Kepingan 3 - Kerjasama

101 4 0
                                    

Aku mengenal Rama sejak tinggal di apartemen ini. Dulu, aku sering bersepeda untuk mengenal daerah sekitar. Aku melihatnya sekilas saat dia sedang memperbaiki sesuatu di depan rumahnya. Aku hanya menyapa dan dia membalas. Esoknya aku main ke rumahnya sekaligus membawa hadiah perkenalan dari tetangga baru (maksudnya keluargaku sendiri). Biasalah, tanda keakraban antar penghuni baru, yang sayangnya sekarang jarang dilakukan. Paling jauh ya kalau ada kelebihan masakan atau hasil panen.

Cara lain yang cukup ampuh yaitu melalui berbagai acara tetangga seperti pertemuan RT/RW atau arisan ibu-ibu macam PKK atau Posyandu. Tapi itu semua akan percuma kalau antar individu malah saling antisosial atau keasyikan bermain gadget, malah mengurusi 'dunia'-nya sendiri yang semu dan hanya bersifat sementara. Untunglah kedua orangtuaku mengajarkan kepadaku untuk tidak sibuk dengan gawai milik sendiri. Akibatnya aku memiliki keasyikan tersendiri, kalau tidak bermain gadget ya berbicara dengan saudara sepupu. Setelah semakin dewasa aku punya banyak tugas tersendiri.

Kembali ke Rama. Rumahnya cukup luas mengingat bahwa dia tinggal di salah satu daerah elit Jakarta. Pagar tinggi itu terbuka secara otomatis berkat bantuan sensor cahaya yang ada di tanah. Perlu waktu lima menit untuk berjalan menuju pintu dengan melewati halaman berumput yang luas. Selain hamparan rumput juga banyak pohon yang tumbuh di sisi kanan dan kiri rumah. Dari situlah aku tahu kalo dia adalah hacker. Akhirnya aku sampai di depan pintu rumahnya. Aku hanya perlu menekan bel 2 kali dengan jeda 15 detik. Sambil menunggu pintu terbuka aku memutuskan untuk memandangi lingkungan rumah ini.

"Kenapa kamu dateng ke sini?" Tanyanya.

"Ada yang harus kubicarakan dengan kamu."

"Kamu udah liat beritanya?"

"Ya iyalah.... Semalem beritanya ada di mana-mana. Masa aku gak liat."

"Heh.... Beritanya udah masuk ke TV?"

"Yaps."

"Begitu ya, rupanya?" Katanya mempersilakan aku agar duduk di kursi yang disediakan.

"Yaps."

"Kurasa, kita harus melakukannya sekarang."

"Apa?"

"Revolusi Pendidikan." Ujarnya dengan tenang.

"Jangan sekarang Rama. Situasi masih belum kondusif."

"La terus mau kapan? Tahun depan? Kecuali kalo kamu mau semuanya berubah sejak saat ini."

"Aku punya saran. Lakukan aksi yang bener-bener buat pemerintah sadar kalo mereka itu salah. Gak perlu kekerasan apalagi pertumpahan darah. Cukup dengan satu ketukan jari di keyboard, dunia, khususnya Indonesia, akan berubah."

"Iya. Makanya itu aku mau peringatin mereka biar gak semena-mena dalam membuat peraturan."

"Tapi kan gak perlu sekeras itu."

"Lebih dari itu. Sebenarnya, aku butuh bantuan beberapa orang dengan kemampuan beragam. Kamu mau gabung ama aku?"

"Beri aku waktu sejenak. Aku perlu memikirkannya dulu."

"Silakan main lagi kalo kamu udah berubah pikiran."

***

Apartemen ini terdiri dari 2 gedung tinggi. Masing-masing gedung memiliki jumlah lantai yang berbeda. Untuk mencapai lantai 8, bisa pake lift atau tangga. Di dalam lift ramai karena ini jam pulang kerja. Aku terpaksa berdesak-desakan dengan orang lain. Di lantai 8, hanya 3 orang yang keluar termasuk aku.

Setiap lantai terdiri dari 10 ruangan. Aku melangkah menuju ruangan 8-5. Oya, untuk membuka pintu diperlukan kunci-kartu magnetik. Cukup masukkan kartunya, pintu akan membuka secara otomatis. Dalam kondisi darurat pintu juga bisa dibuka dengan master key. Mau secanggih apapun teknologinya, semua itu tidak akan berguna kalau gak ada listriknya.

"Assalamu'alaikum...." Ujarku sambil melepas sepatu begitu masuk ruangan.

"Wa'alaikumussalam.... Kenapa baru pulang, To?" Tanya Ibuku yang sedang memasak.

"Oh, itu. Tadi Rito ke rumah temen dulu. Kan Rito udah ngasih tau di WA. Masa Ibu gak liat?"

"Maaf, tadi Ibu sama sekali belum sempat membuka HP. Udah, sana mandi dulu! Bau banget soalnya. Ibu bisa sesak napas nih."

"Iya deh...."

Setelah itu aku segera masuk ke kamar untuk melepas baju dan menaruh tas. Lampu menyala secara otomatis dan aku membuka lemari pakaian. Setelah semuanya siap aku melepas pakaian luar dan mengambil handuk. Untungnya, ada kamar mandi di dalam kamar aku, jadi praktis.

Aku mandi selama 15 menit. Pakaian kotor aku lempar begitu saja ke lantai. Aku segera mengeluarkan kotak bekal dan buku pelajaran. Kunyalakan HP-ku, dan aku mengetuk ikon "Gallery". Ternyata, mata pelajaran untuk besok adalah olahraga, agama, seni musik, dan bahasa Inggris.

Ada alasan dibalik setiap tindakan. Terutama untuk masalah buku paket versus LKS (Lembar Kerja Siswa). Sekolah kami memutuskan untuk menggunakan keduanya. Para guru mewajibkan kami untuk membaca buku paket di rumah. LKS digunakan untuk menguji sejauh mana kemampuan siswa dalam memahami pelajaran. Sehingga siswa tidak akan terbebani oleh buku paket yang berat dan tebal itu. Setelah itu, aku bermain HP sambil menunggu adzan Maghrib. Biasalah, sifat anak muda, ingin untuk terus berhubungan dengan media sosial. Jadi, aku hanya bermain WhatsApp dan Instagram.

Revolusi PendidikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang