2.1

11 1 0
                                    

Gila. Parah. Nyebelin. Kesel. Beteeee!!

Teriakku dalam hati setelah keluar dari ruang arsip bersama Rana, Arcee dan Budiman. Kami baru saja melihat arsip dokumen akreditasi 5 tahun  yang lalu sebagai acuan untuk hukuman yang nanti kami buat. Untuk bidang ekskul sendiri bisa memuat 90 halaman. SIAL adalah kata yang tepat.

Rana memutuskan untuk membawa dokumen itu sementara Arcee mempersiapkan form untuk para ketua ekskul. Budiman dan aku bertugas untuk mengurus dokumentasi alias foto-foto. Mungkin nanti aku harus meminjam kamera Ferre.

Aku memijat-mijat pelipisku berharap sebuah ide cemerlang bisa masuk. "Oke. Jadi, karena kurang dari 4 hari lagi dan gue gak tahu berapa lama waktu yang kita perluin buat ngerjain dokumen sialan itu, gimana kalo kita nginep aja dari besok?"

Seperti dugaanku, Budiman berseru histeris, "Kita? Nginep disini? Nanti kita tidur dimana, eim?? Kita mau mandi dimana? Yaampun akika gabisa kalo gitu.."

"Gue setuju, Ryl." Jawab Arcee kalem.

"Tapi-tapi.. mungkin kita nginepnya seling aja. Sehari nginep sehari pulang. Soalnya bener juga kata Budiman, kita cuma bisa mandi minimalis disini.." Kata Rana meringis.

"Lagipula kan kita harus belajar kayak biasa juga.." Tambah Rana.

"Kalo gitu.. Kita mulai nginep besok. Besoknya lagi pulang. Besoknya lagi nginep. Gimana?" Tanyaku.

"T-t-tapi.." Budiman merengek meminta dukungan kepada Rana dengan menyebalkan.

Argh. Bagaimana mungkin aku bisa tahan selama 4 hari kedepan bersama orang-orang manja ini?!

"..pokoknya itu keputusan gue. Besok pagi kalian berangkat dengan barang-barang yang diperluin kayak kantong tidur atau apalah terserah. Jangan lupa laptop sama baju ganti." Aku memotong rengekan Budiman segera.

"Gue cabut dulu." Aku berbalik dan bergegas menuju kelas dan menyambar tasku. Lalu serta merta aku loncat kelantai bawah. Ehm, mungkin aku nggak segila itu, tapi aku benar-benar ingin segera menjauh dari mereka.

Karena aku tidak meloncat kelantai bawah, aku menuruni tangga yang rasanya ada ribuan—mungkin saja jumlahnya ribuan mengingat kelasku ada dilantai 3—menuju gerbang utama.

Setelah membenamkan jempolku ke mesin pemindai sidik jari, aku langsung menghambur keluar mencari-cari seorang cowok berambut jabrik nggak jelas yang menunggangi motor CBR. Yang kucari adalah Hanief, cowok idiot yang menabrakku tempo hari dan membuat motorku yang ganteng harus masuk bengkel dalam jangka waktu yang lama. Ia menawarkan diri untuk mengantar-jemputku kesekolah selama motorku diperbaiki—yang mau tidak mau harus kuiyakan mengingat sekolahku ini luar biasa terpencil hingga angkutan umum pun jengah lewat sini.

Nama aslinya Hanief Handaru, usianya 19 tahun, kalau aku nggak salah baca—soalnya aku tahu karena curi-curi pandang pada nametag berwarna hijau alay yang selalu dia pakai. Nametag itu milik Kementerian Pertahanan. Aku selalu berpikir barangkali ia cuma OB disana, atau tukang sapu. Bodo amat dia punya CBR, toh semua orang bisa nyicil CBR jaman sekarang. Yang tidak kupercayai adalah tampangnya yang nggak ada elit-elitnya untuk masuk gedung Kementerian apapun.

Memang sih kulitnya yang sewarna langsat dan rambut dan matanya yang sewarna kopi kadang membuatku berpikir jangan-jangan dia orang asing. Sebenarnya ia cukup manis bila dilihat-lihat (ngomong apasih aku ini??) Tapi jika ia tertawa atau berbicara sedikiiiiit saja, ia memiliki sebuah ekspresi wajah brengsek yang selalu membuatku ingin menonjoknya.

Nah, itu ketemu. Cowok itu tampak sedang celingak-celinguk diantara siswa-siswi yang pulang sekolah. Aku menampar bahunya dengan keras dan langsung meloncat ke jok belakang moge tersebut.

"Heh! Hai dulu kek, met sore dulu kek! Bikin kaget aja. Mana lama banget didalem" Protesnya.

"Bodo amat. Perjanjian kita 'kan nggak pake salam-salam. Lagipula, 'kan elo yang punya salah, jadi seharusnya elo yang nyapa gue duluan!" Ketusku.

Hanief menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti, "Dasar cewek." Selagi mengenakan helmnya.

"Eh, Ryl, tau gak?" Katanya tiba-tiba.

"Nggaak!"

"Dih, emang aku mau nanya apa?"

Ini yang kubenci dari Hanief selain keidiotannya dalam mengendarai motor. Dia selalu berbahasa seakan-akan dia nggak berasal dari planet ini. Oke, mungkin aku lebay. Tapi bener deh, bahasanya baku banget! Seandainya ada orang lain yang mendengar—kali ini pasti bakal ada yang dengar karena murid-murid yang bubar jumlahnya tidak begitu banyak—pasti mereka bakal mengira kalau kami pacaran.

Menjijikkan.

"Au apaan. Mutan, kali" jawabku asal, pikiranku masih tersangkut pada kejadian tadi.

"Wah, kamu bisa baca pikiran, ya!"

Idih, apaan sih cowok ini.

Dia menengok kebelakang, tepatnya kearahku yang berada di jok belakang. "Kamu tahu nggak, menurut desas-desus, Daman lagi ada di SMA Pelita.."

Stop. STOP. Aku meloncat turun dari jok belakang Hanief. "Lo tau gak sih berapa kali gue denger soal mutan-mutanan hari ini? Gue muak! Dan gara-gara mutan juga gue jadi dihukum sama Bu Nani!"

Seandainya aku nggak berhenti buat menyahuti gosip mutan itu, aku nggak akan tertahan sama Bu Nani!
Pasti Hanief nggak mengerti apa yang kubicarakan.
Bodo amat. Siapa suruh jadi orang ngeselin?

Hanief hanya menyahut polos. "Ryl, kamu PMS?"

Jika jalanan ini sepi, mungkin saja aku akan melilitnya dengan kekuatan bayanganku hingga mati.

Hanief tampaknya sadar arti tatapan mautku dan buru-buru mengoreksi perkataannya, "Oke, tuan putri, gak ada mutan-mutanan selama perjalanan pulang. Silahkan naik."

"Heh, lo kira gue ini cewek yang lo temuin di FTV-FTV yang dengan gampang bakal luluh kalo lo panggil 'tuan putri'?" Ketusku.

"Yaudah. Cepetan naik, Nyai." Katanya.

Hah? NYAI??

Aku menendang roda belakang motornya hingga ia agak oleng. Hanief terkekeh.

"Mending gue nebeng abang-abang didepan!" Seruku sambil bergegas meninggalkannya.

"Woy! Kok marah?!" Seru Hanief.

Aku terus berjalan meninggalkannya.

'Didepan' yang aku sebutkan tadi sesungguhnya bukan benar-benar didepan pengkolan, pangkalan ojek Bang Daud masih nuuuun jauh disana. Dan aku setengah berharap cowok gak tau diri ini mengejarku karena.. duh, ongkos ojek mahal..

"Maaf deh, maaf.. Hehehehe" Hanief menjalankan motornya perlahan dan menyalip dari sisi kiriku. "Ayo naik"

Aku berusaha mempertahankan wajah cemberutku saat naik.

"Udah? Eh, itu siapa? Kok daritadi ngeliatin kita." Tanya Hanief.

Aku menengok kebelakang.

Rana, Arcee dan Budiman berada di tangga samping yang menghadap persis ke parkir luar. Mereka melihat kami.

"Bukan siapa-siapa. Udah buruan jalan." Kataku sambil memakai helm.

**
Author note:
WOEEE MAKASIH YANG UDAH VOMMENT. JANGAN LUPA DI SHARE YA. LOP U

UMBRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang