part 2

1.3K 63 1
                                    

Masih terasa sesak di dalam dada, Bulan memastikan kalau suara itu bukan suara Mama mertuanya.

Air mata luruh tanpa disuruh. Baiklah menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Pikirnya.

Bulan menarik napas panjang, agar suaranya tak terdengar sedih. Dia menjawab suara dari telpon itu.

'Hallo, siapa ini? Apa ada Arjuna di sana?'

'Ya, hallo.'

Dan tuttt—

Suara sambungan terputus. Berkali-kali Bulan mencoba menelpon lagi, tetapi tidak terhubung karena berada di luar 'service area'. Itu berarti gawai mati atau sengaja dimatikan.

Bulan seperti orang bodoh, di kamar ini, di rumah ini, sendiri. Sehari setelah pernikahan, Arjuna dan Bulan memang sudah menempati rumah baru. Untuk seorang Arjuna yang merupakan pengusaha muda, memiliki rumah sendiri itu adalah wajar.

Sebuah mobil sedan civic keluaran terbaru yang dihadiahkannya untuk Bulan kini hanya terparkir di garasi mobil. Karena Bulan memang belum bisa menyetir mobil sendiri.
Pikiran Bulan menerawang jauh. Apakah perkenalan sembilan bulan terlalu singkat untuk mengenal Arjuna? Seketika Bulan merasa sangat bodoh memutuskan menikah dengan Arjuna?

Sekarang apa yang harus dilakukannya. Kalau memang benar ada wanita lain selain dia.
Bulan berusaha menghubungi mertuanya. Ah tapi sialnya Bulan belum menyimpan nomor telepon Mama mertuanya itu. Karena ponsel yang dipakainya masih baru. Hadiah dari Arjuna, karena ponsel Bulan yang lama sudah ketinggalan zaman.
"Bodoh ... bodoh ...." Bulan mengetuk-ngetuk jidatnya sendiri.
Kenapa kini rasanya dia ingin menangis sekuat-kuatnya.

Suara azan shubuh menyadarkannya. Sejenak dia berpikir masih ada Allah, pasti dia bisa melewati ini. Segera dia melangkah ke kamar mandi, mengambil wudhu. Dan melaksanakan kewajibannya.

Setelah berdoa kini hatinya menjadi sedikit tenang.
Masih bersimpuh di sajadah sampai matahari mulai terbit.
Belum ada tanda-tanda kalau Arjuna akan pulang.

Sekali lagi Bulan mencoba menghubungi Arjuna. Tapi masih belum tersambung.

Semoga apa yang dipikirkannya hanyalah angin lalu. Bulan berdoa dalam hati.

Setelah mandi, Bulan bersiap pergi ke rumah Mama mertuanya. Mengendarai motor matic yang memang disediakan suaminya, Bulan melaju perlahan. Sebisa mungkin mengendalikan diri agar selamat sampai tujuan. Melintasi toko bunga miliknya, entah mengapa dia kangen dengan toko itu. Kebetulan arah rumah mertuanya melewati toko bunganya. Kini toko bunga itu dia percayakan kepada Vika. Sesekali saja Bulan akan mengecek ke sana. Begitu perjanjiannya.
Bulan memarkirkan matic-nya di halaman toko.

Vika terlihat gembira dengan kedatangan Bulan pagi ini.

"Cie ... cie yang pengantin baru. Ngapain pagi-pagi dah ke sini?" tanya Vika sambil melirik ke arah motor Bulan.

Bulan tersenyum mencoba menyembunyikan masalahnya.

"Kenapa? Kamu nggak suka!" Bulan menyapu wajah Vika dengan tangannya.

"Bentar-bentar." Vika mengamati wajah Bulan yang nampak terlihat lain.

"Kamu, sendiri ke sini? Mana Arjuna? Busyet kenapa tuh mata, kok sembab gitu?" cecar Vika dengan pertanyaan.
Bulan masih bingung apakah akan berbagi masalahnya ini dengan Vika. Tapi hatinya merintih. Sakit sekali rasanya, jika mengingat suara telepon semalam.

Akhirnya pertahanannya runtuh, air mata jatuh setetes demi setetes.

"Arjuna, Vik. Arjuna!" suara Bulan terisak.

Vika mengajak Bulan masuk, menyiapkan tempat duduk. Lalu mengambil segelas air putih.

"Ini. Minum dulu." Vika mencoba menenangkan Bulan.
Bulan menerima gelas air minum itu, tangannya gemetar. Air mata tak mau berhenti mengalir.

Rembulan di Hati Arjuna [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang