1

7K 523 16
                                    

Ponselku yang masih terus berdering kubiarkan tergeletak begitu saja di atas nakas. Aku jelas tau siapa pengganggunya dan terlalu malas untuk menanggapinya. Sebenarnya, hari ini kesehatanku jauh lebih baik dari dua hari yang lalu. Bahkan sekarang rasanya terlalu sehat untuk sakit—sakit hati pengecualian. Tapi tetap saja tidak ada niatan untuk menghadiri kelas Ms. Anko siang ini. Biasanya tidak kubiarkan diriku menolerir sikap tidak bertanggung jawab, tapi ini keadaan luar biasa. Menambah satu hari bolos dengan bersembunyi dibalik kata demam tentu bukan masalah besar.  Seperti kataku, aku memang telah pulih, secara fisik. Untuk duduk mendengarkan dosen selama 90 menit bukan sesuatu yang berat. 

Permasalahan sebenarnya ialah keenggananku bertemu dengan mantanku. Dulu aku sedih kami berada di fakultas yang berbeda, tetapi sekarang aku malah bersyukur tidak harus khawatir akan berpapasan dengannya setiap waktu. Peluangnya kecil dan aku akan semakin mengecilkannya hingga nyaris tidak ada. Aku terlalu patah hati untuk bisa merelakannya dengan status yang bukan pacarku lagi. 

Meskipun aku sehat, tapi keadaanku kacau, aku yakin stok tissue di rumahku akan segera habis.  Kalau malam ini aku menangis lagi, aku yakin tissue toilet pun akan habis juga. Jadi, demi mencegahnya kuputuskan untuk tidur tanpa memikirkan apapun. Beruntungnya aku tertidur dengan damai. Tidak ada mimpi buruk seperti malam-malam sebelumnya.

Paginya aku merasa bugar dan siap menjalani lembaran baru dengan status single, tidak buruk kan? Aku tidak punya banyak waktu, jadi kuputuskan untuk sarapan semangkuk sereal dengan susu strawberry yang tinggal sedikit. Ingatkan aku untuk belanja nanti sepulang kuliah. Kudengar, belanja bisa meredakan stress.

Sembari memasukan sendok penuh sereal, aku mengecek ponselku. Kebanyakan pesan masuk berasal dari teman-teman yang menanyakan kedaanku. Aku membalas pesan mereka satu persatu dan menyuruh untuk tidak terlalu khawatir karena aku baik-baik saja, setidaknya untuk sekarang dan aku berharap seterusnya.

Ketika tengah asik aku dikagetkan dengan daftar panggilan tidak terjawab yang  didominasi oleh mantanku, siapa lagi kalau bukan Sasuke? Aku sampai tersedak saking kagetnya. Untuk apa dia menghubungiku hingga 109 kali dalam lima hari terakhir? Ada banyak kemungkinan yang melatarbelakingnya.

Dari semua itu, yang menurutku paling masuk akal adalah ia memintaku mengembalikan jaket yang kupakai saat kencan terakhir kami, kebetulan saat itu hujan deras dan itu terjadi bulan  lalu. Aku menghentikan pikiranku yang mulai bernostalgia ke masa-masa itu. Tidak ingin memikirkan sesuatu yang lebih aneh lagi, aku segera menyingkirkan mangkuku yang sudah kosong dan bergegas ke kampus.

Kelasku dimulai 20 menit lagi, aku memutuskan untuk ke kafetaria menemui Ino sahabatku. Ngomong-ngomong, kafetaria agak ramai, aku duduk berhadapan dengan Ino dan  seperti yang kuduga ia menceramahiku terkait sikapku yang tidak bertanggung jawab.

Intonasinya yang tinggi membuat  kami menjadi pusat perhatian. "Hey Jidat, kau mendengarkanku tidak sih?" ucapnya kesal.

Aku terkekeh, "Kau sukses menarik perhatian, Pig. Dan yah, aku mendengarmu." Aku celingkuan menatap beberapa pasang mata yang memperhatikan kami penasaran, "Kurasa semua orang mendengarkanmu."

"Sakura!" ucapnya nyaris berteriak, membuatku berjingkat.

"Baiklah-baiklah, maaf membuatmu khawatir. Aku hanya ingin waktu sendiri kau tau, semacam masa penyembuhan."

Ino tau aku putus dengan Sasuke, dia orang pertama yang kuhubungi. Ia memaksa datang ke flatku namun aku menolaknya. Itulah sebab ia mengomel sejak tadi. "Sekali lagi maaf, tidak akan kuulangi."

"Kau tidak mengangkat telponnya?" Ino bertanya dengan suara yang lebih rendah.

Aku menjawab acuh, "Tidak ada kewajiban untuk mengangkat telpon dari mantan kan?"

"Tapi dia menerorku setiap hari dengan menanyakan keberadaanmu, kau tau apa yang paling membuatku jengkel?" Aku menggelengkan kepala, Ino menghembuskan napas sebelum menjawab, "saat kutanya ada apa, jawabannya selalu konsisten 'bukan urusanmu' lalu mematikan ponselnya begitu saja. Tidak berhenti  di situ bahkan saat aku sedang berkencan dengan Sai, ia menghubungiku. Sampai-sampai pacarku mengira aku berselingkuh dengan Sasuke."

Aku tidak tau untuk yang satu ini, yang aku tau aku merasa bersalah pada Ino lebih dari apapun. Benar-benar deh ya, mau apalagi Uchiha satu ini.

"Aku minta maaf, sungguh." Kataku akhirnya.

"Bukan sepenuhnya salahmu, untung saja Sai pengertian" ia tersenyum bangga," menurutku dia menyesal telah mencampakanmu, lalu ingin mengajakmu balikan—Sasuke tampak kacau. Secara teknis aku tidak melihatnya sih, tapi dari suaranya ia tidak terdengar baik-baik saja."

Hatiku berdesir, entah karena Sasuke yang tidak baik-baik saja atau dia yang masih berusaha menghubungiku, "Balikan? Mustahil Ino, kau harus lihat wajahnya minggu lalu saat Sasuke dengan tekad bulatnya mengakhiri hubungan kami."

Mengingat kejadian itu membuatku ingin menangis lagi. Dia tidak baik-baik saja? Bukan salahku dia yang menginginkannya, membuat kami berdua pada kondisi tidak baik-baik saja.

"Kau sudah melupakannya? Move on?" tanya Ino hati-hati.

Aku mengagguk mantap, "Tentu" saja belum tambahku dalam hati.

Ayolah, tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk begitu saja dilupakan. Aku mencintai Sasuke, terbiasa dengan sosoknya dan ia tiba-tiba menghilang, yang benar saja mana mungkin aku sudah move on sekalipun logikaku berkehendak demikian. 
.
.
Setelah percakapanku dengan Ino berakhir, aku buru-buru ke kelas, dosenku akan masuk lima menit lagi. Tetapi orang terakhir yang ingin kutemui hari ini malah berdiri di depanku dengan raut muka tidak mengenakan untuk dipandang, sekalipun ia tampan. Ya, mantanku, siapa lagi?

Sudah sangat terlambat untuk berbalik menghindarinya, ia menarik pergelangan tanganku dan berjalan ke area parkir. Tentu saja lagi-lagi kami menjadi pusat perhatian, ngomong-ngomong tanganku lumayan sakit. Aku yakin akan muncul bekas kemerahan di sana.

Tidak ada gunanya memberontak, secara fisik Sasuke jauh lebih kuat.
"Masuk!" titahnya saat kami telah sampai di mobilnya.

Hey! Apa-apaan itu? menyeret gadis dengan kasar dan memaksanya masuk ke mobil, gentleman sekali! "Aku ada kelas!" balasku tak kalah tegas, berusaha tidak terintimidasi meski rasanya tidak mungkin.

Mukanya  semakin garang, ia terlihat seperti akan meledak. Aku tidak peduli, beberapa menit lagi kelasku dimulai. Aku tidak punya waktu untuk meladeninya.

"Masuk Sakura!" kini ia membentakku. Sasuke memang temperamental aku tidak heran, apalagi saat marah.

"Tidak Sasuke, jangan memaksaku! Kau pikir kau siapa!?" Untung di tempat parkir tidak terlalu ramai, meski tetap saja ada orang yang berusaha mencuri-curi dengar.

Sasuke tidak akan melepaskanku sebelum aku menuruti kemauannya, terbukti dari tangan kiriku yang masih dicekalnya erat. Aku tidak kehabisan akal, "Oh, Bibi Mikoto, Ohayougozaimasu!" seruku ke belakang Sasuke sambil membungkukan badan.

Spontan Sasuke melepas tanganku dan menengok ke belakang. Kesempatan ini kugunakan dengan baik. Secepat kilat aku berlari kembali ke kelas, mengabaikan mantanku yang murka karena berhasil kutipu.

Aku sadar sekarang memang aku berhasil lolos entah apa yang menimpaku nanti. Seandainya dia mengajakku bicara baik-baik aku mungkin bersedia, bukan malah menyeretku seperti tadi.
.
.
.
😅😅😅

Broke upTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang