Satu

22 5 2
                                    


Cahaya dengan lancangnya membiaskan diri melalui celah-celah jendela yang tertutup tirai. Membawa sedikit terang yang hanya mampu ku lihat dalam kegelapan. Perlahan ku coba mebiasakan iris mataku menatap cahaya yang mulai bersinar semakin terang. Diluar sana kulihat Fajar menyambut ku dengan indah. Dengan semangat, aku mengambil handuk dan mulai membersikah diri dan bersiap menjalani hari yang baru.

Tigapuluh menit berlalu. Dengan rambut sedikit ikal di ujung yang panjangnya sebahu, ku biarkan terurai dengan rapih dan mulai sedikit memoleskan bedak tipis kewajah ku dan sedikit lipbam agar tak terlihat pucat dan kering.

Dengan penampilan seperti biasanya, jeans hitam yang selalu kupakai dan juga kaos berwarna putih dengan paduan outer jaket jeans hitam hari ini, Ku ambil sneakers putih di rak sepatu, tak lupa totebag canvas berwarna putih gading.

Ku lihat keluar jendela disana Mentari hadir memberi kehangatan dan fajar tersenyum menyambut hadirku.

Hari yang begitu cerah.
Ah, akankah hariku secerah itu?
boleh ku berharap?

Hei Ara! Jangan terlalu berharap, karena harapan tidak selalu menjanjikan kepastian. Nyatanya harapan tinggalah harapan. Baru membuka pintu kamar saja sudah terdengan suara dua orang yang saling berteriak satu sama lain tidak ada yang ingin mengalah. Ku coba langkahkan kaki menuruni undakan anak tangga perlahan dan berjalan keruang makan tak lupa memasang topeng ketidak pedulian.

Suasana di meja makan begitu ramai, ya ramai akan keributan dua orang entah mempermasalahkan hal apa.

​Ku tarik bangku disebelah kanan paling belakang tanpa melirik dua orang didepan kitchen set yang sedang asik adu mulut, ku yakin mereka tidak sadar akan kehadiran ku.

Dengan santai ku ambil sepotong roti panggang dan segelas susu Vanilla kesisi meja. Dan entah kenapa tiba-tiba suasana menjadi sunyi dan terdengan isakan bersamaan dengan langkan kaki mengenakan sepatu berat bergesekan dengan lantai bergitu tergesa-gesa.

​Ya, dia sosok laki-laki yang entah pantas atau tidak aku sebut sebagai Papa, berjalan terburu-buru meninggalakn ruang makan tanpa melihat dan menyapaku. Dan dibelakang kitchen set mama menyembunyikan isakan tangisnya. Perlahan mama ikut bergabung dengan ku ke sisi kiri meja makan.

​"Ra, kenapa duduk disana? Sini, mau mama buatkan sup?" tanya mama dengan perhatian, terdengan suaranya sedikit parau menahan tangis.

​"Tidak apa, sedikit lagi habis" jawab ku memberikan seulas senyum.

"Mas, mau sarapan apa? Mama buatin sup mau?" ucap mama antusias melihat sosok laki-laki berumur tiga tahun diatasku yang baru saja keluar dari kamarnya dan duduk di samping kiri ku.

"Tidak, roti dan susu sudah cukup" jawabnya singkat dan mulai memakan rotinya.

Ya dia itu Neo kakak laki-laki ku, dia yang semalam menjemputku ditaman dan entah bagaimana dia tau bahwa aku sedang ada ditaman, dan selalu seperti itu.

Terkadang di setiap pagi dengan kejadian seperti tadi aku dan Kak Neo akan selalu memasang topeng kepalsuan dan melakoni peran polos dalam sebuah drama keluarga.

***

Senin pagi yang tidak asik.
Banyak orang yang sama seperti ku. Berlari sana-sini. Berharap bus kopaja masih setia menunggu di halte. Saling rebut memasuki bus kopaja. Diri berdesak-desakan dengan penumpang lain.
Semakin siang, jalanan semakin macet. Angkutan umum, penuh penumpang. Harap-harap cemas untuk tidak datang terlambat. Ah, itu dia bus kopaja yang kutunggu. Aku pun berlari cepat menyusul ke halte agar tidak tertinggal bus untuk kesekian kalinya.

***

Sudah satu setengah jam Pak Darma menjelaskan materi baru tentang Logics & Science of Philosophy. Teman-teman ada yang sudah terlihat malas, ada juga yang tidak mengerti karenan mumet, ada yang sudah menguap dan berusaha agar tetap terjaga, ada juga yang sibuk memahami tapi tidak mengerti. Berharap kelas ini segera berakhir.
Aduh cacing-cacing diperut ku sudah berdemo minta jatah.

Lukisan pada nada- nada SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang