Banyak kejadian tanpa sebuah perencanaan~
"Balqis, mau kemana?"
Langkah ku terhenti, saat Nadia memanggilku.
"Mau keluar sebentar, Nad."
"Mau kemana? Mau makan siang di luar yah?" tanyanya karena ini memang waktu jam makan siang.
"Gak kok, aku mau ke rumah sakit."
"Hah? rumah sakit? Abah kamu kambuh lagi, Qis?" cemasnya.
"Bukan Abah aku, Nad. Tapi orang lain."
"Siapa? keluarga ya?"
"Bukan juga, Nad. Kemarin ada sedikit insiden. Taxi online yang aku tumpangi nabrak orang. Dan sekarang korbannya lagi di rawat di rumah sakit."
"Innalillahi, tapi kamu gak apa-apa kan, Qis?"
"Alhamdulillah, gak apa-apa kok. Yaudah yah, Nad, aku pamit dulu."
Setelah perbincangan itu aku pamit pada Nadia dan di jawabnya untuk menyuruhku berhati-hati.
Aku menaiki sebuah mobil sedan hitam milik kantor. Sejak kejadia dua hari yang lalu, aku sedikit trauma memakai jasa taxi online lagi.
"Rumah sakit Kenanga ya, Pak," titahku pada sang supir.
"Iya, Bu."
Mobil yang aku tumpangi ikut berbaur dengan mobil yang lalu lalang di jalan raya. Melawan teriknya panas matahari, menyusuri jalan beraspal.
Aku hanya diam menatap ke luar jendela. Mengingat kembali kejadian dua hari yang lalu. Insiden yang harus membuatku terlibat dengan polisi dan Dokter Azam.
Waktu itu aku menjalani pemeriksaan di kantor polisi bersama driver itu dan Dokter Azam. Aku di tanyai beberapa hal menyangkut insiden itu. Ku jawab dengan apa adanya sesuai apa yang ku lihat dan ku alami.
Kami berada di kantor polisi hingga larut malam. Kejadian tiba-tiba itu bahkan membuatku lupa mengabari Ummi dan Abah. Ummi sangat khawatir, saat ku cek handphone yang ada di tas, sudah ada puluhan telfon dari Ummi. Ku coba menelfon kembali, beberapa detik kemudian panggilan itu tersambung. Baru saja ku ucapkan salam, tapi seseorang meminta telfon itu.
"Sini, biar saya saja yang bicara," katanya.
Entah kenapa aku menuruti, memberikan handphone di genggamanku kepadanya.
Setelah itu Dokter Azam agak menjauh, entah apa yang Ia katakan pada Ummiku. Tapi beberapa menit kemudian Ia kembali, menyerahkan hp itu.
"Halo ... Ummi?" kataku setelah ku dapatkan kembali handphone itu.
"Balqis, semua pasti baik-baik aja. Jangan takut yah. Ummi nunggu kamu pulang."
Aku heran, Ummi bahkan tidak bertanya apa pun perihal keterlambatanku. Aku hanya mengiyakan karena salah satu polisi memanggil lagi. Setelah pemeriksaan selesai, aku dan Dokter Azam di antar pulang oleh polisi.
Tidak ada percakapan di antara kami, rasanya lidahku gatal ingin bertanya apa saja yang di katakan Dokter Azam pada Ummi, tapi ku urungkan.
Malam itu menjadi malam panjang untukku. Terlibat dalam inseden tak mengenakkan, hingga di pertemukan lagi dengan Dokter Azam.
"Bu, sudah sampai."
Suara itu membuyarkan ingatanku. Ku lihat aku sudah ada di depan rumah sakit Kenanga.
"Bapak tunggu di parkiran yah, saya cuma sebentar kok."
"Iya, siap Bu."
Aku menuruni mobil menuju lobi rumah sakit. Aku bertanya pada bagian administrasi tentang pasien yang ku maksud. Aku bahkan tidak tau siapa nama gadis yang tertabrak kemarin.
"Kamar 104, Bu." kata petugas itu memberitahu.
Setelah berterimakasih, aku mulai mencari. Ternyata kamarnya ada di bagian lantai dua rumah sakit.
Aku sudah hampir sampai, kamar 104 tinggal beberapa kamar lagi dari tempatku sekarang. Saat semakin dekat, aku melihat seorang pemuda dengan wajah tertutup tudung hoodie berdiri di depan pintu kamar 104.
Setelah merasakan kehadiranku, Ia lalu berbalik, meninggalkan tempat itu dengan berjalan tergesa-gesa.
Aku ingin mengikuti, tapi ku urungkan saat ku dengar suara gaduh dari dalam kamar.
"Tolong Bu, suami saya tidak bersalah. Anak Ibu yang sengaja menabrakkan diri," ucap seorang wanita paruh baya yang berlutut di depan ibu yang berdiri dengan sombong.
"Jadi kamu pikir anak saya mau bunuh diri. Liat, anak saya lumpuh karena suami kamu, berani-beraninya kamu bicara seperti itu!" jawabnya dengan nada emosi.
"Saya mohon, Bu, tolong cabut tuntutan Ibu. Suami saya tidak bersalah."
Ibu tadi masih memohon. Aku tahu sekarang, ibu itu adalah istri dari driver itu.
"Tidak akan pernah! Lebih baik kamu pergi sekarang! Jangan pernah kemari lagi!"
Ibu itu menangis saat tubuhnya di dorong. Aku ingin mendekat, tapi ragu.
Setelah mendapat perlakuan kasar, akhirnya Ibu itu memutuskan pergi. Ia melihatku yang hanya berdiri di depan pintu dengan tatapan nanar.
Setelah keributan itu usai aku baru memberi salam untuk masuk. Tak seperti saat menemui ibu tadi, kali ini ibu dari gadis itu lebih ramah padaku. Ia mempersilahkan ku duduk dan menceritakan perihal kondisi anaknya.
Sekarang aku baru tahu, nama gadis itu Ghina. Seorang anak pengusaha kaya. Tapi sayang sekarang ia mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan kemarin.
Setelah beberapa menit di sana, aku memutuskan untuk kembali ke kantor. Lagi pula jam istirahat sudah hampir habis. Aku berpamitan pada Ibu itu.
"Saya pamit dulu, Bu. Nanti kalau ada waktu saya akan menjenguk Ghina lagi. Saya juga minta maaf ya bu...."
"Untuk apa minta maaf, kan bukan kamu yang nabrak anak saya. Saya tau kamu juga pasti trauma dengan kejadian itu."
Aku hanya tersenyum menanggapi. Aku keluar dari kamar itu setelah berpamitan.
Aku menyusuri lorong yang sepi. Hingga saat di persimpangan, aku merasa ada yang mengikuti. Aku mempercepat langkah. Tapi setelah itu aku merasa ada yang membekap mulutku dari belakang dan menyeretku. Aku ingin berteriak, tapi mulutku di bekap.
"Ya ... Rabb hanya kepada-Mu aku meminta pertolongan," doaku dalam hati.
***
Jeng-jeng-jeng I'm come back wkwk
Nih part 7 buat kalian yang udah nungguin cerita ini hehe
Selamat membaca,
Salam sayang,
Bk2
![](https://img.wattpad.com/cover/190894104-288-k758121.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Setitik Rasa Dari Allah
Romance"Mm ... tapi kamu jangan marah ya" "Iya." "Tapi jangan benci juga sama aku" "Iya Balqis." ia tersenyum lagi.Yaa Allah aku semakin gugup. "Mmm ... sebenarnya ... sebenarnya aku ... aku ... aku suka sama kamu dari kita masih SMA." Aku mengucapkannya t...