karena semalam Lukman sangat khawatir ketika melihat Reno pulang dari alun-alun dengan keadaan babak belur. Dia juga tidak mengerti kenapa Reno bisa babak belur seperti itu.

Reno gantian mendekati Bagas untuk berpamitan pula.

"Gue berangkat dulu bang." Kata Reno sambil mencium punggung tangan kakaknya itu.

"Jangan berantem sama Elang lagi, awas aja kalo ntar pulang sekolah udah babak belur kayak semalem."

"Ck, iya bang kemaren gue kan gak sengaja."

Semalam Fidhel sudah bercerita kepada Bagas pasal kakaknya yang berantem bersama Elang di alun-alun. Bagas langsung saja memarahi Reno karena sudah membuat masalah dan berakhir dengan muka Reno yang terdapati lebam dimana-mana.

Sebenarnya Reno merasa bersalah dengan Elang. Gara-gara dia Cessa pergi meninggalkan semua orang untuk waktu yang sangat panjang, bahkan Cessa mungkin tidak akan pernah kembali lagi. Akhirnya Reno pasrah ketika Elang terus saja memukulnya, Reno tidak melawan karena dia pantas mendapatkannya.

Reno sudah berjalan keluar rumah, sedangkan Fidhel sudah beranjak dari duduknya untuk berpamitan dengan kakak dan ayahnya.

"Pah Fidhel berangkat dulu." Kata Fidhel pelan karena takut ayahnya tidak membalasnya dan malah mengecewakannya.

"Bagas, papah berangkat dulu ya." Lukman tidak menghiraukan Fidhel yang sudah mengulurkan tangannya. Dia malah berbicara kepada Bagas dan bersiap berangkat kerja.

"Tapi, Fidhel pah... " kata Bagas yang langsung di potong oleh ayahnya.

"Udah kamu jangan terlalu bekerja sampai larut malam. Kalo emang udah capek langsung istirahat." Lukman mengelus surai Bagas lembut, setelah itu dia berjalan keluar rumah meninggalkan Fidhel dengan kepala yang sudah menunduk.

"Maafin papah dek." Ujar Bagas lembut.

"Papah nggak salah bang, emang udah sewajarnya papah mengabaikan Fidhel."

"Jangan ngomong kek gitu. Yaudah kamu berangkat sana, Reno udah nungguin diluar dari tadi." ucap bagas sambil mengelus surai Fidhel sayang.

Fidhel mencium punggung tangan kakaknya, setelah itu dia langsung beranjak keluar rumah untuk segera pergi ke sekolah. Dia tidak sedih melihat ayahnya mengabaikannya, bagi Fidhel perlakuan ayahnya yang seperti tadi sudah menjadi makanannya sehari-hari. Fidhel hanya harus menguatkan hatinya agar tidak terlalu rapuh jika menghadapi sikap ayahnya.









Tbc.

FIDHEL√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang