part 1

2.3K 78 1
                                    

Alasan yang sangat masuk akal. Untuk menunda melakukan ritual malam pertama adalah rumah masih ramai oleh sanak keluarga. Tapi ini sudah malam ke tujuh, laki-laki itu belum juga menyentuh istrinya.

Sudah larut malam, jam di dinding sudah berada di angka satu.

Bulan mulai merasa khawatir. Ke mana suaminya belum pulang juga. Sehabis sholat isya, suaminya pamit keluar. Sementara Bulan, mempersiapkan diri di dalam kamar.

Di ambilnya lingerie merah muda dari dalam lemari. Mungkin baju sakral ini bisa membangkitkan hasrat suaminya. Kini dia mematut diri di depan kaca. Sesekali merapikan sisiran rambutnya.

Ini malam ke tujuh, seharusnya sepasang suami istri yang menikah karena cinta sudah melakukan itu. Menyemprot sedikit parfum ke tubuhnya, mungkin akan membuat suaminya tergoda. Satu jam, dua jam, tiga jam Bulan menunggu dengan gelisah.

Kini Bulan mengingat kembali awal pertemuannya dengan suaminya, apa ada yang salah dengan pernikahan mereka?

Sehingga setelah seminggu pernikahan suaminya belum juga menyentuhnya.

🌻🌻🌻

"Huft ...."
Bulan membuang napas kasar, lelah sangat terasa menggelayuti tubuhnya. Alhamdulillah toko ramai dari pagi.
Mungkin karena ini bulan kasih sayang, jadi toko bunga banyak diserbu orang.

Dia bergerak menuju pintu, membalik benda yang bertulisan 'OPEN' menjadi 'CLOSED'.

Tiba-tiba seorang laki-laki datang tergesa, mendorong pintu yang terbuat dari kaca itu.

"Maaf, Mbak. Tolong jangan tutup dulu." Laki-laki itu sudah berdiri di dalam toko, matanya beredar mengelilingi toko.
"Baiklah. Anda mencari bunga apa?" tanya Bulan tergesa.

Dia ingin cepat menutup toko karena sudah sangat kelelahan. Hari ini dia bekerja sendirian. Partnernya, Vika tidak datang hari ini.

"White Rose," jawab laki-laki itu masih mengedarkan pandang ke sekeliling.

"Sebentar." Bulan menuju tempat bunga yang dimaksud.
Sepertinya bunga itu habis, karena yang terlihat hanya setangkai Mawar merah, itu pun tinggal satu-satunya.

"Maaf, Pak. White rose-nya habis. Kalau mau masih ada Mawar merah?" Bulan menjelaskan.

"Pak?" Laki-laki itu menautkan kedua alisnya.

Bulan tersenyum sambil mengangguk.

"Apa saya sudah kelihatan sangat tua? Sehingga, Mbak, memanggil saya Pak?" tanya laki-laki itu lagi.

"Oh, maaf. Saya tidak bermaksud seperti itu. Di sini sudah terbiasa memanggil seperti itu. Lagian selagi panggilan itu sopan, apa salahnya?" jawab Bulan.

Laki-laki itu mengulurkan tangan, seraya memperkenalkan diri. "Arjuna, tapi panggil saja Juna."

Bulan membalas mengulurkan tangan, "Rembulan, panggil saja Bulan."

"Jadi, Juna mau bunganya?" tanya Bulan memastikan.

Arjuna menggigit bibir bawah sambil bergumam, "Dia tak akan suka bunga itu."

Tapi gumamannya itu masih terdengar oleh Bulan.

"Apa, siapa yang tak akan suka?" Bulan menaikkan satu alisnya.

"Tidak, tidak. Aku hanya ingin membeli bunga itu saja. Lain kali aku ke sini lagi kalo bunganya sudah ada," jawab Arjuna.

Sejak hari itu, Arjuna sering sekali mampir ke toko bunga milik Bulan itu. Sekedar mengantar makanan untuk Bulan dan terkadang membeli beberapa kuntum bunga untuk Mamanya.

Rembulan di Hati Arjuna [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang