Kepingan 7 - Kehancuran Sistem

67 4 1
                                    

Awalnya, kami sekeluarga sedang makan sambil menyaksikan siaran berita di televisi. Ketika semua makanan di atas meja hampir habis, tiba-tiba acara berhenti dan digantikan dengan headline news. Pembawa berita keliatannya seperti sedang gugup, dan suaranya kalah dengan kebisingan di latar belakang. Kami sekeluarga segera menyimak berita tersebut.

"Pemirsa, ini pertama kalinya Kemendikbud mendapatkan serangan siber. Tadi sore, saat seluruh anggota sedang rapat bulanan, staf TI memberitahu bahwa komputer dan data mereka telah diretas sehingga menyebabkan seluruh aktivitas Kemendikbud menjadi lumpuh. Apa pendapat Bapak mengenai ini?" Tanya si pembawa acara.

"Saya tidak bisa menyimpulkan untuk saat ini. Menurut informasi yang kami dapat, serangan itu jelas dilakukan oleh seorang hacker. Saya rasa ini merupakan keisengan atau ancaman dari pelaku." Jawab seseorang yang posisinya seperti juru bicara.

"Apa hal tersebut ada kaitannya dengan kebijakan yang baru diterapkan oleh Kemendikbud?" Tanya si wartawan.

"Belum tahu. Kami masih menunggu informasi dari ahlinya."

Tiba-tiba di latar belakang ada seseorang berkacamata yang membisikkan sesuatu kepada jubir tersebut. Beliau hanya mengangguk dan mendengarkan.

"Pemirsa, kami baru saja mendapat laporan jika Kemendikbud mendapatkan sebuah 'pesan'. Mari kita simak." Demikian kata-kata dari wartawan tersebut. Layar televisi berubah dan digantikan dengan sebuah voice recorder message yang dilengkapi dengan indikator tinggi-rendahnya suara. Namun, suara anorganik tersebut seperti mengalami kerusakan secara statik.

"Selamat pagi, para anggota kementerian. Sudah saatnya Indonesia berubah. Kalian pasti sudah mengetahui jika Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 menurut PISA. Itu baru di masalah literasi atau budaya membaca. Angka yang lebih memprihatinkan lagi ada dalam bidang matematika, bahasa, dan logika. Ingat kata kuncinya, pendidikan. Indikator itu lah yang menentukan apakah bangsa ini tergolong sebagai negara maju atau berkembang. Dari dulu hingga saat ini, masalah yang dihadapi Indonesia itu-itu saja. Taufik Ismail saja malu, apalagi kita.

"Kembali ke bahasan utama, pendidikan. Secara kurikulum dan cara mengajar, output yang dihasilkan dari sekolah-sekolah di Indonesia berbeda dengan sekolah-sekolah di luar negeri sana. Finlandia sebagai contoh. Tidak ada tugas mau pun ulangan, jam sekolah singkat, mampu menjadikan Finlandia sebagai negara maju. Indonesia? Sekolah lama, banyak pelajaran, PR bertumpuk, masih saja betah sebagai negara berkembang.

"Pemerintah sudah berusaha dengan cara mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru guna mengatasi semua masalah itu. Tapi ingat, sistem sentralisasi tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Tak lain tak bukan adalah karena perbedaan. Suku, agama, ras, golongan, budaya, apa lagi yang menjadi perbedaan bagi seluruh masyarakat di Indonesia?

"Aku hanya mengingatkan. Indonesia harus segera berubah, tentunya ke arah yang lebih baik. Terutama dalam bidang pendidikan. Seluruh sekolah, tidak, maksudku pelajar, harus ada sebagai generasi yang unggul dan berkarakter. Bukankah itu motto kalian di berbagai sekolah yang berbeda? Singkatnya, aku memberi kalian ultimatum. Jika dalam 6 bulan Indonesia tidak berubah dalam bidang pendidikan, maka aku akan menghancurkan negara ini dan memperbaikinya sendiri."

Layar televisi berganti seperti semula, sepertinya pesan suara tersebut sudah selesai. Baik pembawa acara, juru bicara, maupun seluruh orang yang mendengarkan pesan suara tersebut, semuanya terpaku diam. Entah bingung harus berkomentar apa. Lebih banyak lagi yang bergumam heran, kenapa teror tersebut harus terjadi di Indonesia?

Revolusi PendidikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang