1.1

21 6 2
                                    

Sheryl Hematala

Ada dua hal dari sekian banyak hal yang kubenci dari sekolah ini: yang pertama adalah mie ayam yang porsinya terlalu sedikit dan yang kedua adalah bullying.

Sayangnya selepas pulang sekolah aku harus menemui hal terakhir yang kusebutkan tadi didekat tangga lantai satu. Aku yang baru saja kembali dari toilet, mendengar suara ribut dari sana dan segera mendapati beberapa siswa sedang mengeroyoki seseorang. Tidak ada orang lain selain mereka walau seharusnya tempat ini penuh dengan siswa yang berlalu-lalang. Namun kayaknya karena kejadian minggu lalu para siswa enggan berada disini meskipun tangga ini adalah akses utama ke lantai-lantai atas.

Minggu lalu ada sebuah kejadian yang menggemparkan seisi sekolah. Seorang siswi jatuh dari lantai dua dan mendarat langsung ke lantai satu dengan kepala berdarah-darah. Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tapi banyak siswa berasumsi kalau siswi tersebut bunuh diri karena gamon alias gagal move on—meskipun menurutku ini sih nggak banget.

Ada yang berpendapat kalau siswi itu didorong teman dekatnya sendiri. Ada juga yang bilang ia kerasukan roh. Aku sendiri telah mendengar banyak cerita dengan versi yang berbeda-beda. Tapi bagiku semuanya tetaplah misterius. Untung saja aku tak melihatnya kalau tidak aku bisa terbayang-bayang hingga akhir tahun ajaran.

Bukannya aku pengecut lho, tapi.. hmmm... Ah sudahlah! Sekarang ada orang yang harus aku selamatkan! (Oke, aku nggak berusaha terdengar heroik disini. Tetapi siswa yang dikeroyok itu kan memang harus diselamatkan.)

Aku berlari menuju sumber keributan dan menemui beberapa siswa yang ternyata aku kenal. Sang korban yang terkapar dilantai adalah Ata, cowok superculun dari kelas XII-B IPA yang sudah langganan dibully setiap orang yang melintas didepannya—bukan berarti aku juga suka bully dia, lho! Tetapi maksudku.. lihat saja tampangnya, rambut berminyak yang disisir super-rapi, ekspresi datar yang membuatnya terkesan agak-agak bloon, kacamata tebal dan gesper gede didepan pusarnya, siapa yang nggak tahan untuk meledeknya? (Upsi, aku seharusnya nggak berpikir begitu.)

Didepan Ata, berdiri tiga orang pembully yang kukenal sebagai Varo, Kemal dan Kiki. Alvaro Natha memang dikenal sebagai cowok-sengak-sok-ganteng, pernah tidak naik kelas, kebandelannya tidak diragukan lagi, suka pamer parkour dengan meloncati apa saja yang ia lewati, kemana-mana selalu nggak lepas dari antek-anteknya yang memiliki tubuh segede king kong—yang tentu saja mereka adalah Kemal dan Kiki—dan kadang ia suka menggoda cewek-cewek populer disekolah ini.

Betapa naasnya Ata hari ini harus berhadapan dengan mereka.
Ata tersungkur tak berdaya dilantai sementara tiga hyena rabies itu menginjak-injak tas miliknya. Aku memperlambat langkahku dan segera mengambil posisi ditengah-tengah mereka.

"Masih jaman main keroyokan?" Sindirku dingin.

Varo menoleh kearahku dan langsung menyeringai. "Eh, Honey, mau ikut main sama kita?"

Honey?? Buset, bulu kudukku rasanya berdiri semua. "Sori ya, gak level gue main sama lo. Mending lo balikin tas nya Ata sekarang."

"Ini?" Varo menginjak benda yang kumaksud. "Boleh aja, Hon.. Tapi lo harus gabung sama fans club gue, ya.."

"Ngimpi aja lo sana!" Selaku keras. Memang benar sih Varo punya semacam fans club yang terdiri atas cewek-cewek yang berotak dangkal—yaiyalah dangkal! Kalo nggak kenapa bisa ngefans sama Varo?—memuja Varo dengan mata berbinar-binar seperti anak pudel lantaran Varo adalah basis MayWrath, band metalcore sekolah kami.

Cewek-cewek dari fansclub itu dengan relanya setiap hari membelikan dia makanan dan minuman dan seringkali menguntit Varo kemana-mana dengan suara seheboh rombongan burung parkit.
"Ogah gue muja-muja lo depan sekolahan! Lagipula apa untungnya sih lo gangguin orang kayak begini?"

"Untungnya? Nggak ada sih" kata Varo sembari melangkah kedekatku. "Kecuali mungkin bisa ketemu sama lo" Varo mengakhiri kalimatnya dengan nada merayu seraya menangkap sebelah tanganku.

HELL NO! Aku paling anti sama yang namanya sentuhan-rayuan cowok, terutama yang semacam Varo! Sepersekian detik berikutnya, gerak refleksku mengambil alih. Aku menjambak kerah Varo dan melayangkan tinjuku ke pelipisnya. Kemal dan Kiki menertawakan bos mereka yang terhuyung kena tonjokanku.

"Heh! Sapa suruh ketawa-ketawa, hah? Abisin tuh cewek" Bentak Varo.

Wah, ternyata mereka benar-benar nggak tahu malu. Kemal segera maju dan mendorong bahuku dengan kuat, tapi aku berhasil memanfaatkan dorongannya dan memuntir tangannya. "Adadaaaw! Lepasin tangan gue, kampret!!" Teriak Kemal.

Ha, sukurin! Kiki maju untuk menolong Kemal, menggenggam lenganku dengan keras tapi aku berhasil menendang tulang keringnya. Aku mendaratkan beberapa tendangan lagi kearah cowok itu sebelum mecampakkannya ke arah bos mereka. Kemal dan Kiki terhuyung ke arah Varo dan mereka jatuh terbaring ke lantai.

Perkelahian ini memang tidak seberapa menurutku—lagian itu juga karena aku nggak sengaja, kok—namun efeknya ternyata lumayan untuk membuat cowok ingusan seperti Varo berapi-api.

"Awas ya, lo!" Ancamnya.

"Awas apaan? Awas ada anjing galak? Iya ada anjing galak disini. Yaitu gue! Sekali lagi lo berbuat onar didaerah kekuasaan gue, gue jotosin sampe muka lo bonyok!" Ancamku. Well, sebenarnya disekolah ini tidak ada 'daerah kekuasaan' seperti yang kuucapkan tadi sih, tapi sepertinya siswa-siswa lain sudah melabeli daerah dari depan Aula hingga empat lantai keatas sebagai daerah'ku'. Mungkin karena penampilanku sebelas dua belas dengan preman sekolah. Mungkin juga karena aku—menurut yang orang-orang bilang—jutek dan gahar banget. Mungkin juga karena aku ketua kelas XI-A IPS.

Entahlah.

Aku tidak terlalu suka dengan segala kekuasaan-kekuasaan ini tetapi harus kuakui semua itu lumayan memberiku keuntungan di waktu-waktu terjepit. Contohnya saja saat aku terlambat dan harus melewati pos piket, siswa piket disana pura-pura tidak melihat—dan aku berani sumpah, ia memberiku isyarat, udah-cepetan-cabut-sana.

"Oh jadi ini daerah kekuasaan lo? Terus kenapa lo nggak ada pas ada anak yang jatoh dari lantai dua?" Gertak Varo.

"Ya, gue lagi belajarlah, bego! Emangnya gue kayak lo yang kerjaannya ngebully anak-anak yang lewat! Oh.. Atau jangan-jangan sebenernya lo yang dorong tuh cewek dari lantai dua?" Tuduhku.

Haha! Varo mangap-mangap tanpa suara seperti ikan mas koki sebelum akhirnya tergagap, "Y-y-ya nggaklah! G-gue aja lagi ada d-dikantin pas lagi kejadian"

"Emang lo tau persis kejadiannya kapan? Ada yang bisa ngejamin lo ada disana pas kejadian?" Aku segera memasang tampang wah-lo-pasti-pelakunya sambil terus menuduh meski dalam hati aku tahu banget pengecut semacam Varo nggak mungkin mencelakai orang sampai mendekati maut begitu.

Varo sekarang kelihatan salah tingkah betulan. "N-nggak sih, t-t-tapi.."

"Haalaah tapi-tapi bacot lo ah. Enyah lo dari muka gue sekarang. Atau lo mau gue panggilin pak BP?" Pak BP adalah kuncen alias penunggu ruang BK sekolah kami. Konon katanya, jika ada murid yang menemui Pak BP lebih dari tiga kali dalam seminggu, dapat dipastikan murid itu riwayatnya nggak akan lama lagi. (Baca: dikeluarkan, bukannya dibunuh, ingat ya)

"E-e jangan, duh, Ryl, iya, maap maap, gue cabut deh" sahut Varo menggaet antek-anteknya kabur meninggalkanku—Maksudku, kami.

Ata masih ada disini.

Ia berdiri didekat tangga dengan posisi siap-gerak, seragamnya kusut dan kotor dibagian belakang, rambutnya berdiri dibeberapa tempat dan dijidatnya ada sebuah benjol besar—aw, itu pasti sakit. Aku memungut tasnya yang tergeletak dekat tempat sampah dan melemparkannya. Syukurlah anak itu masih sanggup menangkap lemparanku—yang berarti ia baik-baik saja.

"Gue nggak butuh bantuan lo" gumamnya pelan. Lalu ia berbalik dan meninggalkanku.

Hell, what?

UMBRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang