Hell, what?
Untung saja aku nggak sedang PMS. Kalau iya, aku yang bakalan menggantikan tempat Varo membully tadi. Chill, Sheryl, chill. Orang yang nggak tahu terimakasih itu sudah biasa. Yang penting tugasku selesai disini, saatnya pulang!
Saat kubilang banyak hal yang kubenci dari sekolah ini, aku bersungguh-sungguh. Maksudku, siapa sih yang mau sekolah di tempat terpencil begini? Meski berada di Jakarta, ibukota Indonesia kita yang tercinta ini namun wilayah kami berada jauh dari pusat kota. Dan tebak apalagi? Persis disamping sekolah kami adalah beberapa ladang dan bidang sawah yang menghijau. Musim hujannya sangat buruk dan musim kemaraunya sangat terik. Singkatnya SMA Lentera Nusantara bukanlah tempat yang menyenangkan untuk bersekolah.
Berada disini bukanlah keinginanku. Hanya saja mutan sepertiku tidak memiliki banyak pilihan.
Oh, kau tidak salah baca, kok. Aku memang mutan.Dan seperti yang kau tahu, mutan tidak memiliki hak untuk hidup di negara ini. Terutama di Jakarta. Jika kau ketahuan hanya ada dua kemungkinan, ditembak mati ditempat oleh Eksekutor atau dibawa ke penjara khusus mutan untuk selanjutnya dieksekusi mati, tentu saja. Maka dari itulah aku dan keluargaku harus hidup bersembunyi. Tinggal jauh dari pusat kota dan keramaian dan menjaga diri agar tidak menunjukkan kekuatan yang kami miliki.
Menyebalkan. Padahal aku suka dengan kekuatan bayanganku. Kelihatan misterius gitu, lho. Aku pernah memadatkan bayangan dan menutupi Ferre—kakak laki-lakiku yang super menyebalkan—dengannya. Bentuknya jadi semacam tenda hitam. Namun aku paling suka saat memanggil bayangan-bayangan dari lantai dan dinding dan membuatnya memutari kamarku. Bayangan-bayangan itu terlihat seperti hantu. Pastinya bagiku hantu adalah hal yang keren.
Aku melenggang dengan santai kekelasku, XI-A IPS di lantai 3. Sesekali aku melirik ke jendela dan memeriksa pantulan diriku, kalau-kalau aku kelihatan habis berkelahi. Kalau sampai ketahuan guru, gawat akibatnya! Bisa-bisa aku dipanggil Pak BP dan diberi skors dilarang makan mie ayam selamanya. Memikirkannya saja sudah membuatku merinding.
Sesampainya dikelas, separuh kelas hampir kosong. Hanya ada sekelompok anak perempuan yang sedang menggosip dan pemimpin para penggosip itu ialah Rana. Aku sedang menimbang-nimbang apakah Rana akan masuk daftar hal-hal yang kubenci dari sekolah ini. Rana adalah teman sebangkuku yang kudapat dari undian denah kelas.
Aku tidak menyukai dia karena.. Yah.. Singkatnya kami begitu berbeda. Aku, dengan rambut pendek yang kata orang-orang seperti nggak pernah disisir sedangkan Rana dengan rambut panjang hitam mulus sepunggung bak Raisa. Hanya saja Raisa nggak pakai jepitan Unicorn pink seperti yang dipakai Rana.
Aku lebih tinggi daripada Rana meskipun Rana suka pakai sepatu yang ada ganjalannya. Aku tidak pernah meledeknya pendek karena mungkin memang aku saja yang ketinggian. Buktinya aku adalah cewek tertinggi dikelas.
Rana selalu merias tipis wajahnya ala ceuceu-ceuceu Korea: bedak putih, perona pipi dan lip tint merah muda. Aku selalu merias wajahku dengan lip tint warna peach yang kata Ferre, kakakku, nggak memberikan perbedaan apapun pada bibirku.
Penampilanku sebenarnya nggak berandalan amat. Meski seragamku selalu agak kusut, tapi setidaknya bersih dan wangi Rinso. Dari jauhpun sepertinya aku masih bisa dikenali sebagai perempuan. Lain hal dengan Rana yang kelihatan cewek banget. Aksesoris dan stationery serta buku-bukunya tak jauh dari warna pink, ungu pastel dan biru muda. Dan kalau bukan warna-warna itu pastilah motif floral—oh aku benci bunga-bungaan. Ia juga berganti-ganti jam tangan setiap hari. Satu hal yang jelas aku tak pernah lakukan.
Tapi disamping semua perbedaan fisik itu, kepribadian kamilah yang jadi masalah. Aku begitu serampangan dan menyerupai preman sekolah (akhir-akhir ini aku berpikir aku bisa dipertimbangkan sebagai preman sekolah beneran) sementara Rana kelihatannya adalah segala impian para Ibu kepada anak perempuannya. Ia cerdas, supel, periang, aktif dan sedikit rayuan ular, tentu saja.
Saat aku hendak mengambil tas dari kolong mejaku, Rana sedang berkasak-kusuk asyik dengan teman-temannya yang lain—seharusnya aku menyebutnya 'teman-teman kami' tapi karena aku tidak terlalu mengenal mereka kupikir tidak apa-apa jika kusebut sebagai 'teman-temannya'. (Belakangan terpikir olehku bahwa 'teman-temanku' disekolah ini jumlahnya bisa dihitung dengan jari, jadi mungkin saja aku akan menggunakan frasa 'teman-temannya' sepanjang buku ini)
"Eh, Ryl! Tau nggak sih SMA Pelita Internasional kena terror lho!' Sembur Rana saat aku baru saja menempelkan bokongku pada kursi.
"E.. Teror?" tanyaku sangsi.
"Iya, terror! Anak-anak sana mengalami kecelakaan-kecelakaan aneh gitu.." Balas Budiman—cowok mlehoy yang nggak-mungkin-nggak-ada-yang-kenal-dia-di-sekolah-ini lantaran hobi menggosipnya yang tak ada dua.
"..beda-beda, Ryl.." Sambung cewek bergigi kelinci yang aku lupa namanya siapa.
"..ada yang didorong jatoh dari Climbing Wall.." Sahut yang lain.
"..ada yang ditusuk..."
"..ada yang ditabrak juga!"
"...macem-macem pokoknya!"Buset, tempat dudukku ramai banget! Semua saling sahut menyahut.
"...terus dideket si anak yang kena tusuk itu ada kertas bertuliskan kalau ada oknum yang bertanggungjawab atas semua terror itu! Persis kayak Battosai!" Seru Arcee—salah satu teman yang kukenal lumayan dekat lantaran ia mengikuti ekskul yang sama denganku, yaitu Parkour.
"..dan tau gak sih? Kata mereka oknum tersebut adalah Daman! Teroris mutan yang itu!" Sahut Rana.
Jantungku mencelat ke leher.Hal terakhir yang kubutuhkan hari ini adalah sekelompok mutan gila yang mencelakai anak SMA. Kelompok-kelompok mutan seperti Daman-lah yang membuat masyarakat jadi anti-mutan. Yang kutahu, Daman memiliki banyak anggota Mutan Elemen dan itu menjadikan mereka sangat kuat. Mutan Elemen, Mutan yang kekal. Disebut begitu karena mereka menguasai elemen-elemen alam seperti api, tanah, air dan udara dan itu membuat mereka sangat kuat sehingga sulit untuk dibunuh. Biasanya usia mereka terhenti diantara umur dua puluh hingga empat puluh tahun.
Pemimpin Daman sendiri ialah seorang Mutan Elemen tanah yang sudah eksis dari lamaaa sekali, kalau tidak salah namanya Neru atau Neri. Entahlah.
Siswa siswi mulai sahut menyahut lagi. "Mereka dilarang keras buat nyebarin kabar ini.."
"..takut jadi korban berikutnya.."
"..sekolah mereka nggak boleh ngadain publikasi, jadi semua teror ini cuma kesebar lewat mulut ke mulut.."
"I-iw, jijik eim..!" Cicit Budiman.
"Sebentar-sebentar, berarti ini cuma gosip?" Tuntutku.
"Gosip KW-1 tapi ya, eimm!" Bantah Budiman.
"Anak Pelita sendiri yang ngasi tau gue!"sahut Rana bangga. "Kemarin gue dapet WA dari temen gue yang sekolah disana! Dan tebak apa?”
DARI WHATSAPP? Hari gini Rana bisa-bisanya percaya dengan broadcast whatsapp?? Aku berusaha keras agar aku tidak ngoceh-ngoceh histeris tentang hoax zaman sekarang.
Aku hanya bertanya dengan ragu, "E.. Apa?"
"Gue dapet WA lain dan katanya SMA Lasiodora juga kena!" Aku bersumpah ada beberapa titik ludahnya yang ikut tersembur saat ia bicara.
"..tapi ada satu hal yang bikin gue tertarik banget.." Kata Rana.
"Apa?" Aku bertanya lagi.
"Posisi-posisi sekolah yang kena terror semuanya berada dalam satu daerah yang sama!" Jawab Rana.
Aku berpikir sebentar, Lasiodora.. Pelita Internasional... Mereka ada di.."Daerah ini!" Seru Rana.
KAMU SEDANG MEMBACA
UMBRA
Ciencia FicciónDalam dua minggu belakangan ini sekolah-sekolah menengah di Jakarta diwarnai kejadian berdarah. Penikaman yang terjadi di SMA Lasiodora, murid SMA Pelita yang kecelakaan di Climbing Wall dan seorang siswi yang jatuh dari lantai dua sekolahku. Bebe...