part 8

1.5K 51 2
                                    

Suara mobil Arjuna terdengar sudah berada di luar. Bi Lusi berhambur ke luar membukakan pintu.

"Masuk, Tuan. Sudah ditunggu."

Arjuna menyenggol lengan Bi Lusi, "jangan panggil tuan, panggil Juna aja, 'kan sudah dibilangin." Arjuna menarik lengkung sempurna di bibirnya.

Bi Lusi senyum-senyum. Memang Bi Lusi belum terlalu lama bekerja di sana. Baru sekitar kurang dari setahun. Dia menggantikan Mak Ratna. Mak Ratna yang sudah bekerja hampir dua puluh tahunan itu, tiba-tiba mengundurkan diri.

Makan siang hari itu berjalan dengan hangat, Arjuna lahap sekali menyantap makanan kesukaannya. Matanya tidak berhenti menatap istrinya. Bulan memainkan bola mata, memberi isyarat agar jangan begitu, karena Mama mertuanya dari tadi ikutan senyum-senyum memperhatikan mereka berdua.

Rasa bahagia terpancar jelas dari raut wajahnya yang terlihat masih cantik di usianya yang hampir lima puluh tahun itu.

"Kapan Papa pulang, Ma?" tanya Arjuna.

"Dua hari lagi," balasnya.

"Papa nggak usah disuruh berpergian jauh lagi ya, Ma!"

"Papa kamu tuh nggak bisa diomongin. Kalo katanya 'a' ya 'a'. Mana bisa kita merubahnya," ucap Mama Arjuna.

Papa Arjuna memang masih getol menjalankan bisnisnya. Usianya hanya terpaut satu tahun dengan istrinya. Tapi penampilannya yang parlente membuatnya tidak kelihatan tua. Ketampanan Arjuna terwariskan dari Mamanya yang cantik dan Papanya yang ganteng.

"Bulan, kok diam aja? Ayo tambah lagi makannya," ucap Mama Arjuna seraya menyendokkan sayur cap cay ke arah piring menantunya itu.

"Iya, Ma. Biar Bulan ambil sendiri."

"Aku nggak diambilin nih!" seru Arjuna menggoda.

Bulan tersenyum, tidak menyangka bisa sedekat ini dengan mertuanya. Menepis anggapan bahwa menantu dan mertua tidak akan pernah klop satu sama lain.

Mereka menyelesaikan makan siang, lalu melanjutkan sholat dzuhur bersama.

Selesai sholat, Bulan menemani Mama mertuanya menyulam. Arjuna duduk di ruang keluarga, berselonjor sambil memainkan gawai. Entah apa yang dilihatnya pada benda itu, sehingga dia senyum-senyum sendiri. Mama Arjuna sangat terampil mengajarkan Bulan cara menyulam.

"Juna. Kamu nggak balik ke kantor?" tanya Mamanya.

Arjuna menggeleng. Masih fokus dengan benda pipih di tangannya.

"Bulan, Arjuna itu sangat manja. Apa-apa harus dibantu. Mungkin karena dia anak tunggal," ujar wanita yang ada di hadapan Bulan. Bulan mendengarkan dengan seksama cerita Mama mertuanya itu. Hanya senyum dan sesekali mengangguk, respon yang dia berikan.

"Kamu harus bisa memahaminya, mencintainya dengan tulus dan jangan sakiti dia," ucap Mama mertuanya dengan tatapan nanar dan penuh harap.

Arjuna manja? Tapi tidak sama sekali dirasakan Bulan.

Justru suaminya itu suka membantunya dan sangat perhatian.

Memahaminya, mencintainya dengan tulus dan jangan sakiti dia! Pasti. Justru Bulan yang takut dikecewakan.

Mana mungkin Bulan bisa menyakiti laki-laki seperti Arjuna.

Satu persatu tekhnik dalam menyulam diajarkan oleh Mama Arjuna.

Bulan merasa ada sesuatu yang mendorong dari bawah perut sehingga dia harus cepat-cepat ke kamar mandi.

"Bulan ke kamar mandi dulu ya, Ma," ucapnya seraya beranjak dari tempat duduk.

Rembulan di Hati Arjuna [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang