Kepingan 9 - Mojang Priangan

66 5 0
                                    

Nama perempuan itu Maharani Dyah Widhitama. Tak nampak dari namanya bahwa ia adalah keturunan bangsawan Sunda, mojang Priangan asli. Hanya saja, sebagai salah satu keturunan dari sekian golongan bangsawan yang menolak masuk agama Islam, maka sebagai penguat unsur bahwa ia menganut agama Hindu, diberi nama Widhitama. Dia lahir di Priangan. Kota yang terkenal karena pada tempo doeloe digunakan Belanda sebagai lahan pertanian kopi.

Sebagai akibat dari kebijakan kerajaan Belanda yang mengharuskan residen di Jawa, Jan Pieterzoon Coen, mempertahankan wilayah Jawa dari serangan Inggris, Coen segera memerintahkan berbagai kerajaan atau pemerintahan setempat untuk memberikan tenaga kerja guna membangun jalan sepanjang 1000 kilometer. Mulai dari Anyer hingga Panarukan. Jalan tersebut dulu dinamai De Grote Postweg, Jalan Raya Pos. Sekarang jalan tersebut lebih populer dengan sebutan Pantura, Pantai Utara Jawa.

Kebijakan tersebut menguras banyak dana dan membuat Coen berubah menjadi "Marsekal Tangan Besi". Demi memenuhi kas kerajaan Belanda, beliau membuat berbagai kebijakan yang membebani pribumi. Mulai dari sistem tanam paksa, Preanger stelsel, bahkan penarikan pajak tanah. Tetapi, kebijakan tersebut ditentang oleh golongan revolusioner sehingga melahirkan politik etis atau lebih dikenal dengan Trias Van Deventer.

Nah, wilayah Priangan yang indah itu, dulunya dipaksa oleh Belanda untuk ditanami kopi. Pada masa itu, kopi menjadi komoditas perdagangan yang penting di pasar Eropa dan mendatangkan banyak pundi-pundi uang bagi Belanda, selain rempah-rempah seperti cengkih, pala, lada, dan cendana. Bahkan Indonesia pernah menjadi wilayah perdagangan budak yang populer. Untungnya praktik tersebut ditentang oleh banyak pihak, sehingga menyebabkan perdagangan budak lenyap.

Pagi ini aku bertemu dengannya untuk memberikan pesan yang diamanatkan Bu Lila kepadanya karena dua hari sebelumnya dia tidak masuk sekolah. Demam dan flu katanya.

"Dyah, ke sini bentar." Aku memanggilnya.

"Ada apa?" Tanyanya.

"Kemaren kan, kamu gak masuk tuh. Lama lo, sampe dua hari. Terus, Bu Lila ngasih tugas ke kamu. Katanya, kamu harus buat cerpen dengan tema 'Indonesiaku'. Dikumpulin pas pertemuan mendatang." Kataku menjelaskan.

"Pertemuan mendatang? Oh, berarti hari Selasa ya?"

"Ya, kamu masih punya banyak kesempatan karena kita semua bakal libur di akhir pekan. Ya kan?"

"Oke. Makasih Rito."

"Sama-sama."

Selesai berbicara dengan Dyah, aku segera kembali ke kursiku. Aku ingin melanjutkan pembicaraan dengan Vania. Tapi karena aku sebangku dengan Ran, kadang-kadang dia juga ikut mengobrol. Sebagai satu kelompok belajar, kami harus segera menemukan buku latihan soal dari tahun lalu. Rencanaku, kalau tidak bisa membelinya di toko buku biasa seperti Gramedia atau Gunung Agung, maka kita harus mencarinya di pasar loak. Teman sebangku Vania, namanya Laila. Pagi ini dia belum datang, mungkin masih terjebak kemacetan di daerah sekitaran Pasar Tanah Abang. Aku melirik jam, masih jam 6.45 ternyata. Pantas saja bel masuk belum berbunyi, pikirku

"Eh, ini kan udah mendekati ujian akhir semester. Mau nyari buku soal di mana nih?" Ran bertanya kepada kami semua.

"Gimana kalo minjem atau minta dari kakak kelas? Vania bertanya."

"Ya bisa sih. Itu kalo kakak kelasnya mau. Kalo gak mau gimana coba?" Aku menimpali dengan nada pesimis.

"Iya, aku juga meragukan itu. Ada saran lain?" Ran menanggapi usulan tersebut.

"Bentar, tuh Laila udah dateng. Eh, Laila, cepetan dong jalannya, jangan kayak siput, lambat." Vania segera melambaikan tangan ke arah pintu.

"Iya iya, sebentar dong. Kan aku barusan dateng. Kalian lagi bicarain apa sih?" Setelah meletakkan tasnya Laila segera bertanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Revolusi PendidikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang