Masih menanti ...

20 6 0
                                    



Duduk di sebuah kursi putih. Dengan dua buah cup es krim rasa cokelat ditangan dan dua kantong besar berisikan permen coklat. Menanti sang pemilik meminta satu bagian untuk dirinya.

Arah mata kosong memandang foto usang di atas buku hitam. Ya, Kekosongan menemani ku hari ini.

Setiap sore sehabis pulang kuliah, aku sempatkan waktu untuk berkunjung ke tempat ini. Dan ini sudah menjadi rutinitas ku  semenjak kejadian itu berlangsung. Hanya tempat ini untuk bersandar diri dari ketidak kuatan rindu dan menunggu yang tak kunjung temu. Di tempat ini pula ia dan aku berjanji bahwa aku harus menunggu, tapi..entah sampai kapan. Dan apakah ia akan kembali?

Aku rindu sosok diri nya . Bagaimana dia menatapku dengan kedua mata nya yang tajam tapi lembut dan menenangkan. Cara dia menjaga dan menyayangiku. Bagaimana dia memperlihatkan lesung pipitnya saat tersenyum. Dia yang selalu ada untukku-dulu- dan caranya memanggilku dengan sebutan "Tuan Putri".

Aku rindu. Tidakkah kau rindu dengan tuan putri kecil mu ini? Atau kau ingin aku menyerah dan menyudahi semua ini? Tolong jawab aku.

Dengan tersenyum pedih dan memandang sebuah lukisan usang yang selalu aku simpan dan aku bawa kemana pun. Lukisan itu tergambar langit jingga yang berubah kelabu dan belum terselesaikan kisahnya oleh sang pengukir.

Satu tetes air telah jatuh membasahi lembar lukis using yang sedang aku pandang. Ku lihat langit diatas sudah mulai menampakan warna kelabu nya. Seakan Mega tau apa yang sedang kurasakan. Dan hanya Langit yang menjadi teman dalam menemani rasa kerinduanku yang mendalam ini.

Lagi-lagi Rinai menyamarkan air mata yang tak bisa ku tahan jika harus mengingat dirinya
Bagaimana keadaanya sekarang? Apakah ia masih hidup atau..?

Ah.. Aku tidak bisa membayangkan jika ia sudah tidak ada di dunia ini. Astaga, Ara cukup jangan berfikir ataupun berkata seperti itu, omongan adalah doa. Barusan apa yang telah kau pikirkan itu tidak baik.

Gelengan kepala ini membawa ku mendongan untuk melihat luasnya Cakrawala. Buru-buru ku rapihkan lukisan sang pangeran dan memasukkanya kedalam tas agar tak basah terkena rinai. Lalu Ku pejamkan mata dan menikmati rinai yang jatuh menerpa wajahku. Hati kecilku memanjatkan doa dan harapan agar Tuhan dapat mempertemukan aku kembali dengan dirinya.

Kurasakan tak ada rinai yang membelai wajahku lagi. Tidak mungkin jika hujan telah pergi. Suara rintikan air jatuh dan pecah diatas bumi bersamaan dengan selimut angin kencang masih dapat aku dengar dan aku rasakan.

Dengan rasa penasaran, ku buka mata perlahan mencoba fokus akan penglihatan yang ada didepanku. Bukan Langit sendu yang kulihat, tapi-apa itu senja berwarna merah muda. Tunggu, apa? Warna mereah muda? Sejak kapan awan hujan berubah menjadi senja merah muda yang terlihat indah dengan secepat itu? Sepertinya itu bukan senja. Senja tak memiliki garis-garis seperti--Ya ampun, ternyata itu payung. Payung berwarna merah muda, tapi siapa pemilik payung itu?

"Ara, kita pulang yuk" suara itu.

Aku rindu suara ini. Suaranya tidak berubah. Hanya saja sedikit lebih berat dan agak serak. Tunggu, dia memanggilku dengan sebutan ara? Bagaimana bisa dia tau-

"Aurora Senja Aleshia! Dengar gak sih?" Ah sial, suara ini.

"Apa ?" kata ku malas dan kembali memejamkan mata setelah tau siapa pemilik suara itu.

"Ayo pulang. Kenapa malah hujan-hujanan, kalau nanti sakit gimana?" tanyanya dengan kesal namun ada rasa kahwatir.

"Gak akan kok. Sudah kamu pulang sana." Usir ku pelan kembali melanjutkan aktifitas yang sempat tertunda.

"Dia meminta lo untuk jangan bersedih. Dan sekarang, gak ada gunanya lo bersedih Ra.." 

"...."

"Pulang. Jangan siksa diri lo seperti ini."

"Uhm.."
Ya, itu benar. Tak seharusnya aku bersedih, tapi kesedihan telah menjadi bagian dalam hidupku. Ia tak pernah mau pergi bahkan meninggalkanku sejengkal saja-tidak pernah. Namu, kebahagiaan yang ku tunggu telah pergi begitu lama.

Aku rindu.

***

Selama perjalanan aku bungkam. Tidak ada yang memulai percakapan, hanya suara radio  yang mengisi keheningan antara aku dengan dia.

Tak terasa tepat pukul delapan malam aku tiba dirumah. Memang jarak dari taman ke rumah tidak begitu jauh, hanya beberapa blok saja.

"Jangan kayak tadi lagi ya." Katanya memperingatkan ku, padahal ia tau ini sudah menjadi kebiasaanku.

"Iya, tidak janji tapi." Kata ku bersiap membuka pintu untuk keluar.

"Ara..."  panggilnya lirih dari dalam mobil.

"Iya-iya. Aku duluan." jawabku menyudai pembicaraan malam ini, aku lelah untuk memulai berdebat.

Ku buka pintu mobil dan keluar. Kulihat ada mobil putih terparkir di dalam garasi. Ah, dia ada dirumah, untuk apa?

Perlahan ku buka kenop pintu agar tidak menimbulkan bunyi, tapi sesampainya di ruang keluarga lagi dan lagi ku harus mendengar keributan yang memuakan.

"Habis dari mana?" katanya dingin.

Ya dia Papa ku yang teramat sangat tegas dan tidak suka jika dilawan atapun dibantah dengan alasan apapun.

"Baju kamu kok basah Ra?" kalau ini Bunda ku. Terdengar suara seraknya menahan tangis walapun bibirnya tersenyum.

"Tadi dari taman, terus hujan dan lupa bawa payung."Jawab Ku tersenyum singkat.

Tak lama seseorang datang dan lngsung berlalu menuju kamarnya, dan...

"Neo! " teriak seseorang. Yang diteriaki pun berhenti melangkah, tapi tak mencoba membalikkan diri menghadap papa.

"Kamu gak sopan ya? Disini ada papa Neo!"

"Lalu?"

"Kamu-" kalimatnya terpotong

"Saya capek." ucapnya dan berlalu memasuki kamar begitusaja. 

"Udah ya keatas dulu, capek." Dan Aku pun berlalu menaiki tangga meninggalakn mereka yang kembali berteriak satu sama lain.

Tigapuluh menit berlalu, setelah membersihkan tubuh dengan air hangat dari basahnya air hujan. Ku langkahkan kaki kearah meja belajar. Ku ambil buku yang menjadi teman curhat selama enam tahun terakhir. Buku ini berwarna hitam dengan lembaran kertas berwarna hitam juga. Seakan menggambarkan kehidupan ku yang perlu diisi denga warna.

Ku buka lembaran demi lembaran. Tak lupa ku goreskan tinta putih di atas kertas hitam kosong. Ku rangkai kata menjadi satu. Menggambarkan perasaan yang tak sempat terucap. Dan tak terdengar olehnya. Pesan yang tak pernah tersampaikan.

Sore ini mega mendung kembali menampakkan diri.
Tapi kamu tidak.

Hembusnya angin menyelimutiku;
Dingin.

Dan gemuruh kembali menyapa ku;
Terdengar pilu.

Aku benci;
Maaf.

Ku tatap angkasa, sendu yang terlihat.
Bukan rupa mu.

Ku yakin,
Setiap tetes hujan membawa pesan;

Tapi,
Apa yang sedang kau coba sampaikan?

Tuan Putri,
Rindu
Pangeran.

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Thankyou for reading, hope you like and enjoy it! 💚

Lukisan pada nada- nada SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang