"Bukan siapa-siapa. Udah buruan jalan." Kataku sambil memakai helm.
Seperti biasa kami terjebak macet Jakarta dan dipaksa menghirup segalon polusi yang dikeluarkan oleh ribuan knalpot motor bebek. Maghrib sudah lewat dan malampun turun. Bahkan anak-anak yang bermain bola plastik didepan ruko Ko Liaw sudah pada bubar.
Pulang malam sudah biasa bagiku karena SMA Lentera Nusantara menerapkan sistem full day school dimana para murid akan belajar dari pukul tujuh pagi hingga lima sore. Siswa jaman sekarang biasa menyebutnya 'berangkat sunrise, pulang sunset'.
Entah apa yang ada dipikiran orang yang membuat sistem ini. Jangan-jangan mereka menginginkan kami seperti pelajar Jepang, atau Korea, atau Rusia, dan jika sudah besar kami disuruh membuat nuklir melawan Kim Jong Un.
Setelah perjalanan yang berlangsung lama, kami akhirnya sampai ke kontrakanku.
Kontrakan ini hanya terdiri dari satu bangunan. Terasnya lumayan luas untuk parkir 4 motor. Dindingnya berwarna ungu suram diteduhi oleh beberapa buah pohon nangka. Gerbangnya macet karena karat dan meja terasnya dilapisi debu. Tambahkan beberapa sarang laba-laba dan kau pasti akan mengira rumahku adalah rumah kosong yang nggak pernah ditempati manusia selama sepuluh tahun. Maklum, tak satupun penghuni rumah ini punya waktu untuk membersihkan rumah.
Didalamnya ada tiga kamar tidur, ruang tamu, dan dapur yang berhubung dengan kamar mandi dan mesin cuci seperti halnya rumah petakan biasa. Kurasa saat kami pindahan, uang Ferre tak banyak-banyak amat untuk memilih rumah yang lebih baik karena kalau dibandingkan dengan rumah lama kami keadaannya berbeda 180 derajat.
"Aku pamit dulu ya." Kata Hanief setelah menurunkanku.
Aku membanting pintu gerbang, dan bahkan tanpa menoleh aku menyahut, "Bye."
Aku tidak berminat untuk berbicara dengan siapapun sepanjang sisa hari yang sial ini.
"Ferre! Gua pulaaaaang!!" Teriakku sambil melepas sepatu.
Saat kubilang aku tinggal bersama keluargaku, kuharap kalian tidak memikirkan aku berkumpul bersama Ayah dan Ibu dan beberapa saudara mutan yang lucu-lucu. Karena hal itu menggelikan.
Aku dan Ferre kabur dua tahun lalu.
Untung saja pada saat itu Ferre sudah berpenghasilan sendiri sehingga pelarian kami tidak begitu sulit. Disaat mutan-mutan lain yang sudah berkeluarga hidup dengan tentram, kompak saling melindungi dan mengasihi, orangtua kami malah menghadiahi kami dengan ratusan pukulan yang tidak pernah kami harapkan. Mereka bukan orangtua yang baik. Aku tidak mengada-ada. Aku bukanlah seorang manja yang akan mengeluh jika disuruh angkat jemuran, atau mengaduh ketika dijepret karet gelang saat nilaiku jelek. Aku tidak akan mengaduh bila hanya kena rajam sekali atau dua kali. Jadi aku harap kalian mengerti bahwa saat kubilang ‘orangtuaku tidak baik’ maka artinya adalah ‘mereka layaknya serigala sadis yang mampu mengoyak anaknya sendiri’
Namun normalnya, bila ada seseorang yang bertanya perkara kaburnya kami, biarlah torehan di bawah mata Ferre dan jahitan besar di lengan atasku yang menjawabnya.
Ferre sedang tiduran diatas sofa, laptop, kamera dan smartphone ada dihadapannya. Menurutku dia nggak ganteng-ganteng amat, apalagi dengan luka menyeramkan dibawah mata kirinya. Tapi entah kenapa dulu di SMP, saat kami masih bersekolah bersama aku mendengar banyak cewek yang naksir padanya.
"Motor lo bener kapan?" suara dinginnya bertanya ketika aku membanting tas ke lantai.
"Gatau. Kayaknya semingguan lagi, kenapa?" jawabku asal.
"Gue nggak suka sama cowok itu." Katanya singkat.
"Hanief?" Aku menoleh kejalanan, kearah Hanief dan motornya yang kini sudah jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
UMBRA
Science FictionDalam dua minggu belakangan ini sekolah-sekolah menengah di Jakarta diwarnai kejadian berdarah. Penikaman yang terjadi di SMA Lasiodora, murid SMA Pelita yang kecelakaan di Climbing Wall dan seorang siswi yang jatuh dari lantai dua sekolahku. Bebe...